Download App
100% Polaroid / Chapter 2: Gossip

Chapter 2: Gossip

"Nisa kamu yakin tidak mau ikut?" Temanku Debi menanyakan, tetapi aku yakin dan aku menganggukan kepalaku dan mulai fokus lagi terhadap handphone yang ku pegang.

Debi Octalian adalah rekan kerjaku, setelah lulus kuliah aku mencari pekerjaan simple yang bisa aku lakukan, untung aku bertemu dengan Debi di Café dan dia membantuku untuk menjadi asistennya, manager dari perusahaan pun melihat aku bekerja dengannya langsung aku diajak untuk bekerja. Aku sangat mengucap syukur dengannya.

Debi mengeryi kisah ku yang kelam tetapi dia tidak pernah men-judge ku untuk hal tersebut, aku pun mulai tersenyum kembali karenanya. Disaat hari-haruku yang gelap Debi lah yang membantuku.

"Ri, coba kamu geser dikit ke –" sambil mengarahkaanya –" ya… ya, situ, oke dikit lagi – stop."

Memberi mereka signal lalu aku abadikan moment tersebut ke dalam hp Debi, aku pun tersenyum dan mengembalikan handphonenya, Debi pun berlari kepada ku sambil memegang hpnya, dan mulai menelusuri foto-foto yang ku ambil.

"Nisa ini bagus banget, sayang kamu tidak ada," Debi melihat ku dan tersenyumg," Sudah ayo panggil pelayan dan kita ambil lagi fotonya, ya Nis?"

Tetapi aku hanya tersenyum kepadanya dan duduk diam karena dia sudah tau jawabanku, jawabanku mesti sama dan kelihatanya itu tidak akan berubah.

"Nisa sampai kapan kamu akan membenci melihat dirimu di dalam sebuah foto," Sari bertanya dan aku pun hanya tertawa kecil, jika mendegarkan perkataannya itu 5 Tahun yang lalu aku akan mulai berpikir terlalu Panjang, Self-Love. Sesuatu yang telah aku pertaruhkan dalam hidupku.

Karena cintaku kepada kamera amat besar terkadang orang mulai mengejeku dengan apa yang aku senangi. Aku dulu suka sekali memotret pemandangan dan orang tetapi tidak diriku sendiri, apapun yang ku potret adalah seni sebuah pemandangan indah yang aku sangat suka. Tetapi aku bukan seni dan nilai keastetikan ku pun tidak ada. Aku tidak patut difoto untuk diabadikan.

Tetapi itu berubah pada saat Adimas mulai memperlihatkan ku fotonya, terkejutnya aku melihat foto-fotoku yang dia foto dengan tidak sengaja. Aku maih ingat dengan foto-foto yang tersimpan di kameranya, aku terlihat seperti seni dan aku melihat diriku sebagai suatu estetika di dalam foto. Sejak itu dia selalu berkata bahwa nilai ku tidak hanya sebatas estetika dan aku lebih cantik dari yanf kubayangkan.

Self-love itu pun mulai meningkat dan akhirnya aku dapat lebih percaya diri, tetapi sejak dia pergi, aku mulai lupa dengan kata self-love dan aku mulai menghiraukan self-love itu.

Aku sering berbohong kepada orang-orang jika aku tidak suka ikut foto karena aku tidak pede dengan diriku sendiri, tetapi jelas sudah kenapa aku tidak suka berfoto, hal itu menyakitkan untuk diingat kembali.

"Nis…" Aku melihat kearah Sari yang melihatku dengan cemas," Kamu tidak apa-apa? Kamu ngelamun lagi."

"Oh… gaapa kok," aku ujar balik, Sari hanya mengembuskan nafas dan mengagungkan kepala.

"Aku cuman bercanda loh nis, aku tidak bermaksud membuat mu begitu sedih, kamu ngomong ya kalua aku suda keterlaluan, kebiasaan." Dia berkata tetapi aku hanya tersenyum.

"Iya, aku tau kok kamu bercanda hanya aku teringat sesuatu, habit ngelamunku tidak bisa ku kendalikan, wkwkw." aku tertawa dan Sari hanya bisa tersenyum melihat temannya yang sedang menyembunyikan kesedihan.

