Download App
0.83% Princess Pamela / Chapter 2: Gadis Jelek

Chapter 2: Gadis Jelek

"Pamela!"

Seorang wanita setengah tua memanggilnya.

Gadis itu menengok, dan cahaya yang seakan menghipnotisnya mendadak hilang.

Wanita yang memanggilnya bernama Sopia Adams, ibunda dari Pamela.

"Kenapa masih berdiri di situ? Ayo ganti seragam sekolahmu!"

"Baik, Bu," Pamela menganggukkan kepala seraya memutar knop pintu.

"Tunggu!"

"Iya, ada apa lagi, Bu?"

"Wajahmu?" Sopia meraba wajah putrinya dengan heran.

"Kenapa bisa lebam begini?"

"Ah ... ini karena ... aku jatuh ... yah! Aku tadi sempat jatuh, Bu!" jawab Pamela ragu-ragu. Tentunya hanya sebuah kebohongan yang ia ucapkan.

"Lagi-lagi kamu itu tidak hati-hati! Lalu siapa yang membawamu ke dokter? Apa kamu menggunakan jatah uang jajanmu selama satu bulan untuk berobat?"

"Bukan Bu, tapi—" Sopia tak memberikan kesempatan kepada putrinya untuk menjelaskan.

"Pamela! Sudah berapa kali Ibu bilang? Berhati-hatilah! Dan pergunakan uang jajanmu dengan baik! Ibu tidak mau tahu, yang Ibu berikan kemarin harus cukup! Tidak ada tambahan lagi! Walau uangnya sudah kamu gunakan untuk berobat sekalipun!" Sopia terus mengoceh saja.

"Kamu itu anak yang boros, Pamela! Padahal Ibu sudah menekankan kepadamu! Bahwa kamu harus berhemat! Karena usaha kita ini baru saja berkembang, masih butuh banyak biaya! Biaya sewa rumah dan juga sewa gedung itu juga mahal! Tapi kamu malah boros! Uangmu selalu habis sebelum satu bulan!"

Mendengar ocehan sang Ibu membuat Pamela semakin pusing saja.

Selama ini orang tuanya memang sangat pelit, terutama sang ibu, tetapi dia tak mempermasalahkan hal itu. Pamela bisa memahami jika orang tuanya sedang merintis usaha toko sovenirnya.

Jika mereka berhasil semua juga demi masa depan Pamela.

Namun yang menjadi masalah, uang jajannya selalu habis karena ulah Agnes dan kedua temannya.

Dia tidak bisa mengatakan ini kepada Sopia.

Gedung toko sovenir itu letaknya sangat dekat dengan kediaman Agnes.

Dan berulang kali gadis itu mengancam Pamela jika dia berani mengadu, maka tak segan Agnes dan kedua temannya akan menghancurkan usaha milik orang tua Pamela.

"Bu, aku lelah, boleh aku tidur?"

Sejenak Sopia berhenti mengoceh. Lalu Pamela masuk ke dalam kamar, kemudian mengunci pintu rapat-rapat.

Sopia masih berdiri di depan pintu, dia hendak mengetuknya, tetapi dia merasa ragu.

"Ah, mungkin dia benar-benar sedang lelah," gumam Sopia. Kemudian wanita itu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

*****

Di dalam kamar, Pamela tak langsung mengganti pakaiannya. Dia malah duduk di kasur sambil memandang cermin di tangannya.

"Tadi aku kenapa, ya?"

"Aku hampir lupa, apa aku tadi mimpi?"

"Ah ... sejak kapan aku bisa tidur sambil berdiri?"

Drrt ....

Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk.

"Ini nomor siapa?" Pamela tampak ragu untuk menjawab panggilan itu, karena dia belum menamai nomornya.

Pamela menaruh kembali ponsel ke dalam saku, namun panggilannya terus berlanjut.

Layar ponsel terus menyala serta bergetar. Dan hal itu sangatlah mengganggu.

Akhirnya dengan terpaksa Pemela mengangkatnya.

"Halo, ini siapa, ya?"

[Hei, Gadis Sialan! Kalau sampai besok kami mendapat masalah! Maka kami akan membalasmu lebih parah lagi! Bahkan kami akan menghancurkan toko souvenir milik ayahmu!] Suara itu terdengar mengancam.

Pamela sangat paham dengan suara gadis yang tengah berbicara ini.

"Kamu, Agnes?"

[Iya! Aku Agnes! Dan aku beserta kedua sahabatku akan menghajarmu besok! Bahkan kami juga akan membakar toko milik ayamu!]

