“Akhirnya pulang juga kamu Na, kamu itu lupa apa gimana sampe jam segini kamu baru pulang.” Omel Arya.
“Maaf, Alana lupa Bang kalo sore ini ada chek up.” Balas Alana yang mengakui kesalahannya.
“Kamu tahu, kamu itu nggak boleh melewatkan pengobatan kamu Na. Katanya nggak mau bunda sama ayah tahu soal itu, maka dari itu kamu harus sembuh sebelum mereka tahu tentang ini Na.” Arya memeluk Alana, ia meresa lega karena ia masih dapat melihat bahkan memeluk adik satu-satunya itu.
“Alana minta maaf ya Bang udah buat Abang khawatir.” Kata Alana di dalam pelukan Arya.
“Iya, untuk kali ini Abang maafin. Tapi kalo kamu terus tidak memperhatikan waktu chek up kamu, Abang akan bilang ke bunda sama ayah tentang ini semua.” Ancam Arya.
“Iya, mulai besok Alana bakal perhatiin.” Balas Alana.
“Dan kamu harus janji akan sembuh dan tetap ada di sisi Abang.” Kata Arya yang masih saja memeluk Alana.
“Alana nggak bisa janji Bang, karena Alana nggak bisa nentuin apa Alana bakal tetap hidup dan selalu ada di sisi Abang atau Alana akan meniggalkan Abang untuk selamanya.” Ingin Alana mengucapkan kata-kata itu, namun entah mengapa melihat Arya yang begitu ketakutan kehilangan dirinya menjadikan bibir Alana kelu untuk mengatakannya.
“Kamu pasti bisa lalui ini semua Na.” Gumam Arya dengan mendekap erat Alana.
“Bang, jadi chek up nggak?” Tanya Alana secara tiba-tiba di dekapan Arya.
“Oh iya, jadi lupa Abang, yaudah sana kamu siap-siap dulu.”
# # #
Tak pernah terfikirkan oleh Alana, ia akan kembali ketempat yang sudah ia black list dari daftar tempat yang akan ia kunjungi. Rumah sakit, di situlah kini Alana dan Arya.
“Bagaimana dok ?” Tanya Arya pada dokter setelah selesai memeriksa Alana.
“Begini dek, sebelumnya saya sudah bilang jika penyakit hemofilia adik sudah stadium berat dari hasil tersebut setelah kami telaha, kami memperkirakan umur adek tinggal 3 bulan lagi.” Seketika Arya dan Alana syok, saking syoknya mereka hanya saling pandang tanpa mengeluarkan satu patah kata pun. Ruangan tersebut menjadi hening.
Brrakk!!
Terdengarlah suara gebrakan meja di ruangan tersebut setelah terjadinya keheningan.
“Anda kira anda siapa bilang kalo umur adik saya tinggal tiga bulan lagi!” Kata Arya setelah mendaratkan satu gebrakan di atas meja.
“Maaf dek, itu hanyalah perkiraan saya. Semoga saja itu tidak benar.” Balas dokter tersebut.
“Namun apa yang anda bilang tadi sudah keterlaluan, anda kira anda Tuhan! Berani beraninya memperkirakan umur adik saya!” Seru Arya lagi yang kini dengan menarik kerah jas putih yang dikenakan dokter tersebut.
“Sudah Bang, sudah.” Kata Alana yang ingin menenagkan Arya.
“Tapi dia sudah keterlaluan Na.” Balas Arya masih dengan menarik kerah baju dokter tersebut dan hendak mendaratkan pukulan pada dokter. Namun ketika Arya hendak mendaratkan pukulan Alana berteriak.
“Sudah Bang, sudah! Abang mau Alana mati karena tidak ditangani dokter akibat tingkah Abang sekarang hah!” Teriak Alana dengan air mata yang mengalir di pipinya. Akibat teriakan Alana tersebut, Arya melepaskan tangannya dari kerah baju dokter tersebut. Kemudian Arya berlalu dari dokter dan memeluk Alana.
“Maaf, tadi Abang kelepasan.” Kata Arya pada Alana yang kini berada dalam dekapannya.
“Tapi nggak gitu caranya.” Balas Alana dengan menangis sesegukan.
“Maaf, Abang ngelakuin itu karena Abang nggak terima kalo dokter itu bilang umur kamu tinggal tiga bulan lagi.” Arya menjelaskan alasan ia bertindak seperti tadi.
