ดาวน์โหลดแอป
11.05% Tangisan Rindu / Chapter 46: Aku dan Hamzah

บท 46: Aku dan Hamzah

Aku menanti kabar dari dokter mengenai kondisi Hamzah. Sudah satu jam pula pintu ruangannya tak kunjung dibuka.

Aku melihat Ayssa tampak gusar. Berjalan bolak-balik, bolak-balik karena sama-sama tak tenang.

Tak lama, kami mendengar suara pijakan langkah dari ujung lorong itu. Terlihat ayah Ayssa datang dengan raut yang luar biasa khawatir.

"Papa?" Ayssa segera memeluk ayahnya sambil menangis. Dia tak mengucapkan apa pun selain nama Hamzah. Karena terlarut emosi, ayah Hamzah juga ikut menangis.

"Bagaimana semua ini bisa terjadi? Siapa yang menemukan Hamzah?"

Aku mulai menceritakan dengan rinci awal kejadian itu. Mulai dari persiapan awal ke sana hingga aku menemukan Hamzah dengan kondisi yang lemah tak berdaya.

Ayah Ayssa menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya merah padam seperti tengah memendam amarah. Tangannya mengepal ketika Ayssa menceritakan luka-luka yang dialami Hamzah.

"Tak akan aku lepaskan para pelaku itu!" Gertak papa Ayssa penuh kemarahan.

Ceklek.

Semua pandangan kami seketika tertuju pada suara itu. Alhamdulillah, dokter sudah keluar dan dia menjelaskan bahwa kondisi Hamzah sudah membaik.

Papa Ayssa dan Ayssa meminta dokter itu untuk bisa menemui Hamzah. Untungnya, dokter itu mengizinkan. Hanya saja maksimal dua orang. Ayssa menatapku seakan bertanya 'bagaimana?' aku hanya mengangguk dan mempersilahkan keduanya saja yang masuk. Segera ayah dan anak itu dibawa ke sebuah ruangan kecil untuk memakai pakaian khusus menjenguk orang sakit.

"Rein, maaf ya kamu tak bisa masuk." Katanya dengan nada bersalah.

Aku tersenyum. "Tak apa. Kalian lebih penting bagi Hamzah. Temuilah."

Aku mengintip apa saja yang mereka lakukan di jendela. Rasanya melihat kondisi Hamzah, membuatku tak bisa menahan untuk menitikkan air mata.

Seketika rasa bersalah menjalar untuknya. Aku berterima kasih pada Allah yang masih memberi kesempatan untukku agar bisa meminta maaf padanya.

Aku kembali duduk sambil terus berusaha menahan segala luapan emosional ini.

Hingga tak berselang lama, Ayssa sudah kembali menemuiku.

"Bagaimana dengan kondisi Hamzah?"

Rautnya masih sama seperti tadi. Tak ada yang berubah. "Kakak belum sadar."

Dia langsung duduk dan terdiam.

"Tapi apa dia sudah melewati masa kritisnya?"

Ayssa menggeleng pelan. "Kakak terlalu banyak kehabisan darah. Itupun alhamdulilah kamu bisa menemukannya dengan cepat dan kita segera ke rumah sakit. Kalau tidak...,"

"Shuttt!" Aku sudah mengerti apa maksudnya, "kamu jangan berpikir seperti itu. Hamzah pasti sembuh dan sehat seperti biasanya. Kita harus yakin. Hamzah akan kembali baik."

"Iya, Rein. Tapi aku tak habis pikir dengan Amzar. Dia begitu tega membuat kakak seperti itu. Aku sendiri bahkan tak menyangka perbuatannya bisa serendah ini."

"Benar, Ayssa. Padahal pada awalnya, aku sangat menaruh belas kasihan yang besar padanya. Dia yang hanya tinggal bersama orang lain, sementara orang tuanya telah meninggalkannya, aku tak percaya dia bisa melakukan itu. Entah apa yang ia inginkan dari Hamzah sampai tega melakukan hal yang sama sekali tak pernah aku sangka sebelumnya."

"Ayssa?" Tiba-tiba ayahnya menghampirinya.

"Iya pak?"

"Kamu dan Reine saja ya yang menunggu Hamzah di sini. Papa akan menunggu mamamu di bandara. Dia akan pulang setelah mendengar kabar bahwa Hamzah sudah ditemukan."

"Iya, pak. Tak masalah." Jawabnya.

"Bagaimana rein, apa kamu bisa menemani Ayssa di sini?" Tanyanya.

Aku tersenyum. "Tentu, pak."

"Oke. Baik-baik ya kalian di sini. Kalau ada suatu masalah, jangan lupa hubungi papa. Papa tinggal dulu." Ujarnya dengan ramah. Meskipun matanya sembab penuh kesedihan, tapi ayah Ayssa mampu mengontrol itu semua.

"Baik, pa. Hati-hati ya." Ayssa mencium punggung tangan papanya sebelum ia pergi berlalu.

Sementara itu, dokter menyarankan kami untuk masuk saja ke ruangan Hamzah. Karena mungkin menunggu Hamzah sadar membutuhkan waktu yang lama.

Aku dan Ayssa kembali masuk setelah memakai pakaian steril. Kami berdua duduk di sofa hingga kantuk mulai menyerang mata kami masing-masing.

Kami memutuskan untuk tidur dengan keadaan ala kadarnya.

Tak berselang lama, entah kenapa, tiba-tiba aku terperanjat bangun dan melihat jam masih pukul dua belas malam.

