Glek!
Berlian menelan saliva dengan berat seraya meringis ketakutan.
Apa yang harus Berlian katakan pada suaminya? Terima kasih, kah?
'Aish! Aku tidak sudi harus berterima kasih padanya. Dia yang membuatku secara tidak langsung terjebak dalam situasi seperti ini.'
Ya, pria yang berdiri di depan Berlian, menatapnya dengan tajam adalah Chiaki. Suaminya itu yang sudah membantunya terlepas dari pria mabuk yang kini tak sadarkan diri itu.
"Terima kasih," ucapnya dengan lirih.
Chiaki terkekeh sinis seraya menggelengkan kepalanya, sejurus kemudian dia menarik tangan Berlian, menyeretnya secara paksa untuk ikut dengannya.
"Tuan, kau menyakiti tanganku! Tolong lepaskan! Ini sakit sekali!" Berlian berjalan terseok-seok, tak mampu mengimbangi langkah Chiaki yang panjang.
Bruk!
"Awww!" Berlian merasakan tubuhnya ringsek ketika Chiaki melemparkannya seperti benda ringan ke atas tempat tidur. Dengan menggerutu Berlian mengusap lengannya yang memerah dan lecet akibat cengkraman suaminya.
"Ada atau tanpa persetujuan darimu, aku akan tetap memperkerjakan salah satu dari mereka!" tandas Chiaki.
Berlian hanya mencebikkan bibirnya. Memang dia bisa apa selain menerima keputusan Chiaki?
"Perlu kau ingat! Jangan pernah berani pergi seorang diri! Mengerti?"
Berlian mendongakkan wajah dengan tatapan seakan menerka-nerka apa yang ada dalam pikiran Chiaki sampai mengatakan hal yang sama seperti yang sering dikatakan oleh Vero.
"Ka-kau ... mengetahui a-aku ...."
"Buta arah, right?" tanya Chiaki meneruskan perkataan istrinya.
Ya, kini Chiaki mengetahui alasan Vero memintanya untuk memberikan asisten pribadi untuk Berlian. Gadis itu mengalami buta arah, tidak bisa mengingat jalan ataupun arah meski sudah berulang kali dilewati olehnya. Dia akan kebingungan sendiri dan bisa lebih parah dari itu bila terlalu memaksakan diri untuk mengingat. Berlian bisa sampai tak sadarkan diri bila terlalu memaksakan otaknya untuk mengingat.
Berlian memutus tatapan dengan Chiaki, menundukkan kepala dengan kedua tangannya saling meremas.
Kenapa Chiaki bisa mengetahui bila dirinya memiliki kekurangan?
Kenapa Chiaki harus mengetahui bila dirinya buta arah?
Dari mana pria itu mengetahuinya?
Vero!
Satu nama yang terlintas dalam pikiran Berlian. Pasti pamannya yang memberitahu Chiaki tentang dirinya yang buta arah. Menyebalkan sekali! Padahal Berlian tidak ingin kekurangannya itu diketahui oleh siapapun, kecuali dirinya dan Vero.
"Seharusnya ini menjadikanmu patuh pada perintahku, karena sekali lagi kau melakukan kebodohan seperti tadi ... aku tidak akan sudi lagi menolongmu," ungkap Chiaki.
Setelah itu, Chiaki pergi meninggalkan Berlian di kamarnya. Dia kembali ke lantai utama di mana Ben tengah menunggunya.
"Kau carikan kandidat lain untuk menjadi asisten pribadinya!"
Ben mengangguk patuh seraya mengikuti langkah Chiaki ke bar mini yang terdapat di dalam ruang makan.
"Seperti apa kriteria yang diinginkan nona Berlian untuk menjadi asisten pribadinya, Tuan?"
Chiaki duduk di kursi bundar seraya mengendurkan dasi yang terasa begitu mencekik lehernya. "Kau pasti mengetahui tanpa aku menjelaskannya, Ben!" jawabnya ambigu.
***
Berlian merasa bosan menghabiskan setiap harinya di dalam kamar, maka dari itu saat ini dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya.
Sudah seminggu sejak kejadian dirinya diseret paksa oleh Chiaki dari club, Berlian belum lagi dengannya. Pria itu seperti jelangkung yang datang tak dijemput menghilang pun tak meninggalkan jejak.