Naluri Arya sebagai seorang kakak yang hanya memiliki satu orang adik tak terima, jika adik satu-satunya itu difonis umurnya tinggal tiga bulan lagi. Ia terkejut, marah, kacau, hingga ia tak bisa mengendalikan emosinya. Jika bukan karena teriakan Alana, mungkin Arya sudah menghajar habis-habisan dokter tersebut.
“Abang harus minta maaf sama pak dokter tersebut.” Pinta Alana kemudian pada Arya.
“Tapi Na,”
“Nggak Bang, Abang harus tetep minta maaf. Atau Alana nggak mau ngejalanin kemo.” Ancam Alana pada Arya yang tidak mau meminta maaf pada dokter yang hampir ia pukul tadi. Mau tak mau Arya harus meminta maaf pada dokter, atau akibatnya akan fatal. Karena jika Alana tidak mau melakukan rangkaian kemoterapi bisa bisa ia akan kehilangan adik satu-satunya yang ia miliki.
Dengan enggan Arya mengulurkan tangannya kepada dokter, dokter pun menyambut uluran tangan Arya. “Bilang minta maaf Bang.” Kata Alana yang melihat Arya hanya diam dengan menjabat tangan dokter tersebut.
“Maafkan saya dok, sudah bertindak seperti tadi.” Kata Arya.
“Gitu donga.” Kata Alana setelah Arya selesai meminta maaf. Mereka pun lantas membicarakan langkah-langkah selanjutnya yang akan diambil dokter untuk menangani penyakit Alana. Setelah selesai, Arya dan Alana harus buru buru pergi menjemput kedua orangnya di bandara.
“Bang,” panggil Alana pada Arya ketika mobil berhenti karena lampu yang menjulang tinggi di pinggir jalan menyalakan warna merah.
“Hemm,” Balas Arya singkat. Arya sengaja hanya membalas singkat ucapan Alana, karena ia tahu pasti arah pembicaraan Alana menuju kearah diagnosa dokter tadi.
“Bang, kalo diajak ngomong itu hadapnya ke aku dong.” Kata Alana yang sedikit ngambek karena selain ucapannya dibalas Arya dengan singkat, Arya juga tidak melihat ke arah Alana. Arya malah mengalihkan penglihatannya ke sekitar jalan.
“Iya kenapa Na?” Arya yang menyadari Alana ngambek pun kemudian mengalihkan indra penglihatannya ke Alana.
“Abang tu kenapa sih malah liat liat ke tiang lampu merah pas Alana ngajak ngomong, Abang cari cabe cabean.” Balas Alana dengan mendumel.
“Enak aja, nggak lah.” Seru Arya yang tak mau terimana kalo dibilang mencari cane cabean.
“La terus ngapain liat liat ke sono no sono.” Alana melirik lirikkan matanya ke arah tianga dekat lampu merah yang kini sepertinya ada seorang cabe cabean.
“Apaan sih Na, amit amit Abang sama yang begituan. Emang kamu mau kalo punya kakak ipar kaya gitu.” Balas Arya.
“La terus Abang ngapain?” Tanya Alana.
“Abangkan lagi nyetir, ya kamu taulah kalo orang nyetir itu harus konsentrasi. Kalo Abang nggak lihat lampu, ntar kalo lampunya jadi ijo, terus Abang nggak tahu kan bisa dimarahin sama pengendara yang lain dong. Maka dari itu abang lihat ke lampu.” Bohong Arya. Namun Alana masih saja menunjukkan wajah cemberutnya. Arya yang melihatnya pun hanya diam dan melanjutkan menyetir mobil karena lampu yang tadinya merah sudah berubah menjadi hijau. Karena jarak menuju bandara yang sudah dekat dan sepertinya jadwal kepulangan kedua orangnya masih cukup lama, Arya memutuskan untuk menghentikan mobilnya disalah satu supermarket.
“Kenapa berhenti di sini?” Tanya Alana yang heran karena Arya menghentikan mobil di depan supermarket.
“Kamu mau es krim?” Tanya Arya balik. Yah membelikan es krim untuk Alana, itulah tujuan Arya berhenti di supermarket. Itulah jurus paling ampuh yang Arya miliki untuk menghilangkan mood jelek Alana ketika Alana sedang marah.
