Terlalu hina untuk seorang pria yang berasal dari keluarga terpandang. Ya, bila di negara barat mungkin Chiaki sekelas bangsawan. Seharusnya bersanding dengan wanita yang juga berkelas atau mungkin seorang putri kerajaan. Bukan seperti Berlian yang hidup dan tumbuh di lingkungan yang buruk, tidak jelas asal-usulnya apalagi masa depannya.
Perkataan Chiaki yang tak sengaja didengar olehnya beberapa hari lalu selalu terngiang-ngiang di telinganya, bagaikan lantunan irama merdu yang begitu menyayat hatinya.
Tak terasa bulir cairan bening mengalir di sudut matanya. Gadis itu menggembungkan pipinya seraya menghela nafas, menahan gejolak emosionalnya.
"Tidak, Berlian! Kau harus menjadi wanita yang kuat! Ini takdir hidup juga kenyataan yang harus kau jalani!" Berlian memberikan semangat pada dirinya sendiri, meski pada akhirnya dia terguguk dengan menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya.
Semilir angin malam membelai tubuhnya yang bergetar hebat. Kelamnya langit pun seakan menggambarkan hatinya yang tengah hampa.
"Maaf, Nona. Anda harus segera bersiap, kita akan pergi ke suatu tempat!"
Suara Ben yang memberikan perintah membuat Berlian tersentak kaget. Dia menyeka air matanya lantas menoleh Ben yang sudah berdiri di samping sofa yang tengah diduduki olehnya.
"Memang kita akan pergi ke mana?"
Ben sedikit membungkukkan tubuhnya. "Saya tunggu di lantai utama dalam waktu sepuluh menit."
Berlian mencebik kesal setelah kepergian Ben. "Bos dan asistennya memang cocok. Sama-sama menyebalkan!" gerutunya.
Selesai bersiap, Berlian langsung pergi bersama Ben. Setelah tiga puluh menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di sebuah restoran yang memerangkap menjadi sebuah lounge dan club di malam hari. Ben berjalan dengan lebih dulu beberapa langkah di depan Berlian yang menjatuhkan potongan kertas kecil di setiap jalan juga belokan yang dilewati, hingga mereka sampai di depan pintu ruang VIP restoran.
Tok!Tok!Tok!
"Masuk!"
Klak!
Ben membukakan pintu setelah mendengar interupsi dari dalam. Dia mempersilahkan Berlian untuk masuk.
Hal pertama yang dilihat oleh Berlian saat kakinya melangkah masuk membuat perutnya serasa diaduk-aduk. Bagaimana tidak? Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Chiaki sedang memainkan lubang surgawi wanita lain dengan sebuah sosis, lantas memaksa wanita itu untuk memakannya.
Dan bodohnya, wanita yang duduk dengan posisi membelakanginya itu memakan sosis tersebut dengan lahap.
Berlian menyaksikan hal itu rasa mualnya semakin menjadi, membekap mulutnya yang tak bisa menahan diri lebih lama lagi.
"Di mana aku bisa menemukan toilet?" tanyanya pada Ben.
"Di sana, Nona." Ben menunjuk sebuah pintu yang berada tepat di belakang sofa yang tengah diduduki oleh Chiaki.
"Sial! Aku harus melewati mereka du--"
Tidak ada waktu lagi!
Berlian segera berlari kecil masuk ke dalam kamar mandi ketika isi dalam perutnya sudah naik ke kerongkongan.
Hoek!Hoek!Hoek!
Gadis itu memuntahkan semua isi dalam perutnya dengan wajah berada di depan wastafel. Dia menuntaskan rasa mual agar perutnya sedikit lebih lega.
"Ah ... lega sekali rasanya!"
Berlian berkumur serta mencuci mulutnya masih dengan nafas yang tersengal seperti habis lari maraton.
