Tak terasa sudah tiga bulan Kartika bekerja di tempat Rivan. Ia merasa betah, gaji yang diberikan oleh Rivan lebih dari cukup untuk kebutuhannya sehari-hari. Bahkan dia masih bisa menabung karena tidak perlu membayar uang kos sampai beberapa bulan ke depan.
Dan, sore itu Kartika melihat Rivan datang dengan seorang gadis yang cantik sekali. Kartika menelan salivanya. Ia merasa sedikit iri kepada gadis itu.
"Kau punya kasir baru, Mas?" katanya sambil melirik dan memperhatikan penampilan Kartika dari atas sampai bawah.
Rivan tersenyum manis, "Kartika,ini calon istri saya, Salsa. Ini Kartika, sayang. Dia ini masih saudara jauh dari papaku. Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia. Jadi, aku membantunya untuk bekerja di sini."
Kartika menahan napasnya dan mengangguk hormat pada wanita cantik di samping Rivan. Salsa, wanita itu hanya tersenyum samar.
"Oh, baiklah tidak masalah. Kamu kerja yang baik. Jangan mentang-mentang masih saudara jauh bos trus kerja seenaknya," kata Salsa.
"Iya, Mbak. Saya pasti akan kerja dengan baik," jawab Kartika sopan.
Salsa hanya mengendikkan bahunya kemudian ia langsung berjalan menjauh menuju ke ruangan pribadi Rivan yang terletak di lantai atas.
"Dia memang agak sombong,Tika. Jangan diambil hati, padahal yang punya Mas Rivan nggak pernah sombong sama kita,tapi calon istrinya itu angkuhnya luar biasa," sahut Sari salah seorang waiters yang cukup dekat dengan Kartika.
Kartika hanya tersenyum, "Cantik,ya." Kartika berkomentar, namun Sari hanya mencebikkan bibirnya .
"Cantik tapi kalau sombong buat apa, Tik. Cantik dari dalam itu lebih baik. Jangan kaya dia, cantik di luar busuk di dalam," tukas Sari sambil berlalu karena ada pelanggan yang memanggil.
Kartika hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil melihat kelakuan sahabatnya itu.
Saat jam makan malam, tampak Rivan dan Salsa keluar dan duduk di meja, yang sudah disiapkan sebelumnya. Kartika hanya dapat memperhatikan keduanya yang tampak begitu mesra.
Kartika menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia merasa ada rasa cemburu dan sedikit sesak di dadanya. Dengan cepat ia memalingkan pandangannya ke tempat lain.
Prang!
Kartika dan para pengunjung rumah makan langsung menoleh ke asal suara. Tampak Kartika sedang menuding ke arah Rivan. Mungkinkah mereka bertengkar?
"Jangan bikin malu!" hardik Rivan. Wajahnya tampak memerah menahan emosi.
"Buat apa malu?! Biar saja orang tau kalau kelakuanmu itu tidak lebih dari pecundang!" pekik Salsa.
Salsa menyambar tasnya dan segera melangkah pergi. Rivan pun dengan cepat segera menyusul kekasihnya itu.
Kartika melihat keduanya bertengkar di luar, entah apa yang mereka bicarakan. Namun, Salsa segera naik ke dalam mobil Rivan dan mobil itu pun melaju dengan kencang meninggalkan tempat parkir rumah makan itu.
"Sudah biasa itu ,Tika. Jangan heran kalau Mas Rivan dan Mbak Salsa memang sering begitu."
"Kamu kaya hantu,Sar. Tiba-tiba udah berdiri di sebelah aku," ujar Kartika sambil memegang dadanya. Gadis itu memang kaget karena tiba-tiba Sari sudah berdiri di sampingnya.
"Hihihi, maaf deh. Abis aku liat kamu sampai melongo melihat mereka berdua bertengkar," jawab Sari.
"Ya, habis tadi mereka makan malam mesra. Tiba-tiba piring dibanting-banting,aku kan kaget."
"Segitu masih mending, Tik. Tempo hari, Mas Rivan sampai disiram kopi sama Mbak Salsa," sahut Nina.
Kartika hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mereka pun kembali bekerja karena biasanya jam makan malam memang sedikit ramai.
Tepat pukul delapan malam , Taufik datang. Kartika pun bisa langsung bersiap untuk pulang. Namun,saat ia dan Sari baru saja keluar dari tempat parkir dan hendak mencari angkutan kota, Rivan memanggil mereka.
"Kalian saya antar saja."
Sari dan Kartika saling berpandangan, "Sudah,jangan banyak berpikir. Ini sudah malam," kata Rivan.
Kartika dan Sari pun akhirnya naik ke atas mobil Rivan.
"Kalian sudah makan?" tanya Rivan.
"Sudah, Mas," jawab mereka serempak.
Rivan tertawa kecil mendengar Kartika dan Sari yang begitu kompak menjawab pertanyaannya.
"Kalian ini lucu," ujarnya.
Rivan mengantarkan Sari terlebih dahulu karena rumah Sari memang lebih dekat.
"Kau bisa menemaniku dulu?" tanya Rivan.
"Tapi, jam malam kan jam sepuluh, Mas," jawab Kartika.
"Tidak apa-apa kok, kau bisa aku bukakan kamar di hotel. Kalau ibu kos bertanya kau bisa jawab kalau menginap di rumah kawan."
Kartika sebenarnya merasa tidak enak jika harus menemani Rivan, terlebih lagi ia tau bahwa Rivan mempunyai calon istri. Tapi, jika mengingat jasa Rivan kepadanya, Kartika juga merasa tidak enak untuk menolak.
Akhirnya ia hanya menurut saja ketika Rivan membawanya ke sebuah tempat karaoke. Seperti biasa seperti saat dulu Kartika masih bekerja sebagai wanita penghibur, Rivan selalu menyewa room yang paling besar.
Setelah mengunci pintu dari dalam, Rivan langsung memeluk Kartika.
"Salsa tidak seperti dirimu," kata Rivan. Kartika hanya diam, ia membiarkan Rivan memeluknya, diam-diam Kartika pun merindukan pelukan Rivan.
"Aku dan Salsa itu dijodohkan. Kedua orang tua kami relasi bisnis dan mereka ingin bisnis kami makin berkembang. Tapi, Salsa selalu saja tidak pernah bisa menghargai diriku. Kau lihat saja tadi, dia bahkan tega sekali mempermalukan diriku di depan banyak orang."
"Tapi,kalian akan segera menikah,kan. Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik,Mas?" tanya Kartika.
Alih-alih menjawab, Rivan malah mencium bibir Kartika, dan seharusnya yang tidak boleh terjadi, kini terjadi lagi. Kartika memang mencintai Rivan. Tapi, dia sadar bahwa saat ini dia hanya menjadi pelampiasan belaka.
"Maafkan aku, Tika. Seharusnya, aku bisa menahan diri," kata Rivan. Kartika hanya menitikkan air matanya sambil menggelengkan kepalanya.
"Semuanya sudah terjadi, Mas."