“Nggak keburu ni?” tanya Alana memastikan.
“Nggak, ayah sama bunda sampe di bandara masih nanti jam 20:30, dan sekarang masih jam 20:00 jadi masih ada waktu.” Balas Arya.
“Ok kalo gitu.”Meskipun waktu sudah cukup gelap, Alana sudah pasti tetap tidak akan menolak ajakan Arya untuk membeli es krim. Alana pun lantas turun dari mobil bersama Arya dan segera masuk ke dalam supermarket.
# # #
Vano pov
Baru saja aku merebahkan badanku di kasur empuk, sudah terdengar suara seseorang yang enggan aku temui.
“Vano, ayah mau bicara sebentar sama kamu.” Ayah membuka pintu kamarku. Aku yang melihatnya pun lantas bangkit dari tidurku dan mengambil jaket dan kunci motorku.
“Vano! Ayah mau bicara sama kamu!” kata ayah dengan menarik tanganku untuk menahanku yang hendak berlalu darinya.
“Lepaskan saya dan jangan sentuh saya.” Kataku dengan cukup lantang namun tidak terlalu keras. Aku melakukan itu karena aku masih belum bisa memaafkannya. Dia yang lebih memilih pekerjaannya, dia yang tak memperdulikan ibu, dan dia yang menyakiti ibu. Bahkan setelah ibu tiada pun sikapnya masih sama, bahkan lebih.
“Vano! Ayah itu mau bicara sama kamu! Kenapa setiap kali ayah mau bicara kamu malah pergi seenaknya?!” Kata ayah Vano dengan menunjuk- nunjuk diriku.
“Bapak Firman yang terhormat, jika anda mau tahu apa yang mengakibatkan saya melakukan itu. Silahkan anda tanyakan pada diri anda sendiri.” Kataku dengan memincingkan mata elangku tepat di depan wajah ayahku.
“Permisi, saya mau pergi.” Lanjutku dengan berlalu dari hadapannya.
“Vano! Mau kemana kamu!”
“Saya mau cari udara segar, gerah saya di rumah.” Kataku asal. Ralat. Bukan asal tapi kenyataan bahwa aku benar benar merasa gerah bila dirumah bersamanya.
Aku pun segera menyalakan motorku dan pergi entah kemana motor ini akan berhenti menemukan tempat yang pas untukku.
Ketika aku mengendarai motor, tiba-tiba aku merasa haus. Mungkin itu karena menjawab ucapan ucapan orang yang takku inginkan. Mungkin karena kebetulan atau mungkin dewi fortuna yang sedang berpuhak kepadaku. Aku menemukan satu supermarket tak jauh dari jalan yang kini sedang kulalui.
Aku pun segera memparkirkan motorku di depan supermarket tersebut dan segera masuk untuk menghilangkan dahaga yang sudah menyerang kerongkonganku.
Minuman sudah berada di tanganku, tinggal menuju kasir dan membayarnya. Namun ketika aku hendak menuju kasir, di salah satu antara rak rak yang berjajar aku melihat Alana yang sedang bersama seorang pria.
“Inikah acara yang ia maksud? Hingga ia dengan terburu-buru pulang ketika sedang bersamaku.” Batinku dengan mencari tempat untuk bersembunyi.
“Untuk apa aku bersembunyi di sini, memangnya aku siapa? Maling?” Batinku lagi. Aku pun memutuskan untuk menemui mereka. Entah mengapa kakiku terasa berat untuk melangkah mendekat kearah Alana dan pria tersebut. Jantungku pun berdegup lebih cepat ketika kakiku terus melangkah. Alana yang menyadari kehadiranku pun berhenti tertawa dengan pria tersebut.
“Mungkin Alana akan lebih bahagia bersama pria tersebut.” Fikirku yang tadinya melihat Alana tertawa lepas bersama pria tersebut.
“Hai Na,” sapaku terlebih dahulu padanya.
“Eh, iya. Lo ngapain ke sini?” Tanyanya dengan agak gugup.
“Ini gue cari minum.” Balasku dengan menunjuk minuman yang berada di tanganku.
“Oh iya, kenalin ini_” belum selesai Alana berbicara pria tersebut sudah mengulurkan tangannya padaku. Aku yang melihatnya pun menyambut uluran tangannya dengan menjabatnya.
# # #