Sejenak dia menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menempel di dinding, memikirkan hal yang baru saja disaksikan olehnya. Selama ini meskipun dia hidup dan tumbuh di mana hal seperti itu sudah menjadi sebuah rutinitas setiap hari, namun tidak pernah sekalipun dia melihatnya. Vero bukan hanya selalu menjaga dirinya, tetapi juga selalu menjaga matanya agar tidak ternoda dengan hal yang tidak senonoh.
"Ya, meskipun kesalahanmu begitu besar, tapi aku tidak bisa memungkiri bila kau satu-satunya pria terbaik yang aku temui di dunia ini," puji Berlian dengan bergumam.
Tidak ada secuil pun rasa sakit di hatinya melihat sang suami mengotori pernikahan mereka dengan bermain bersama wanita lain, yang ada hanya rasa jijik.
"Kau pilih salah satu diantara mereka berdua mana yang akan kau pilih sebagai asisten pribadimu!" titah Chiaki.
Berlian yang baru saja keluar dari toilet mengerutkan keningnya tidak paham maksud perintah Chiaki.
What? Asisten pribadi? Berlian sama sekali tidak membutuhkan asisten pribadi atau apapun itu. Untuk apa? Tidak akan berguna juga untuknya. Selama beberapa hari ini dirinya tinggal di mansion milik Chiaki tidak pernah sekalipun dia keluar dari kamarnya.
Gadis itu menatap dua wanita yang berdiri di samping sofa tunggal yang diduduki oleh suaminya. Tidak ada satupun yang memenuhi kualifikasinya untuk menjadi asisten pribadi.
'Cih! Dua wanita itu lebih tepat menjadi pemuas nafsumu, bukan menjadi asisten pribadiku, Tuan!' Berlian berdecih di dalam hatinya.
Bagaimana tidak? Dua wanita itu berdandan menor, ditambah dengan pakaian yang mereka kenakan begitu seksi. Sangat berbanding terbalik dengannya yang senang mengenakan pakaian yang sopan.
Berlian menggelengkan kepalanya. "Maaf, Tuan. Aku rasa ... aku tidak membutuhkannya," tolaknya.
Chiaki menatap nyalang pada Berlian, seolah mengatakan untuk tidak membantahnya. Namun sayangnya, Berlian terlalu keras kepala untuk patuh hanya dengan sebuah tatapan penuh peringatan.
"Maaf, bukan niat hati saya lancang mengatakan hal ini, tetapi sepertinya kedua wanita itu lebih pantas menjadi teman bermain Anda, Tuan."
Berlian sedikit membungkukkan tubuhnya. "Kalo sudah tidak ada lagi yang ingin Anda sampaikan, lebih baik aku menunggu di mobil saja."
Berlian melangkah keluar, memunguti kembali potongan kertas yang sengaja dia jatuhkan sebagai penanda jalan menuju keluar dari restoran mewah dengan bangunan besar itu. Namun, langkahnya harus terhenti di depan dua belokan ketika tak mendapati lagi potongan kertas tersebut.
Gadis itu menghela nafas berat. "Sepertinya kertas itu sudah dibersihkan oleh petugas kebersihan," gumamnya.
Berlian menegakkan kembali tubuhnya menatap dua jalan yang ada di depannya. Pandangannya pun beredar mencari petunjuk jalan, namun dia tak mendapatkan petunjuk untuk keluar dari sana. Menoleh ke belakang pun, dia tidak mengingat jalan yang baru saja dilewati olehnya beberapa menit yang lalu.
"Astaga, bagaimana ini?" gumamnya.
Tak kunjung menemukan orang yang bisa dimintai tolong olehnya, Berlian akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan sebelah kanan. Dia melangkah mengikuti hingga dia berhenti di sebuah pintu yang bertuliskan 'Masuk'.
Gadis itu bernafas lega, lantas mendorong pintu itu. Sayang seribu sayang, ternyata pintu itu bukan pintu keluar restoran melainkan pintu keluar dan masuknya sebuah club. Suara musik dugem yang sangat kencang membuatnya menutup kedua telinganya.
