Setelah mandi, aku keluar dari kamar kemudian melihat kamar Hamzah terbuka lebar.
"Eh, tumben?"
Aku mengintip keberadaannya di ambang pintu.
Dari segala penjuru, kucari Hamzah hingga kedua pasang mata tertuju pada sosok pria yang tengah berdiri di balkon.
"Hamzah?" aku memanggilnya pelan.
Seketika dia menoleh ke arahku.
"Eh, Rein? Sini." dia melambaikan tangan padaku.
Aku berjalan padanya.
"Kamu berpikir tentang siapa?" tanyaku.
"Tidak ada." jawabnya.
"Tentang Rizwan?"
Hamzah menggeleng.
"Atau tentang Ayssa?
Hamzah menggeleng lagi.
"Lalu, kenapa?"
"Aku tidak apa-apa, Rein."
Kamu tak akan pernah bisa membohongiku, Hamzah.
Meskipun kamu bisa berkata ini, tapi aku tahu hatimu berkata lain.
Kamu terlalu pandai merangkai kata, tapi aku tak bisa melihatmu seperti ini.
Ketegangan dengan ayah dan ibumu, selalu membuat Hamzah berusaha berdiri tegak walau hatinya patah.