"(Apa, apa yang baru saja aku gambar,)" Ah-duken tak percaya dengan lukisan nya itu. Dia bahkan sampai menelan ludah dan berkeringat dingin karena melukis dengan tanpa sadar. Dia menutup mulutnya dengan hati yang senang. Namun ia masih harus membersihkan bercak darah di lantai dapur dan menetes di bawah kanvasnya.
". . . Bagaimana aku membersihkanya," ia berpikir lalu melihat mayat pencuri itu. "(Jika aku biarkan dia di sana terus menerus, pastinya akan membusuk,)" Ah-duken mengambil plastik sampah yang sangat besar dan membungkus pria pencuri itu di dalam plastik sampah besar yang berwarna hitam. Kemudian meletakan nya di pojok tembok.
Setelah itu Ah-duken berjalan keluar ke apotek terdekat. Dia juga berbicara pada wanita farmasi. "Permisi, apa ada cairan untuk membersihkan darah yang tidak bisa hilang di suatu benda?"
"Ah, kau bisa menggunakan oxydol," kata wanita farmasi itu namun dia terkejut setelah melihat wajah Ah-duken. "Ah-duken..."
". . . ?" Ah-duken juga terkejut saat wanita farmasi itu tahu namanya.
"Kau beneran Ah-duken kan? Apa kau lupa aku?" wanita farmasi itu menatap. Ah-duken menjadi terdiam dan mencoba mengingat ingat dan ia menjadi terkejut karena itu teman SMP nya Grace. "Grace..."
"Akhirnya kau sadar, benar benar sudah lama ya Ah-duken. Kau dulu ikut klub seni bukan, jadi bagaimana dengan hobimu itu yang suka melukis dulu?" tatap Grace.
". . . Aku sudah menjual banyak."
"Eh... Apa... Jadi kau sudah beneran jadi pelukis."
"Tidak maksudku, mungkin aku menjual saja tidak sampai jadi pelukis."
"Tunggu, maksudmu kau menjual ilegal?" Grace menatap curiga membuat Ah-duken terdiam berkeringat dingin dan panik dalam batin nya.
"Hahaha, bercanda, aku mengerti kau hanya malu untuk mengatakan kau pelukis tercatat kan... Hihi dari dulu kau memang begitu," Grace tertawa kecil dan menganggap Ah-duken secara terbalik. "Ngomong omong, kau mau apa dengan oxydol ini?"
". . . Ah... Itu... Ah dapur, aku tak sengaja mencecerkan darah daging mentah disana hehe..." Ah-duken membalas sambil mencoba membohongi Grace.
Tapi Grace malah memasang wajah bingung. "Tangan mu teriris pisau?" tatapnya.
"Ah, e.... Mungkin."
"Hm? Tapi kenapa tak ada tanda tanda luka maupun jarimu yang di tutup penutup luka?" tatap Grace dengan wajah curiga.
"Em.... Maksudku, aku sedang memotong daging, tapi darah nya masih beraroma daging jadi aku harus membersihkan semuanya sampai bersih," kata Ah-Duken.
"Oh pasti terganggu ya," akhirnya Grace tertipu.
"Oh-ya apa kau mau datang ke acara pertemuan SMP besok di bar jaing?" tambah nya dengan wajah ceria.
"Hah... Pertemuan?"
"Ya, mereka baru saja menghungiku dan memintaku mengajakmu, kebetulan sekali kita bertemu, karena di antara banyaknya teman, tak ada yang bisa bertemu dengan mu, mereka tak tahu rumah mu ataupun kontak mu yang telah lama hilang, aku beruntung bisa mengajak mu ke sana," kata Grace sambil membungkuskan oxydol pesanan.
"Entahlah... Mungkin."
"Ayolah Ah-duken, aku akan menghampirimu kok, dimana rumahmu?" Grace memaksa.
". . . Apartemen blok 4 dari kompleks Jian."
"Ah, rupanya dekat dengan sini, jangan khawatir, aku akan menghampirimu malam ini."