Seketika kantukku hilang. Aku melihat Ayssa sedang tertidur lelap. Rasanya tak tega kalau membangunkannya.

Aku hanya terdiam, sembari terus mendengar dentingan jam yang memecah keheningan malam.

Mataku ini benar-benar tak bisa diajak kompromi. Menunggu waktu lima jam itu tidaklah mudah apalagi aku hanya berdiam diri saja di sini.

Aku mulai bangkit dan mengambil air wudu lalu salat tahajud.

Aku bersimpuh sujud pada bumi di tempat mana kita berpijak. Mataku memanas tatkala tangan mulai kunaikkan di depan mata. Memanjatkan doa pada Allah dan meminta agar keluarga kami selalu diberi kesehatan yang baik.

Aku ingin semuanya kembali normal seperti sebelumnya. Berharap tak ada lagi tangisan tentang apa pun mengenai Alif atau Hamzah.

Kulipat mukena tatkala beres melakukan salat. Setelah menyimpannya kembali, mataku tertuju pada kondisi Hamzah yang sedang berbaring.

Kuambil kursi didekatnya lalu duduk.

Begitu miris melihat Hamzah saat ini yang terkapar tak berdaya. Pelipis dan dahinya penuh dengan perban.

Belum lagi perban pada pundaknya yang berwarna merah.

Aku memperhatikan dia hingga tak lama kemudian, aku tak bisa mengingat apa pun lagi.

...

"Rein? Rein?" Samar-samar aku mendengar seseorang menepuk pundakku pelan.

Ketika aku membuka mata, aku tersentak kaget tatkala Ayssa sudah ada di sampingku.

"Ayssa?" Aku langsung berdiri dan gugup.

Dia tersenyum. "Kamu khawatir dengan kakak, ya?"

"Memangnya kenapa?"

"Habis kamu nemenin kakak tidur dari malem."

Aku mengerutkan kening. "bukan seperti itu, aku sendiri bahkan tak ingat kenapa bisa tidur di sini."

Aku bisa melihat tatapan Ayssa yang nampak tak percaya.

"Sudahlah," kataku, "kamu udah bangun dari tadi?"

Dia mengangguk. "Kakak juga sudah bangun."

Aku terhenyak tatkala mendengar Ayssa mengucapkan itu.

"Apa?" Lirihku pelan.

Dia tersenyum lalu memberiku isyarat untuk melihat Hamzah.

Aku menoleh padanya yang sudah sepenuhnya sadar. Aku malu bukan main karena mungkin sejak tadi dia sudah bangun ketika aku masih tidur.

"Ayssa, kenapa kamu tak membangunkanku?" Ucapku setengah berbisik padanya.

"Eh, aku sudah membangunkanmu tadi."

"Maksudku bukan seperti itu."

"Lalu apa?"

"A-"

Pandangan kami seketika tertuju pada Hamzah yang meringis kesakitan.

Ayssa segera menghampirinya dengan perasaan kalut.

"Kakak? Kenapa kak? Apa yang sakit?" Hamzah tak bergeming, justru perlahan matanya kembali menutup. Aku dan Ayssa sangat ketakutan lalu aku segera berlari mencari dokter.

Beberapa menit kemudian, dokter itu keluar dari ruangannya dan menghampiri kami yang sedang duduk di kursi luar.

"Dok, apa yang terjadi dengan kakak? Apa kakakku baik-baik saja? Apa ada masalah dengan dia?" Ayssa terus memberondongi dokter itu degan banyak sekali pertanyaan.

"Ayssa, tenangkan dirimu. Dokter akan memberitahukan semuanya. Kamu jangan khawatir." Ujarku setelahnya.

Dokter itu tersenyum. "Alhamdulillah, Hamzah telah melewati masa kritisnya. Tadi dia sempat bangun, ya?"

Ayssa mengangguk cepat. "Benar, dok."

"Nah, tapi saat dia bangun itu dia belum sepenuhnya sadar."

"Tapi mata kakak tadi terpejam lagi dok. Kenapa?"

"Itu tak masalah. Nanti juga dia akan bangun lagi dan mulai mengenal semuanya. Tapi diusahakan untuk tidak menanyakan apa pun dulu padanya. Pikirannya masih lemah untuk memikirkan hal-hal yang berat."

"Baik, dok. Terima kasih informasinya."

Dokter itu tersenyum. "Sama-sama. Saya tinggal dulu, ya."

"Eh dok," Ayssa menghentikannya, "apa..., Kami boleh masuk lagi ke sana?"

"Silakan. Asal jangan membuat keributan saja." Dokter itu terkekeh kecil kemudian pergi berlalu.

Sementara itu, aku dan Ayssa memutuskan lagi untuk masuk ke ruangan Hamzah.

Kita duduk di sofa lalu terdiam dalam lamunannya masing-masing.

Aku seketika mengingat Alif dan segera mengirim pesan pada bibi untuk menanyakan keadaannya.

Alhamdulillah. Tak berselang lama, bibi membalas pesanku dan mengabarkan bahwa kondisi Alif sudah semakin baik. Ia perlahan sudah bisa bangkit dan berjalan walaupun masih dibopong oleh paman.

Hatiku lega ketika membaca pesan itu dari bibi. Apalagi kondisinya yang memang perlahan mulai membaik, aku turut bersyukur.

Setidaknya Alif masih kuat menghadapi cobaan yang sedang menimpanya saat ini.


next chapter
Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C46
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