Sesampainya di anak tangga terakhir Berlian celingukan mencari di mana letak dapur. Selama hampir dua minggu dirinya tinggal di bangunan megah itu, tidak pernah sekalipun dia mengeksplor seluruh bagiannya. Selama ini dirinya hanya menghabiskan waktu di kamar, karena akan ada pelayan yang mengantarkan makanan atau apapun yang dia butuhkan.
"Astaga! Ke mana penghuni rumah ini? Sepi sekali," gumamnya bertanya-tanya.
Semua pelayan akan kembali ke tempat tinggal mereka yang berada di bangunan belakang setelah menyelesaikan pekerjaan. Mereka akan kembali saat memasuki waktu makan siang dan sore hari, itulah sebabnya setelah hampir sepuluh menit lamanya Berlian menunggu tidak ada satupun pelayan yang lewat. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari sendiri, seperti biasa dengan meninggalkan jejak potongan kertas di setiap jalan yang dilalui olehnya.
Sudah hampir seluruh ruangan dia masuki, namun tak kunjung menemukan dapur.
"Astaga!" geram Berlian. "Apa di rumah semegah dan semewah ini tidak menyediakan dapur? Lantas, di mana para pelayan memasak makanan?"
Saat ini Berlian berdiri di dalam ruang makan yang menyatu dengan bar mini. Dia melangkah untuk duduk di bar sembari menikmati minuman dingin untuk melegakan dahaganya.
"Sedang apa kau di sini?"
Uhuk!Uhuk!Uhuk!
Berlian tersedak ketika mendapatkan pertanyaan secara tiba-tiba dari suaminya. Benar 'kan seperti katanya? Chiaki bagaikan jelangkung.
Berlian menepuk dadanya yang masih menyisakan rasa sakit juga hingga air matanya pun keluar, mengacuhkan pertanyaan Chiaki yang membuatnya seperti ini.
Chiaki berdiri di samping kursi yang diduduki Berlian dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
Berlian menelan saliva ketika menyaksikan sang suami seperti supermodel yang sedang berpose di depan kamera. Terlihat begitu alami dan mengagumkan.
"Berhenti mengagumi yang bukan milikmu!"
Berlian mengerjapkan mata seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Kentara sekali bila dirinya salah tingkah tertangkap basah sedang mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu sempurna dalam wujud suaminya.
"Apa wanita sepertimu memiliki impian?" tanya Chiaki.
Berlian kembali menatap Chiaki dengan wajah bersemu merah, namun terlihat jelas bila dirinya tidak suka dengan pertanyaan Chiaki.
'Wanita sepertiku? Memang aku wanita seperti apa? Aku wanita biasa seperti pada umumnya, hanya saja aku memiliki kekurangan yang mungkin bisa dikatakan langka. Tapi, apa masalahnya bila wanita sepertiku memiliki impian? Semua orang berhak memiliki impian,' batin Berlian mengomel.
"Hanya orang yang tak waras yang tidak memiliki impian dalam hidupnya," jawab Berlian.
Chiaki mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah membenarkan jawaban Berlian. "Lalu, apa impianmu?"
Berlian tersenyum tipis dengan tatapan menerawang jauh. Membayangkan impiannya sedari kecil yang tak pernah berubah.
"Supermodel. Impianku ingin menjadi supermodel yang terkenal," jawabnya polos.
"Supermodel? Dengan keadaanmu yang tidak mengetahui arah ... kau ingin menjadi supermodel?" decak Chiaki menggelengkan kepalanya disertai senyuman meremehkan.
"Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri dengan impianmu itu! Bagaimana jika kau salah berjalan dan justru terjatuh dari atas panggung? Memalukan sekali!" imbuhnya kemudian dengan nada mengejek.
Berlian menggembungkan pipinya seraya mendelik kesal pada Chiaki yang secara terang-terangan mengejek kekurangannya.
"Aku hanya buta arah, bukan buta mata!" sungutnya. Dia sangat tidak terima dengan perkataan Chiaki yang merupakan sebuah penghinaan untuknya.
"Lalu, apa kau ingin mewujudkan impian itu?" Chiaki mengangkat sebelah alisnya menunggu jawaban.
Tentu saja Berlian mengangguk mantap tanpa keraguan.
Chiaki mengusap dagunya, menatap Berlian dengan seringai licik di sudut bibirnya. Sudah tersusun rencana licik dalam otaknya untuk mengambil keuntungan dari sang istri yang tampak begitu polos.
"Aku bisa mewujudkan impianmu menjadi supermodel, tapi ... apa imbalan yang bisa aku dapat darimu?"
Deg!