"Es krimnya enak bangetttt!"
Alira kembali memasukkan sesuap es krim ke dalam mulutnya. Tidak ada habisnya Alira memuji kenikmatan es krim yang direkomendasikan oleh Gea.
"Bener kan kata gue, Al. Di cafe ini semuanya udah lengkap selengkap lengkapnya. Free wifi, makanan sama minumannya enak terus murah-murah, deket halte bis, deket jalan raya juga. Mantul deh pokoknya," papar Gea yang diangguki oleh Alira.
"Jahat ih, lo kenapa baru ngasih tau gue sekarang?" tanya Alira.
"Gue aja baru tau kemarin kok. Diajakin sama sepupu gue yang sekolah di deket sini," Gea menunjuk ke arah bangunan sekolah yang berada di depan cafe.
"Pindah sekolah aja yuk. Biar tiap hari bisa main ke sini," ajak Alira asal.
"Ogah gue, Al. Entar turun deh kepopuleran gue kalo pindah sekolah," tolak Gea membuat Alira mengernyit.
"Tiap-tiap hari gue menyombongkan diri sama sodara-sodara gue karena bisa sekolah di Starlight. Sekolahan elit yang isinya cogan-cogan semua. Ya kali gue harus pindah gegara ngebet main ke cafe ini. No no no!"
Alira terkekeh mendengar ucapan Gea. Lagi pula Alira tidak serius mengajak Gea pindah sekolah. Ia sendiri juga tidak mau keluar dari Starlight. Karena perjuangan Alira untuk bisa sekolah di sana sangat berat. Sayang dong kalau dilepas begitu saja.
"Btw, gue udah baca cerita baru lo yang semalem, Al" kata Gea yang tidak pernah melewatkan satu pun cerita yang dibuat oleh temannya.
"Yang Trisal sama Neola aja belum lo kelarin, udah buat cerita baru lagi? Mending kelarin dulu yang Trisal, Al"
Kebiasaan buruk Alira adalah sering terburu-buru membuat cerita baru, sedangkan cerita yang lama belum diselesaikan. Ujung-ujungnya cerita yang sudah lebih dulu dirilis akan terbengkalai begitu saja.
"Besok kalo udah saatnya juga bakalan kelar kok," kata Alira kemudian mulai mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.
"Yang baca Trisal udah banyak loh, Al. Lo kelarin gitu, gue yakin itu novel bakalan terbit," ujar Gea memberi masukan.
"Masih ada kerjaan lain. Trisal gue lanjut kalo pas udah kelar setorin ceritanya orang," cetus Alira.
Gea tampak menggelengkan kepalanya melihat ekspresi Alira. "Emang bener ya, kalo udah nyangkut soal uang mah berasa nggak ada hal lain yang lebih penting."
Alira terkekeh mendengarnya. "Lo tau sendiri kan gimana kondisi gue saat ini."
"Masih harus nabung dulu biar bisa buat Mama seneng dan nggak perlu lagi susah-susah kerja," imbuh Alira.
Sebagai anak tunggal, Alira menjadi harapan terbesar bagi mamanya. Alira tidak mau membuat mamanya kecewa. Alira ingin dirinya bisa menjadi kebanggaan mamanya.
Setelah kematian papanya, Alira berusaha kuat untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Kalau Alira terus menerus sedih, mamanya pasti akan merasa sedih juga. Jadi, Alira mulai belajar bersikap dewasa untuk menghadapi berbagai masalah yang nantinya akan Alira lalui.
"Lihat Al lihat, Alingga habis post bab baru nih!" Gea menyenggol-nyenggol lengan Alira namun tidak Alira tanggapi.
"Ih baper gue! Baca judulnya aja gue udah melting coba?"
"Biasa aja kali, Ge" ujar Alira merasa jengah melihat ekspresi Gea.
"Gabisa gabisa. Sumpah deh. Kenapa si cowok ini mirip Oscar banget?"
Alira memutar bola matanya malas. "Alingga nulis pengalamannya Oscar mungkin."
"Tapi lebih sweet Raga daripada Oscar," Gea menyebutkan nama tokoh utama novel buatan Alingga.
"Coba deh Al lo belajar dari cara nulisnya Alingga."
"Ogah!" tolak Alira mentah-mentah.
Bisa-bisanya Gea menyuruhnya belajar dari Alingga. Orang mereka berdua saja tidak pernah akur. Seperti kucing dan tikus.
"Alingga kalo buat judul bab itu selalu berhasil buat para pembaca ter-Alingga Alingga," ujar Gea kembali memuji musuh bebuyutan Alira.
"Will you be mine?"
Gea menjerit histeris setelah mengucapkan judul bab dari novel yang sedang ia baca.