Terlanjur masuk ke dalam club, akhirnya dia melanjutkan langkahnya melewati pasangan yang sedang bercumbu mesra di lorong pintu masuk. Berharap ada petugas keamanan yang bisa dimintai tolong olehnya untuk mengantarkan Berlian ke parkiran.
"Maaf, Tuan. Di mana pintu keluar club ini, selain pintu itu?" tunjuk Berlian pada pintu baru saja dimasuki olehnya.
Dia bertanya pada seorang pria yang sedang duduk di meja bartender. Pria itu tampak sudah mabuk berat, terlihat dari matanya yang sayu dan keseimbangan tubuhnya yang tidak stabil.
Sungguh polos! Berlian sampai tidak bisa membedakan pria yang waras dan tidak.
Dia sudah bertanya pada orang yang salah! Karena sejurus kemudian pria itu merengkuh paksa pinggangnya.
Akhhh!
Berlian menjerit histeris seraya berusaha membebaskan dirinya dari cengkraman pria itu.
"Tuan, tolong lepaskan saya!"
"Jangan sok jual mahal, Babe! Aku mampu membayar berapapun yang kau inginkan. Katakan berapa harga yang kau pasang untuk satu malam!"
Berlian berang mendengar kalimat pria itu, namun tidak ada kekuatan untuknya melawan. Tenaganya kalah kuat dengan pria itu.
"Tolong lepaskan aku, Tuan! Aku hanya orang yang tersesat, kau sudah salah orang!" pinta Berlian.
Berlian menatap pada bartender yang baru saja memberikan segelas wine pada pria itu, namun bartender itu hanya menggelengkan kepala dengan gerakan lemah seakan mengatakan dirinya tidak bisa membantu.
Belum habis keterkejutannya, Berlian kembali dikejutkan dengan gerakan pria itu yang menggendongnya seperti karung beras.
"Akhhhh! Tolong! Tolong aku!" pekik Berlian. Dia meronta, memukul punggung pria itu dengan kedua tangannya.
Pria itu membawanya ke sebuah lorong yang berjejer pintu saling berseberangan. Berlian mungkin polos dalam mengenali orang, namun dia tidak bodoh untuk mengetahui ke mana dirinya akan dibawa.
"Tolong lepaskan aku, Tuan!"
Berlian tampak putus asa dengan situasi yang tengah dihadapi olehnya saat ini. Dia merutuki kebodohannya yang memilih untuk pergi, jika saja tadi dirinya menunggu sampai Ben mengajaknya pergi mungkin dia tidak akan berakhir dengan pria lain seperti ini.
Terdengar tawa renyah dari pria itu membuat Berlian semakin ketakutan dibuatnya.
"Aku akan melepaskan mu setelah kita sampai di ka---"
Bugh!
Akhhhh!
Tubuh Berlian melayang ketika pria itu ambruk akibat sebuah bogeman mentah yang entah siapa pelakunya. Saat tubuhnya hampir menyentuh lantai, sebuah lengan kekar menahan pinggangnya hingga dirinya tak harus berakhir dengan terjatuh.
Berlian membuka matanya sedikit demi sedikit, hingga dia kembali terpekik ketika wajah seseorang tepat berada di depan wajahnya.
"Akhhhhh!"
Dengan gerakan refleks Berlian mendorong wajah orang yang sudah menolongnya, lantas menegakkan tubuhnya. Dia menunduk takut seraya melirik dengan ekor matanya pada tubuh yang tergeletak tak sadarkan diri di samping kakinya.
'Gila! Hanya sekali pukulan saja dia mampu menumbangkan orang sampai tak sadarkan diri!' batin Berlian.
Dengan perasaan takut Berlian memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya, hingga manik matanya bersobok dengan sepasang mata yang menatapnya begitu tajam. Namun senyuman di bibirnya, sangat memperlihatkan tengah merendahkannya.
"Ada yang ingin kau katakan padaku?"