Mendengar Su Ran akan menginap, hati Jing Wushuang terasa menghangat. Tidak lama kemudian, dia merasa kalau wanita itu tidak perlu melakukan hal ini. "Aku tidak apa-apa kok, jadi kamu tidak perlu menemaniku di sini. Lagi pula, di sini banyak dokter dan suster. Kalau kamu tidak kembali, Bibi Su bisa mengkhawatirkanmu," ujarnya.
"Tidak apa. Aku sudah mengatakan kepadanya kalau hari ini aku tidak pulang. Lihat, ruangan mu ini seperti bukan ruang pasien. Apa kamu khawatir kalau aku akan membebanimu? Aku ingin tidur satu kasur denganmu. Aku sangat rindu hari-hari kita tidur bersama dan mengobrol sepanjang malam."
Jing Wushuang hanya tertawa. Terserah dia lah, gumamnya dalam hati.
Akhirnya, Su Ran malam ini benar-benar menginap untuk menemani Jing Wushuang. Posisi keseleo kakinya yang baru saja diberikan penangan terasa sangat panas. Rasa sakit yang sungguh menyiksa itu membuatnya juga tidak bisa tidur. Akhirnya, mereka berdua pun mengobrol sepanjang malam.
***
Ketika Mu Jinchen sudah sampai di rumah, Mu Zhilan sedang berada di ruang tamu untuk menunggunya. Pinggangnya terlihat tegap dan lurus seperti seorang anak sekolah dasar. Hanya saja, kepalanya tidak kuat untuk menahan rasa kantuk yang dirasakannya.
Kakaknya ini adalah seorang wanita paling tenang yang pernah Mu Jinchen temui. Mu Zhilan menjalani hidupnya dengan sempurna, dia juga selalu teliti ketika dia membereskan sesuatu. Bahkan di rumah pun, wanita itu akan menggunakan riasan wajah yang menawan dibalut dengan baju cheongsam dan sepatu hak tingginya yang menawan. Wanita itu selamanya akan menjadi seorang wanita yang elegan dan disegani oleh siapa pun. Nada bicaranya juga pelan dan sangat lembut, dia juga tidak pernah marah atau meluapkan emosinya kepada seseorang, kepada orang lain pun juga sangat sopan. Sepertinya, kakaknya ini adalah sosok wanita paling jelita dan menawan dari semua wanita menawan yang ada yang pernah ditemui olehnya. Mungkin karena terpengaruh oleh sosok kakaknya, dia cenderung memiliki kesan lebih baik kepada seorang wanita yang lembut.
Ruang tamu yang hangat di rumah itu hanya diterangi oleh cahaya kuning dari lampu yang sudah hampir rusak. Keadaan di sana saat ini sangat sunyi, anggota keluarganya yang lain pasti sudah pergi untuk beristirahat. Hanya ada Bibi Rong yang sedang berdiri, yang terkadang mengangkat kepalanya untuk melihat jam lawas yang terpasang di dinding. Sosok majikan yang seperti apa, pasti juga memiliki sosok bawahan yang mirip dengannya. Bibi Rong juga seorang yang tenang. Seorang yang memiliki kesopanan yang sangat baik.
Melihat Mu Jinchen kembali, Bibi Rong pun seketika bahagia. Lalu berbicara dengan sangat pelan, "Akhirnya Tuan kembali juga."
Mu Jinchen menganggukkan kepalanya. Sedangkan Mu Zhilan yang sedang terlelap langsung terbangun. "Chen sudah kembali?" tanyanya. Suaranya juga terdengar agak serak, bahkan jalan menuju ke pintu saja dia salah.
Kemudian, Mu Jinchen mengerutkan dahinya sambil berjalan dan duduk di sebelah Mu Zhilan. "Bukannya aku sudah mengatakan kalau tidak usah menungguku? Kalau Kakak capek seharusnya tidur lebih awal. Kalau misal aku hingga pukul 3 malam tidak kembali bagaimana? Kakak siap menunggu hingga jam berapa?"
Perkataan Mu Jinchen tidak bernada seperti menyakiti seseorang. Hanya saja, dia merasa hatinya sedikit sakit. Meskipun mereka satu generasi, tapi dia tumbuh di asuhan kakaknya. Kakaknya itu sudah seperti sosok ibu baginya. Hanya saja, sejak kecil hingga dewasa wanita satu ini selalu membuatnya geregetan seperti sekarang, selalu saja tidak mendengar ucapannya.
"Tidak, aku tidak capek. Sini biarkan aku melihatmu," tangan Mu Zhilan menekan lampu yang ada di sebelahnya. Seketika cahaya pun langsung menerangi sekitarnya.
Jemari Mu Zhilan mengusap wajah Mu Jinchen dan menyentuh alisnya, lalu berkata, "Kamu terlihat kurus. Kakak kan sudah katakan, jangan suka mengerutkan alis mu. Kamu terlihat seperti sudah tua. Apa kamu lapar? Mau makan cemilan tidak?"
Mu Jinchen menghela napas. Dia menarik tangan Mu Zhilan dan meletakkannya di punggung tangannya. Dia dengan lembut mengusap punggung tangan kakaknya sambil berkata, "Kak, aku tidak lapar. Kakak istirahat dulu saja, lagi pula Bibi Rong juga sudah capek."
Mu Zhilan menoleh dan melihat ke arah Bibi Rong. Nada bicaranya juga terdengar sedikit menasehati, "Bibi Rong, ketika tidak ada yang mengatakan kalau akan ada tamu yang datang, Bibi tidak perlu berdiri seperti itu. Memang Bibi ini tidak mendengarkan, pinggangmu kan juga belum membaik."
"Nona, namanya peraturan tidak boleh rusak. Baiklah, sekarang Tuan sudah kembali. Kita istirahat saja." Sambil bicara, Bibi Rong beranjak untuk menghampiri dan menggandeng Mu Zhilan.
Namun, Mu Zhilan sangat merindukan Mu Jinchen dan dia sama sekali tidak capek meskipun hanya terpejam beberapa saat. Bisa dikatakan kalau dia sama sekali tidak ingin untuk pergi tidur. "Aku masih ingin mengobrol dengan Jinchen. Kalau kamu capek, kamu kembali saja dulu "
"Eh…" Bibi Rong melirik Mu Jinchen dengan berat hati. Bagi Mu Zhilan, Tuan Mu adalah seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup. Pria itu lebih penting dibandingkan apa pun.
"Kak, aku capek. Besok kita berbincang lagi, ya?"