"Malam ini..." Ah-duken menjadi terkejut.
"Apa ada masalah?"
"Ah... Tidak... Kalau begitu aku pergi dulu," Ah-duken akan berbalik tapi tiba tiba Grace memanggilnya.
"Tunggu Ah-duken!!"
Ah-Duken terkejut, tapi ia mencoba berbalik melihat. Lalu Grace mengatakan sesuatu. "Aku ingat ketika kamu dulu benar benar baik dan begitu penolong pada semua orang, lelaki yang baik, aku penasaran apakah kamu masih baik sekarang, kamu tidak jahat kan?" Grace menatap membuat Ah-duken terdiam.
Dia bahkan teringat mata mayat itu, bagaimana dia bisa dikatakan baik ketika dia membunuh orang lain. Lalu dia menjawab. "Yeah, aku masih baik, jangan khawatir," balasnya lalu berjalan pergi.
Setelah itu, Ah-Duken berjalan pulang dengan rasa gelisah. "(Apa yang harus kulakukan, aku benar benar bodoh, haruskah aku menyerahkan diriku ke kantor polisi. Tapi aku tidak mau di penjara dan aku tidak bisa melnjutkan karirku nantinya...)" dia terus khawatir hingga pulang ke apartemen.
Sebelumnya ia melihat sebuah kebun kecil yang ada dibelakang apartemen. "(Ah... Itu kebunku... Tunggu... Kebun,)" Ah-duken menghentikan jalannya dan teringat sesuatu soal mengubur mayat itu.
Tapi sebelumnya Ah-duken memutuskan untuk membersihkan terlebih dahulu darah yang masih ada di lantai apartemenya. Karena sudah menyebar terlalu banyak ke sebagian permukaan, ia juga harus membersihkan nya dalam waktu yang lama. Ah-Duken menghabiskan waktu beberapa jam hingga dia benar benar lelah. "Fyuh... Akhirnya selesai," ia membersihkan kotak oxydol itu dan membuangnya.
Lalu melihat kantung plastik mayat itu yang masih ada di pojok tembok. "(Sekarang tinggal pikirkan cara untuk membawanya ke bawah,)" ia terdiam berpikir.
Terlihat seorang wanita paruh baya membuka lift. Ia sedikit terkejut melihat apa yang ada di dalam lift. Karena di dalam lift ada Ah-duken dengan kotak kardus besar di sampingnya.
"Oh ya ampun... Bukankah kau Ah-duken yang ada di apartemen nomor 54?" wanita itu masuk dan mendekat.
"Ah benar bibi, aku ada disana (Tetap bersikap normal... Normal,)" Ah-duken mencoba bersikap biasa.
"Rupanya kau benar benar tampan ya, seringlah mampir ketempatku untuk bertemu dengan anak perempuanku... Jangan khawatir, dia juga cantik... Ngomong ngomong untuk apa kau membawa kotak besar ini, apa ada sesuatu?" tanya wanita paruh baya itu. Seketika Ah-duken panik dalam hatinya ingin mengatakan apa.
"Ku... Kulkas... Ya... Kulkas, aku sedang membawa kulkas ini untuk di berikan pada seseorang."
"Oh begitu ya, rupanya kau juga baik," wanita itu menjadi mempercayainya karena kardus itu juga memanglah kardus isi perabot pendingin.
Setelah sudah turun di lantai bawah mereka berdua turun. Wanita itu berjalan pergi dengan tas sayur yang dia bawa. Sepertinya dia memang akan pergi belanja dan Ah-duken bisa kembali tenang sambil membawa kotak itu ke halaman apartemen miliknya sendiri. Ia mengambil sekop dan membuat lubang kubur. Untuk tubuh sepertinya memanglah tidak sulit dalam menggali dan dia bisa mengubur mayat pencuri itu disana beserta plastik nya tapi kardus itu tetap tidak ia kubur, ia hanya membuang kardus itu di tempat sampah umum.