"Gea diem. Malu-maluin tau," peringat Alira sambil melirik beberapa orang di sekitarnya.
"Dikira gue bawa orang gila," imbuhnya.
"Ya ampuuun, berasa gue ditembak sama cowok," ucap Gea dengan suara keras yang tertahan.
"Kan elo udah pernah ditembak sama Oscar. Sama cogan juga," kata Alira.
"Tetep aja gue baper kalo baca cerita ini," Gea menunjuk-nunjukan layar ponselnya pada Alira.
"Harusnya lo itu pacaran sama Alingga aja tau, Ge"
"Kenapa emangnya?"
"Biar lo nggak cuma ngebucin sama tokoh fiksi buatan Alingga. Bagusan juga kalo lo bucin langsung ke yang buat cerita itu," tutur Alira.
"Ih gamau deh. Alingga aja nggak doyan cewek kok," tolak Gea.
"Kata siapa? Belum pernah pacaran bukan berarti dia nggak suka sama cewek."
"Minder tau kalo mau jadi pacarnya dia."
"Gausah minder-minder segala. Dicoba dulu aja."
"Emang Alingga mau sama gue?"
"Enggak."
Suara bariton tersebut membuat Alira dan Gea menoleh. Sesaat mereka terkejut dengan kehadiran Alingga dan kedua temannya. Namun untuk Alira, ia segera bersikap normal seperti sebelumnya.
"Hai sayang," sapa Gea pada Oscar yang sudah duduk di sebelahnya.
"Geser dong duduknya. Sempit nih," pinta Denis sambil mendorong tubuh Oscar.
"Sebelahan sama Alingga sono. Ganggu orang pacaran aja," usir Oscar.
"Nggak berani gue. Sebelahan sama mereka berdua itu kayak lagi ngelihat suami istri yang lagi berantem. Serem euy!"
Ucapan Denis membuat dirinya mendapat tatapan tajam dari Alira. Buru-buru Denis mengacungkan dua jari tangan kanannya. Mengambil satu kursi dari meja sebelah dan mulai duduk di atas kursi tersebut.
"Siapa yang ngijinin lo duduk di sini?" tanya Alira sinis.
"Ada larangan buat gue duduk di sini?" Alingga balik bertanya.
"Ada lah."
"Siapa yang buat?"
"Gue."
"Emang lo siapa? Yang punya cafe ini? Bukan, kan?"
Alira menggeram kesal saat mendengar pertanyaan Alingga. Ada saja jawaban yang membuat Alira kalah dari cowok tersebut.
"Nggak usah sok jodoh-jodohin gue sama orang lain. Jodoh lo aja belum lo temuin kok," ujar Alingga.
"Lo pikir gue kurang kerjaan banget? Segitunya mikirin jodoh lo," sahut Alira.
"Tadi? Kenapa lo nyuruh Gea pacaran sama gue? Lo mau buat gue dibenci sama temen deket gue?" Alingga melirik ke arah Oscar yang sedang asyik mengobrol dengan pacarnya.
"Otak lo nggak pernah bisa mikir yang positif tentang gue , ya?" tanya Alira pada Alingga.
"Lo sendiri gimana? Kapan lo mikir kebaikan gue sama lo?"
"Lo aja nggak pernah memperlakukan gue dengan baik kok," sahut Alira cepat.
"Lo mau gue perlakukan kayak gimana? Cerita dong sama gue," tanya Alingga sambil mendekatkan dirinya dengan Alira.
"Jangan deket-deket! Jauhan sana!" Alira mendorong tubuh kekar Alingga supaya lebih jauh darinya.
"Jangan jauh-jauh, Al. Entar kalo gue kangen gimana?" tanya Alingga menunjukkan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
"Jijik tau, Al! Lo kalo mau gombalin cewek, jangan sama gue," kata Alira bergidik ngeri.
"Gue maunya sama lo. Gimana dong?" Alingga kembali menggeser duduknya mendekati Alira.
"Alingga!" Alira kembali mendorong tubuh Alingga.
"Lo paham bahasa manusia nggak sih?"
"Enggak," jawab Alingga santai.
"Sumpah ya. Otak lo bener-bener udah geser. Udah mirip kayak orang gila."
"Iya Al iya," kata Alingga membuat Alira mengerutkan keningnya.
"Gue emang udah tergila-gila sama lo."
Ya Tuhan! Ingin sekali Alira menendang Alingga sampai kutub utara sana. Jika saja membunuh orang tidak dosa, sudah Alira pastikan ia akan menghabisi Alingga sejak pertama kali mereka bertemu. Menyebalkan.
***
04102021 (18.43 WIB)