Kata orang nanti pada saat kita sudah dipanggil balik yang kita bawa bukan harta tetapi memori. Selama hidup ku aku selalu berpikir bahwa itu betul, jadi aku simpan memori- memori tersebut. Tetapi tidak mungkin aku dapat mengingat semua pada saat aku kembali.
Jadi aku memilih altenatif lainnya yaitu kamera.
Seperti cinta pandangan pertama aku sudah tau kalau aku dan kamera ku akan selalu bersama. Alasan kenapa aku masuk jurusan fotografi. Aku jatuh cinta dengan mengabadikan memori di dalam kamera tersebut. Ayah membelikan kamera murah yang dapat aku gunakan untuk menyimpan memori-memori tersebut.
Aku pikir ini cukup.
Aku pikir hidup selamanya dengan sebuah kamera cukup tetapi setelah dipikir akankah lebih baik jika memori itu dibuat dengan seseorang yang juga mengapresiasi foto sepertiku? Itu lah alasan mengapa aku jatuh cinta dengan Adimas Putrawan.
Aku mengenal Adimas pada saat hari pertama masuk bangku SMA, aku berharap aku dapat mengabadikan SMA ku dengan menggunakan kamera ku. Aku berjalan ke kelas dan tidak sengaja aku menabrak seseorang.
Mungkin ini bisa dibilang takdir, mendengar ucapan maaf, aku melihat keatas dan bertatapan dengan Adimas, kami tidak perlu berbicara tetapi waktu itu seakan dunia kita terhubung. Aku adalah orang yang introvert dan jarang sekali berbicara, Adimas adalah orang yang sangat supel, temannya banyak dan dia adalah anak favorit semua guru.
Dia menggulurkan tangan nya dan membantuku untuk berdiri. Jika diingat lagi kata pertamanya setelah maaf adalah tentang kamera ku.
''Eh... gila, bukannya itu kamera seri lama ya?'' Dia melihat kamera yang ku pegang," kelihatanya masih bagus tuh! Bisa dong dipakai buat foto."
Jadilah itu kenangan yang kuingat dan potretan pertama masa SMA-ku, foto Adimas dengan ku.
Karena kami memiliki cita-cita dan tujuan yang sama kita sangat cocok bersama, kita sering pergi untuk mengambil foto-foto bagus dan akhirnya kami pun dekat dan akhirnya pacaran.
Dunia pun terasa seperti di sisi ku pada saat kami berdua keterima di universitas sama dengan jurusan yang sama, kami pun lebih dekat dari sebelumnya, lebih serius dari yang kami bayangkan. 5 tahun lamanya kami berpacaran, tentu pasti ada moment dimana kami tengkar dan ada waktu dimana kami sudah tidak tahan tetapi kami lebih dewasa dan mulai menyelesaikan masalah dengan berbicara. Alasan mengapa kita tetap bertahan?
polaroid
Film kamera yang langsung jadi itulah yang kami pegang erat mengingat memori-memori yang telah kita lalui dan kita tau bahwa kalau kita bisa sejauh ini, kita pasti bisa melakukannya lagi.
5 tahun itu adalah memori yang paling aku ingat, tetapi aku harus hidup dengan kenyataan itu tidak selalu sempurna. Apa yang aku dapatkan bisa saja hilang dengan sekejap dan itu yang sering kali membuat manusia terjatuh.
Pada tahun ke-5 kami berpacaran Adimas mulai jatuh sakit, dia selalu berkata kalau dia tidak apa-apa dan itu adalah sesuatu yang sepeleh dan dia hanya sakit karena kerjaan universitas menumpuk. bahkan setelah beberapa minggu kami tidak bertemu dan aku mulai mengkhawatirkan keadaannya. Aku pun diam-diam datang kerumahnya dan melihatnya terbaring di tempat tidur.
Aku tidak bisa melupakan bahwa ibu Adimas mengatakan dia terlah menghidap penyakit kanker stadium 4 dan hanya diberi 5 bulan lagi itu hidup.
