"Penyesalanmu sudah terlambat, tidak berguna sekarang." Dhika duduk di sofa dengan wajah penuh kemenangan. Cia mendengus kasar, rasanya pengen mandiin Dhika sama aer es, biar beku sekalian, ngeselin banget.
"Ya udah nggak usah bahas si Laksa, gara-gara dia kita berdebat, unfaedah banget." Ketus Cia.
"Setuju, jangan di bahas dan jangan kamu pikir juga. Anggap saja dia seperti kentutmu yang harus di buang."
"Kok di samain sama kentut sih? Kentut itu racun sedangkan Laksa itu madu. Jangan cemburu." Cia tidak memberi kesempatan Dhika untuk menyela, kemudian dia melanjutkan setelah mengambil napas, "itu kenyataan." Ketusnya, mata Dhika melotot sempurna.
"Dan madu terkadang bisa menjadi racun yang mematikan. Sekarang saya beri tau kamu, kemungkinannya ada dua, dia sibuk dengan persiapan sekolah atau dia sudah menemukan tempat yang nyaman untuk bertahan."