Semua orang yang bekerja di perusahaan tau akan cerita seseorang yang tidak menyukai kamera dan hubungannya dengan semacam itu, tidak tau jelas mengapa dan rumor-rumor pun beredar, tetapi itu tidak membuat Nisa sedih, ia sudah biasa dengan halnya yang sedih.

Kami bertiga pun duduk lagi di café yang dekat dengan perusahaan, jam istirahat ini Debi mengajaku pergi dengan Sari dalah datu teman Debi di devisinya.

"Eh, kalian dengan belum dengan Rosa yang pacarana dengan si Robi itu?" Sari mulai menanyakan, setelah kami order makanan dan minum mulailah waktunya gossip.

"Eh… iya itu, katanya Robi baru aja putus sama sisca kok sudah putus lagi dan –" setelah itu aku tidak ikut mendegarkan selanjutnya.

Cinta, segampang itu orang membicarakannya dan segampang itu dilakukan dengan orang yang tidak kau cintai. Aku telah bosan mendengarkan kisah cinta yang bertebaran tanpa arti. Aku tidak mengerti bagaimana kamu bisa mencintai seseorang lalu mencintai seorang yang lain dengan segitu cepat.

"Yakan Nis?" Mendegar namaku aku melihat ke arah mereka.

"Apa?"

"Wah… ketinggalan banget nih," Sari bertanya.

"Robi itu, gila belum apa-apa sudah bucin sama…."

Kata Bucin, Buta cinta, sudah lama aku tidak mendengar kata itu lagi. Aku selalu mendegarkannya jika Aku dan Adimas pergi ke suatu tempat dan bertemu teman-teman kami, aku tidak pernah berpikiran jika kami bucin. Jika cinta bukanya itu cinta? Kenapa harus ditambah kata Buta?

Bukanya kalua kita kalua mencintai dengan setulusnya itu cinta?

"Nis…" aku melihat kearah sebelah ku dan melihat Debi menatapku dengan khawatir," Kamu baik-baik aja kan? Ada apa kamu ngelamun terus."

Aku hanya bisa tersenyum,"Maaf, aku lagi banyak pikiran, aku pamit dulu aja ya, banyak pekerjaanku –" Aku berdiri dari tempat duduk ku dan melihat Debi yang berdebat dengan dirinya untuk mengikuti ku, tetapi aku tersenyum dan menyuruhnya untuk tidak khawatir.

"Sudah ya, terimakasih aku bayar dulu minuman ku," aku membuka tas ku dan mencari dompet ku tetapi Debi menarik tanganku perlahan-lahan lalu dia mengelengkan kelapa.

"Minuman hari ini aku yang traktir –" aku juga mengelengkan kepalaku tetapi Debi hanya menyuruhku untuk pergi.

"Deb, tidak apa-apa biar aku yang bayar kan aku yang –"

"Sudah Nis, aku yang ajak kamu kesini udah mau repot buat nemenin aku, gaapaa aku yang bayar yahh," Dia tersenyum aku ingin berdebat lagi tetapi akutau Debi tidak akan membiarkan aku membayar jadi aku pun melihat kearahnya dan memeluknya.

"Oke deh, tapi nanti kalua kita pergi lagi aku yang bayar oke?" dia pun tersenyum dan aku menyapanya untuk perjalanan ke kantor lagi.

Aku memilih untuk jalan karena ingin merasakan sejuknya cuaca hari ini, sudah dekat bulan oktober disini dan musim hujan pun akan segera datang, jadi ingat kalua harus bawa payung.

Beberapa menit setelah jalan aku melihat kantor yang sudah dekat dan aku pun mengecek jam tangaku dan untung saja aku tidak terlambat aku pun bergegeas untuk kembali tetapi tidak snegaja bertabrakan dengan sesuatu. Aku yang tidak fokus pun tersandung dan jatuh.

Sial, padhalan baru kemarin ketatap kursi. Aku menunggu diriku disambut dengan dinginya jalanan tetapi aku sedikit kebinggungan.

Aku disambut dengan sepasang mata yang berkilau.


next chapter
Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login