Ini adalah hari terakhir ujian kelulusan SMP, Ramona menunggu jemputan Kakaknya, selama ujian berlangsung Yusranlah yang sering menemaninya ke sekolah karena ujian SMA sudah selesai seminggu sebelumnya. Seperti biasa Mona menunggu Yusran di bawah pohon depan sekolahnya selang lima menit kemudian yang ditunggu tiba juga.
"Maaf kali ini telat dikit, tadi kejebak macet di perempatan lampu merah, tabrakan beruntun"
"oh..terus yang kecelakaan gimana nasibnya kak"
"Itu sih bukan urusan kakak, udah ada polisi yang menanganinya"
"Kakak giman sih, gak ada empatinya. Ya di tolong atau gimana gitu"
Tak mau berdebat dengan adiknya Yusran segera membonceng adiknya. "Ayo naik, nanti kakak cerita sambil jalan". Perintahnya. Motorpun melaju pelan setelah Ramona naik ke atas boncengan. "Tadi kakak mau nolong, tapi dicegah polisi yang kebetulan berada tidak jauh dari TKP". Lega rasanya setelah menjelaskan kepada adik bungsunya yang suka gak puas kalo belum dijelaskan secara tuntas.
Sampailah mereka berdua dihalaman rumahnya, setelah memarkir motor keduanya bergegas hendak memasuki rumah tapi terhenti karena mendengar isak tangis yang tertahan.
"Kak, itu seperti suara mama, apa mama dan papa berkelahi ya ?" Tanya Ramona penasaran, seumur hidupnya dia belum pernah sekalipun melihat ayah ibunya bertengkar. Mereka adalah pasangan yang sangat harmonis, susah senang mereka tanggung bersama tak pernah sekalipun Pak Hendrinata dan Ibu Melisa memperlihatkan hal buruk di depan anak-anaknya.
"Gak mungkin, udah kita masuk yuk" Yusran mengajak Ramona sambil menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah dengan tak lupa mengucapkan salam.
"Assalamu 'alaikum" ucap keduanya serentak.
"Waalaikum Salam...
Pak Hendrinata menjawab salam kedua anaknya, nampak Ibu Melisa duduk disamping Pak Hendrinata yang segera menghapus air matanya dan mencoba memberikan senyum manis kepada kedua anaknya. Dihadapan mereka duduk Pak RT dan Pak Kades lalu berdiri disudut kiri pak kades dengan berkacak pinggang Pak Joyo. Yusran yang sudah sedikit paham melihat situasi tak kondusif segera menarik tangan Ramona menuju ke arah dapur. Terdengar suara Pak Joyo yang cukup lantang.
"Pokoknya saya tidak mau tau, Kau harus bertanggung jawab Hendri kalo tidak liat saja nanti aku tidak akan tinggal diam" Ancaman itu terdengar cukup keras oleh Ramona, rasanya dia ingin segera meninju Pak Joyo yang tidak tahu diri itu.
"Tenang dek biarkan itu jadi urusan orang tua, anak kecil gak usah ikut campur" Yusran mencegah Ramona yang nampak gusar.
"Kakak gimana sih, orang tua kita di tuding kayak gitu, bukan menengahi malah dibiarkan" Ramona melotot ke arah Yusran. Dia benar-benar gusar.
"Kita kan gak tau apa masalahnya, jangan ikut campur mona. Gak baik mencampuri sesuatu hal yang kita gak tau akar permasalahannya apa, kita liat perkembangan aja nanti".
"Tenanglah Joyo, tuduhanmu sangat tidak berdasar. Tiada angin tiada hujan kamu tiba-tiba datang ke rumahku dengan mengajak Pak RT dan Pak Kades dan hendak mempempermalukan aku dan keluargaku. Apa Tujuanmu ? katamu aku yang membunuh istrimu, apa buktinya ? ayo kita ke kantor polisi" Pak Hendrinata berusaha menenangkan Pak Joyo yang masih keluarganya itu.
"Alah tak usah mengelak kamu, kamu sengaja membunuhnya, bukankah dulu kau menyukai istriku tapi karena kau miskin istriku lebih memilihku" Tuding Pak Joyo
"Apa buktinya ? apa ada yang melihat aku membunuhnya ? kapan kejadiannya bukankah istrimu meninggal aku dan istriku sedang berada di mesjid" Pak Hendrinata membela diri.
"Maaf Pak Joyo, bukan saya mencampuri urusan ini tapi sebagai kepala desa saya hanya memberikan pandangan, ini baru praduga tak bersalah, lagian saya juga ingat saat itu saya sholat berjamaah di mesjid dan Pak Hendri imamnya". Kades berusaha menengahi tapi dasar Pak Joyonya yang mungkin saja iri dengan keberhasilan Pak Hendri tetap merasa tidak puas.
"Memang tidak ada bukti, tapi Kau kan dulu mencintai Istriku, karena tidak kesampaian kau menyantetnya" Tuding Pak Joyo berapi-api.
"Apa tidak salah pak Joyo, bukankah anda sendiri yang telah membunuh istri anda sendiri. Anda memiliki buku perdukunan dan aku pernah melihat buku itu, anda melakukan pesugihan dan istrimulah yang jadi tumbalnya" Ibu Melisa yang tidak tega melihat suaminya dituduh segera angkat bicara.
Nampak wajah pak Joyo menghitam saking marahnya.
"Kau menuduhku ? lihat saja nanti, aku tidak akan terima ini.Tunggu pembalasanku". Ancam Pak Joyo sambil bergegas meningggalkan rumah Pak Hendrinata.
"Pak Hendri dan Ibu Melisa banyak-banyak bersabar, kami tahu bapak tidak bersalah sepertinya Pak Joyo punya niatan terselubung, ini mungkin hanya siasatnya saja. Saya sudah mengenalnya cukup lama, saya sarankan bapak sekeluarga ikhtiar. "Pak RT yang sedari tadi hanya sebagai pendengar yang setia akhirnya angkat bicara.
"Iya pak RT makasih atas perhatiannya, Pak Joyo itu masih keluarga saya mungkin karena dia merasa sedih ditinggal istrinya makanya dia bertingkah seperti itu" Bela Pak Hendrinata. Sebenarnya firasatnya sudah menuju ke arah itu juga tapi untuk menjaga kehormatan keluarga makanya Pak Hendri mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ayo diminum tehnya mumpung masih panas" Ajak pak Hendrinata.
Setelah berbasa basi keduanya pamit dengan tak lupa menghabiskan teh yang telah disuguhkan.