Setelah menunggu beberapa lama, Alhamdulillah. Hamzah membuka matanya dan mulai melemparkan pandangannya ke segala arah. Riuh tangis haru terdengar dari Ayssa, ayah dan ibunya itu. Aku hanya berdiri dibalik jendela ruangannya memperhatikan hal yang membuatku begitu emosional.
Hamzah belum mengatakan apa pun. Matanya juga terlihat sayu dan sepertinya belum sadar posisinya saat ini sedang berada di mana.
Tak terasa air mataku menetes tatkala melihat kasih sayang ayah ibu Ayssa yang tercurah lebih pada Hamzah. Ayahnya terus mengusap kepala Hamzah dengan lembut, sementara ibunya terus memegangi tangan anaknya dengan penuh kecintaan.
Aku sangat terharu melihat reaksi mereka terhadap Hamzah yang seakan sudah berpuluh-puluh tahun lamanya tak bertemu. Aku juga bisa melihat air mata yang jatuh dari ekor matanya Hamzah. Meskipun dia tak banyak bicara, tapi matanya menjelaskan semua penderitaannya saat ini.
Ayssa melihatku yang berada di luar tengah mengintip mereka. Dia juga melambaikan tangannya kecil agar aku masuk dan menemui Hamzah.
Awalnya aku ragu, tapi sikap keras kepalanya itu yang membuat Ayssa keluar lalu menarik tanganku masuk ke dalam ruangan untuk menjenguk Hamzah.
Aku terdiam sambil terus menundukkan kepala tatkala aku sudah berada di dekat kasur pria ini. Aku tak berani menatap wajahnya. Karena seketika kesalahan-kesalahan yang telah aku lakukan padanya, muncul seakan menghantui dan memberi isyarat untuk cepat-cepat mengutarakan maaf padanya.
Setelah puas memanjakan anak sulungnya ini, ayah Ayssa dan ibunya keluar untuk berbincang dengan dokter dan menanyakan kondisi Hamzah.
Lagi-lagi, aku dan Ayssa ditinggal di sini untuk menemaninya.
Sementara itu, Ayssa duduk di depan kakaknya sedangkan aku duduk di sofa sambil memerhatikan mereka.
Ayssa berusaha mengajak ngobrol Hamzah. Tapi mungkin karena suatu hal atau rasa sakit yang ia derita, membuatnya tak menjawab apa pun. Hanya dengan gelengan atau anggukan kecil saja.
Atas janjiku saat itu, aku sebenarnya ingin segera meminta maaf padanya. Tapi karena kondisi, aku mengurungkan niat itu semua dan mencari waktu luang saja nanti. Lagi pula Hamzah saat ini kondisinya masih belum stabil.
"Kakak...." Suara Ayssa terdengar gemetar tatkala menyebut Hamzah, "aku sangat merindukanmu. Aku tak bisa berpikir jernih tatkala kamu pergi meninggalkanku. Kamu harus lekas sembuh. Aku tak mau melihatmu seperti ini."
Hamzah hanya terdiam lalu menitikkan air mata. Sementara itu, aku segera mengambil tisu dan memberikannya pada Ayssa.
Melihatku memberikannya tisu, Ayssa justru terheran karena memang sedari tadi tak merasa melihat Hamzah menangis.
"Usapkan air mata kakakmu itu." Aku menyimpan tisunya di kasur Hamzah.
Aku juga melihat, pandangan Hamzah yang sedari tadi menatapku tanpa henti. Aku hanya bisa diam. Tak tahu arti dari tatapannya itu. Aku hanya berharap semoga pandangan Hamzah kepadaku bukan karena dendam.
Aku kembali duduk di sofa sambil berbalas pesan kepada bibi dan menanyakan bagaimana kondisi Alif saat ini.
"Rein?" Ayssa memanggilku.
Aku sadar lalu segera menghampirinya.
"Iya?"
"Maaf ya, tolong jaga kakak dulu sebentar di sini. Aku ingin ke toilet dulu."
Aku mengangguk. "Dengan senang hati," lalu kembali duduk di sofa tapi Ayssa menghentikannya.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Kamu duduk di sini saja," dia memintaku untuk duduk di tempat yang saat ini ia duduki.
"Aku di sofa saja. Memang, apa salahnya kalau aku duduk di sana?"
"Ya tak masalah. Tapi kan jarak sofa dengan kakak itu lumayan jauh. Barang kali dia nanti butuh sesuatu, tapi kamu tak mengetahuinya."
Aku mengiyakan juga permintaannya lalu duduk di tempat Ayssa tadi.
Ia juga bilang akan segera kembali setelah dari toilet.
Jujur, ketika Ayssa menutup pintu, aku sedikit canggung dengan suasana yang tak biasa ini.
Walau memang ruangannya tak terlalu tertutup karena ada jendela dan pintu yang terbuat dari kaca, tetap saja aku merasa tak nyaman.
Karena aku tak terbiasa berduaan dengan lawan jenis di satu ruangan dengan pintu tertutup dan ruangan seluas ini.
"T-terima, k-kasih." Aku terhenyak sesaat ketika Hamzah tiba-tiba membuka suara. Benar, logatnya berbicara sama seperti Alif waktu itu. Serak, parau dan terbata-bata.
Aku kembali tersadar dan mengingat ucapannya. "Maksudmu? Terima kasih apa?"
Dia terdiam sejenak tanpa melihatku. Seperti ingin berucap, tapi suaranya seakan tercekat.
