© WebNovel
Hawa dingin dari pendingin kamar hotel menerpa kulit telanjang sepasang anak manusia yang tertidur setelah melewati malam liar. Keduanya masih bergelung di balik selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang mereka. Sang wanita tengah berada dalam pelukan hangat sang lelaki, menenggelamkan wajah di dada bidang sedikit berbulu itu.
Malam telah berlalu, hitamnya yang pekat tanpa bintang telah berganti dengan secercah sinar yang mulai hadir. Pagi menyingsing sunyi, suara kendaraan lalu lalang terdengar bersahutan dengan kicauan burung. Di sebuah gedung pencakar langit yang tidak lain adalah sebuah hotel mewah di pusat kota Jakarta, sepasang anak manusia tengah saling tatap dengan wajah yang sulit untuk diartikan.
Terutama wajah lelaki yang kini tengah berkacak pinggang dengan bathrobe menutupi tubuhnya. Ia menatap tajam wajah wanita yang sekarang tengah terisak bersandar pada kepala ranjang. Wanita itu menangis ketika terbangun dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, belum lagi rasa nyeri di antara kedua kakinya. Malam tadi ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga pada dirinya, sesuatu yang seharusnya ia berikan pada suaminya kelak. Tetapi ia memberikannya pada lelaki yang tidak dikenalnya, lelaki yang kini tengah menatapnya penuh kebencian.
“Jadi apa maumu sekarang? Semuanya sudah terjadi?” tanya lelaki itu sambil terus menatap tajam sang wanita yang perlahan berusaha turun dari atas ranjang sembari melilitkan selimut di tubuh telanjangnya.
“Aku hanya ingin pulang,” jawab wanita itu sembari melewati sang lelaki dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Suara debaman pintu kamar mandi yang ditutup pun terdengar begitu keras, membuat sang lelaki mengencangkan rahangnya karena marah. Belum pernah ia menerima perlakuan seperti ini dari seorang wanita. Apalagi wanita yang tidak dikenalnya, dan sebenarnya ia juga bingung mengapa bisa berakhir dengan wanita tadi. Wanita yang sampai sekarang tidak ia ketahui siapa namanya.
Janitra Giandra Haribowo, seorang Direktur di sebuah perusahaan migas di Jakarta. Lelaki itu semalam menghadiri pertemuan bisnis dengan beberapa rekan kerjanya di sebuah klab mewah. Ia tidak begitu ingat dengan apa yang terjadi semalam, yang ia ingat bahwa ia telah meniduri seorang wanita. Dipikirnya semua akan berjalan biasa saja, kalau pun meniduri seorang wanita mungkin saja seorang jalang. Namun semuanya berubah ketika ia melihat bercak darah di seprai yang menjadi saksi bisu perbuatannya semalam. Semua ini akibat dirinya masih berada dalam pengaruh alkohol.
Andra, begitu ia disapa segera mencari tahu siapa sosok wanita yang semalam telah ia nodai itu. Dilihatnya sebuah tanda pengenal karyawan yang menyembul dari dalam tas sang wanita, dibacanya dengan baik nama yang ada di sana. “Deepsikha Praya Mahaprana,” ejanya sangat pelan.
Berulang kali Andra mengetuk pintu kamar mandi di mana wanita yang bernama Deepsikha itu berada. Tak terdengar jawaban dari dalam sana, hanya ada suara gemercik air yang ia yakini sebagai suara air pancuran yang mengalir. Perasaannya jadi kian tak menentu memikirkan semua ini, ia berusaha keras untuk mendobrak pintu kamar mandi. Tapi baru saja tubuhnya ia menabrak pintu kamar mandi dengan keras, pintu itu terbuka, menampilkan tubuh Deepsikha dengan handuk melilit sebatas dada dan setengah pahanya.
“Apa yang kamu lakuin di sini?” tanya wanita itu keheranan melihat sang lelaki memegangi lengannya yang menghantam pintu dengan keras.
“Ku pikir kamu bunuh diri di kamar mandi,” jawab Andra jujur.
Sikha, begitulah ia biasa disapa, wanita itu melewati Andra sekali lagi dan memilih untuk tidak mengacuhkan sang lelaki. Sebenarnya ia sempat memiliki keinginan untuk bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke dalam bath tube. Tetapi ia tidak bisa melakukannya karena memikirkan orang-orang yang sangat ia sayangi.
“Biar ku antar pulang,” ucap Andra menawarkan diri setelah dirinya rapi dengan pakaian yang semalam ia kenakan.
“Tidak perlu, kita lupakan saja apa yang terjadi semalam. Anggap saja semua ini sebuah kesalahan dan kita juga tidak saling mengenal,” ucap Sikha mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Aku akan bertanggung jawab,” Andra menghampiri Sikha yang menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan heran pada lelaki yang bisa dikatakan ‘tampan’ itu.
“Kita hanya 2 orang yang tidak saling mengenal, dan aku cukup tahu diri untuk tidak menjeratmu denganku selamanya. Sudah cukup penyesalanku pagi ini, cukup sudah menangis untuk hari ini, aku tidak ingin kamu menjadi air mataku yang lainnya di kemudian hari.”
Andra terdiam, ia kehabisan kata-kata untuk menanggapi apa yang meluncur bebas dari mulut wanita di hadapannya ini. Meski harus ia akui jika yang dikatakan wanita itu adalah benar, mereka hanyalah dua orang asing yang terjebak dalam nafsu liar binatang yang ada dalam diri mereka. Bukan tidak mungkin kebersamaan yang dipaksakan hanya akan menjadi air mata dan kebencian di kemudian hari.
“Baiklah,” hanya itu kata yang keluar dari mulut Andra dan diangguki oleh Sikha yang segera meninggalkan kamar hotel setelah rapi dengan pakaiannya yang sama seperti semalam.