"Tolong jangan lakukan itu, Agnes! Aku mohon ... aku minta maaf untuk kejadian yang tadi," tukas Pamela yang ketakutan. Ketiga gadis itu memang nekat, meski mereka hanya para gadis, tetapati kelakuan mereka tak jauh dari para pereman.

[Dengar, Pamela! Kami akan memberi penangguhan, dengan satu syarat!]

"Apa itu? Katakan saja! Yang terpenting aku mohon jangan membakar toko milik ayahku, dan jangan menghajarku lagi!" rengek Pamela.

[Baik, aku tidak akan melakukan keduanya. Asal kamu bilang kepada Bu Fiona, dan Kepala Sekolah, jika apa yang aku lakukan kemarin hanya salah paham. Dan bilang juga jika kami tidak pernah merampas uang jajanmu!] pinta Agnes, dan nada bicaranya masih mengancam.

"Baik! Aku akan melakukannya, tapi kumohon jangan—"

[Bagus! Aku tunggu besok!]

Tut....

"Agnes! Hei!"

"Ah, dia mematikan teleponnya!"

Selalu saja begini, Pamela akan menuruti semua permintaan Agnes dan kawan-kawannya.

Padahal dia bisa saja melaporkan tindakan Agnes ke pihak berwajib, lagi pula Fiona wali kelasnya juga sangat membelanya.

Hanya saja dia terlalu payah, dan tak ada sedikitpun keberanian. Dia juga takut keberaniannya itu berimbas kepada usaha orang tuanya.

Pamela benar-benar benci kepada dirinya sendiri yang lemah ini.

*****

Esok harinya, dia mulai memasuki kelas, dengan wajah murung.

Seperti biasa, pandangan yang tak mengenakan selalu menyapanya.

Mereka yang melihat Pamela selalu berbisik, dan memancarkan raut sinis.

Ini sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Walau dia tak pernah berbuat salah kepada mereka, namun teman satu kelas secara kompak membencinya. Semua tindakan Pamela dianggap salah, dan tak jarang gadis itu menjadi bahan tertawaan bagi mereka.

Tapi dari semua orang yang ada di dalam kelas, ada satu pria yang membuat Pamela bersemangat.

Dia adalah Brandon Smith, pria berusia 17 tahun yang tampan dan juga gagah.

Dia seorang atlet basket di sekolah ini.

Sorot mata yang tajam, dengan bibir manis, dan tubuh gagahnya, membuat Pamela berandai-andai menjadi kekasih Brandon.

Tetapi dia sadar betul jika dia tak akan mungkin mewujudkan keinginan itu.

Dia dan Brandon seperti langit dan bumi. Benar-benar jauh berbeda.

Tapi tak mengapa ... berandai itu bukanlah dosa yang besar.

Lagi pula tak ada yang tahu jika dia menyukai pria itu.

Tak sadar bibirnya tersenyum dengan kedua mata yang berbinar. Tatapannya tertuju pada Brandon yang tengah bergurau dengan teman-teman yang lainnya.

Salah satu teman Brandon yang bernama Alvin menepuk pundak tegap pria itu.

"Hei, ada Bidadari yang sedang mengintaimu," bisiknya dengan nada bercanda.

"Hah?" Brandon mengernyitkan dahi.

"Lihat!" Alvin menunjuk kearah Pamela, sehingga gadis itu terkesiap dan segera menundukkan kepalanya.

"Dia, bidadarinya?" tanya Brandon memastikan.

Alvin menutup mulutnya menahan tawa.

"Kamu ini sudah gila!" umpat Brandon pada Alvin.

"Hei, aku sering melihat gadis itu diam-diam memandangmu. Aku rasa dia menyukaimu!" kata Alvin.

Brandon mendesis kesal sambil menggelengkan kepalanya.

"Kalau di London sudah tidak ada gadis cantik dan normal, aku akan pindah ke kota lain, jika di kota lainnya tidak ada juga, aku akan pindah ke negara lain. Bila perlu aku akan pindah ke planet lain! Yang terpenting tidak berpacaran dengan Gadis Jelek itu!" pungkas Brandon dengan sombong.

"Hei, kamu tidak boleh berbicara begitu! Orang bilang benci itu bisa berubah menjadi cintai, lo!" ledek Alvin,

Seketika Brandon menoyor kepala Alvin dengan kasar.

"Dasar, Bodoh!" umpatnya.

Bersambung ....


next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login