"Sudahlah," kataku, "jangan terlalu dipaksakan untuk berbicara. Nanti kalau sudah waktunya, kamu bisa mengatakan apa pun padaku."
Dia menoleh kepadaku sebentar.
"Karena yang terpenting saat ini adalah, bagaimana caranya agar kamu sembuh dan pulang dari sini. Menjadi Hamzah yang seperti biasa, yang selalu mengabdikan dirinya untuk para pasien di rumah sakit."
Kulihat senyuman kecil tersungging di bibirnya. Tapi di saat yang bersamaan juga, aku melihat dia menitikkan air mata.
Segera kuambil tisu lalu mengelap air matanya itu.
"Kamu jangan dulu memikirkan apa pun, Hamzah. Kami semua di sini sangat berharap dengan kesehatanmu. Terlalu berpikir banyak bisa membuat kondisi kamu semakin melemah."
Aku melihatnya yang terdiam lalu menutup mata.
"Aku tak tahu masalah apa yang sedang kamu pikirkan hingga membuatmu terus menangis dari tadi. Kalau misal mungkin, semua tangisan itu karenaku," aku memejam mata sambil menunduk, "aku sangat meminta maaf. Aku sangat membutuhkan maaf darimu atas kesalahan-kesalahan yang pernah aku perbuat padamu saat itu. Aku mungkin sering membuatmu kesal, atau bahkan sakit hati. Awalnya aku tak peduli. Tapi semakin ke sini, aku semakin mengakui hal-hal buruk yang selalu aku lontarkan padamu. Entah ucapan atau perilaku. Tapi aku benar-benar menyesal dan sungguh ingin meminta maaf kepadamu, Hamzah."
Aku mengelap air yang hampir jatuh di ekor mataku. "Kamu tak usah memaksakan diri untuk menjawabnya. Dan kalaupun kamu memang tak akan bisa memaafkanku karena sudah terlanjur sakit hati, itu tak masalah. Mungkin inilah resiko yang harus aku hadapi nantinya. Menanggung dosa karena perbuatan diriku sendiri."
Aku melirik Hamzah yang sudah membuka kembali matanya. Tapi pandangannya masih tertuju pada satu titik.
"Dulu aku tak berniat melakukan semua itu. Aku juga bahkan tak mengerti perasaanmu ketika aku memarahimu bagaimana. Aku belajar semua kesalahanku ini dari Alif. Dia yang telah menyadarkan semuanya itu padaku. Kalau kamu lupa siapa itu Alif, dia adalah pria yang telah menjadi korban dari kekejian para penjahat itu. Sebelum dia diculik, dia juga sangat memikirkanmu dan selalu saja memintaku untuk menemuimu. Dan untuk semua kesalahanku itu, lagi-lagi bahkan sampai kamu bosan pun, aku akan terus meminta maaf. Kalau mungkin, semua air mata yang kamu jatuhkan saat ini adalah karena kesalahanku, akan aku pastikan bahwa aku tak bisa memaafkan diriku sendiri untuk soalan itu."
Ceklek.
Aku tersentak tatkala Ayssa membuka pintu sambil membawa nampan. Aku seketika berdiri lalu kembali duduk di sofa.
Sementara itu, Ayssa nampaknya tak curiga dengan diamnya kami setelah itu.
"Kakak, makan ya?"
Hamzah diam tak bersua.
Ayssa menatapku lalu aku memberi isyarat untuk mengatakannya lagi dengan pertanyaan yang sama.
"Kak, makan ya. Aku tahu di sana kakak tak diberi makanan yang baik. Kakak harus sembuh dan sehat lagi. Makan, ya?"
Sejurusnya Hamzah menggeleng kecil.
Aku menghampiri mereka berdua lalu mengambil nampan yang ada di tangan Ayssa.
"Hamzah, apa kamu mendengarku?"
Dia terdiam.
"Kamu tahu? Ayah, ibu, para asisten di rumah, Ayssa, bibi, paman, mereka semua sangat menyayangi dan mengkhawatirkanmu. Mereka tak mau melihat mu seperti ini. Bahkan kamu tahu? Para asisten di rumah tak mau bekerja lagi sebelum kamu kembali ke rumah."
Aku menatapnya yang masih tak bergeming.
"Aku berharap kamu tak seperti ini. Kamu harus kuat dan bertahan untuk keluargamu, atau setidaknya untuk dirimu sendiri. Kamu harus makan, tak apa kalau sedikit saja yang terpenting perutmu itu tak kosong. Kalau tak mau makan juga, setidaknya minum. Kamu mau, ya?"
Hamzah melirikku dengan tatapan sendu. Ketika melihatnya, aku seketika menunduk karena tak tega melihat tatapannya yang penuh kesakitan seperti itu.
"Aku tahu kamu masih tak mampu berbuat banyak. Tapi sedikitnya kamu harus makan," aku mengambil setengah sendok bubur lalu mendekatkan pada mulutnya.
Dan Alhamdulillah, dia akhirnya membuka mulut lalu makan. Sepertinya, dia belum bisa membuka lebar mulutnya karena masih linu.
Kusuapi Hamzah sampai setengahnya. Setelah itu aku menyendokinya air minum.
"Istirahat lah. Kamu harus cepat sembuh dan pulang dari sini." Aku menyelimutinya sampai dada.
Sementara itu, kulihat Hamzah yang terus saja menatapku. Aku tak tahu arti dari semuanya itu.