Kami berhabiskan waktu selama 5 bulan itu. Adimas menetang orang tuanya yang menyarankannya untuk bertahan hidup lebih lama dan siap untuk membiayai medis yang akan dibutuhkan. Tetapi Adimas tau bahwa keluarganya tidak mampu dan dia tau bahwa jika dia ingin hidup dengan bebas dan tidak ingin terjirat dengan peralatan medis dan menghabiskan waktunya hanya berbaring di tempat tidur. Orang tuanya sempat tidak setuju tetapi Adimas tidak ingin berdebat.
Jujur mendengar dia sudah tidak sanggup untuk hidup seperti itu aku sedikit sedih, aku bahkan berpikir bahwa aku pun sudah tidak ingin dipertahankan olehnya, tetapi aku tidak bisa memaksanya untuk hidup sedikit lebih lama untuk ku, aku tidak bisa memintanya menungguku. Jadi aku lakukan apapun untuk membuatnya senyaman mungkin untuk hari-hari terakhirnya.
Dan seperti kata dokter, stamina tubuhnya mulai menurun dan dia mulai menggunakan kursi roda karena staminanya sudah tidak kuat untuk berdiri dan berjalan, meskipun begitu yang dipegangnya sampai dia meninggal pun adalah kameranya.
Suatu hari pun dia mengajak ku untuk pergi jalan-jalan di taman, Dia berkata dia ingin mengatakan sesuatu kepada ku, aku pun setuju dan kami pun pergi ke taman, ibu Adimas duduk dibangku sedangkan kami mulai berjalan. Dengan aku mendorong kursi rodanya kami mulai berjalan merasa hawa sejuk pada saat itu.
Sekian lama hening itu tidak kunjung selesai, aku ingin sekali berkata tetapi aku tidak bisa memikirkan apapun untuknya. Aku takut jika aku mulai berkata sesuatu aku akan menangis. Setelah beberapa bulan aku tetap tersenyum untuknya.
"Nisa.... kamu jaga papa dan mama yang baik ya, jangan nakal-nakal, selalu ingat kalau mau keluar bawa kunci rumah dan -"
"Berhenti, tolong jangan katakan kalimat selanjut mu," aku berkata kepadanya, dia tetap melihat lurus dan tidak menatap ku sedikit pun dan aku tetap mendorongnya," Aku tidak suka dengan kata perpisahan."
"Nisa... kalau hujan jangan lupa jas hujannya ada di lemari atas -"
"ADIMAS PUTRAWAN."
kursi roda yang kudorong pun terhenti, aku pun menunduk kebawah dan perlahan-lahan tetesan air mata pun turun dari mataku. Aku hanya bisa menangis di sampingnya sedangkan dia mengusap kepala ku.
"dan terkahir lupakan aku ya Nis, aku mau kamu bahagia tanpa aku."
Akhirnya dia pun meninggal, kata yang ucapkan di pikiranku adalah ucapan yang tidak aku bisa lupakan dia tidak hanya meninggalkan dirinya tetapi memori yang telah kita buat selama ini. Sejak itu aku mulai menangis jika melihat polaroid yang telah kusimpan selama ini, dan aku mulai bermimpi buruk dengan film-film tersebut dan akhirnya orang tua ku dan aku memutuskan untuk menyimpan semua alat dan buku fotografiku.
Sejak itu pun aku mulai tidak menyukai fotografi dan mulai membenci orang yang selalu mengajak untuk berfoto. Aku takut.
Jika suatu hari aku melihat foto-foto itu, aku akan teringatnya kembali.
3 tahun aku jalani tanpanya, dan aku bekerja di suatu perusahaan sebagai wanita kantoran. Mimpi ku menjadi fotografi terhebat pun lenyap dari pikiranku. Tetapi saat aku meliat suatu foto yang terjatuh dari tas ku aku teringat kembali dengannya.
Siapa sangka saat aku melihat kedepan, dunia sangat suka mempermainkan hidup, berdirilah dia dan tersenyum lebar dengan cewek lain yang dipelukanya.