"Fyuh... Akhirnya," ia berjalan lelah ke ruangan apartemen nya. Saat ia membuka pintu, mata miliknya sudah disambut dengan lukisannya yang masih berdiri di depan jendela disinari oleh cahaya matahari.
"(Ke-kenapa lukisan ini sangat bagus dari semua yang aku buat selama ini??)" Ah-duken terdiam agak terpesona tapi ia menjadi terkejut. "Hah... Tidak," ia mengambil lukisan itu dan menjauhkanya dari matahari.
"Fyuh... Warnanya akan pudar jika terkena sinar uv karena ini dari darah... Apa yang harus kulakukan untuk membuatnya tetap berwarna seperti ini?" Ah-duken menjadi bingung. Lalu ia menjadi punya ide dengan bahan resin epoksi.
"Haha... Benar resin," ia berjalan mengambil kotak resin di lemari khusus lukisan nya tapi ia terkejut ketika resin nya telah habis.
"Apah... Aduh... Aku jadi harus keluar," dia mengambil jasnya dan berjalan keluar untuk membeli resin epoksi.
"(. . . Bagaimana jika pencuri itu akan dicari... Tunggu dia tak punya siapa siapa bukan, fyuh aku bisa tenang,)" Ah-duken menghela napas sendiri. Tiba tiba dijalan ia bertemu dengan Maine.
"Oh... Ah-duken," Maine memanggil.
"Maine... Kau akan kemana?" tanya Ah-duken.
"Oh... Aku baru saja kembali dari bekerja bagaimana denganmu?"
"Aku ingin membeli resin."
". . . Hm... Resin... Sepertinya aku tahu tempat yang bagus."
". . Apa?" Ah-duken bingung.
"Ayo ikut saja," Maine menarik tangan Ah-duken membuatnya terkejut.
Maine membawanya ke sebuah tempat gang kecil dan sepi. "Maine, kenapa kita ada disini?" Ah-duken menatap sambil mengikuti Maine dari belakang.
"Tenang saja, aku punya orang baik disini," Maine membalas dan menarik lengan Ah-Duken. Hingga mereka sampai di sebuah tempat toko yang menarik.
". . . Ini..." Ah-duken menjadi terkesan melihat tempat itu kecil namun juga lucu dan menarik. Lalu ia menjadi bingung dan berpikir kenapa kedai semenarik ini ada di tempat yang seperti jalan gangster.
"Ayo masuk," Maine menarik lengan Ah-duken lagi untuk masuk.
"Selamat datang..." seorang pria menyambut mereka berdua dengan tubuh besarnya.
"(Siapa... Gangster... Mafia...??)" Ah-duken terkejut melihat tubuh kekar pria itu.
"Hai Theron," Maine menyapa dengan senyum manisnya. Seketika Ah-duken tambah terkejut Maine kenal dengan pria yang terlihat seram itu.
"Oh.... Maine, halo," pria itu membalas dengan lembut membuat Ah-Duken terkejut.
"(Apa yang terjadi, kenapa dia tidak seram.....)"
"Lama tidak bertemu, kenapa kau ada disini, apa kau butuh benang woll lagi," pria yang bernama Theron itu menunjukan sekotak kecil penuh benang warna warni yang lucu.
"Wah... Kawai... Apa ini kotak baru lagi," Maine menatap lalu Theron mengangguk.
"(Tempat ini... Sangat lengkap dengan aksesoris seni,)" Ah-duken melihat sekitar. Lalu Maine menoleh padanya dan ingat sesuatu.
"Theron, sebenarnya aku kemari hanya mengantar Ah-duken yang membeli sesuatu... Benar bukan Ah-duken," Maine menatap. Lalu Ah-duken menoleh.
"Apa yang sedang kau cari?" Tatap Theron dengan wajah datarnya pada Ah-duken yang terkaku. Padahal wajah yang ia tunjukan adalah wajah yang lembut dan ramah tapi pada Ah-duken, benar benar drastis sekali perubahan nya.
"E... (Kenapa dia begitu seram?) Ah... Tunggu... (Kenapa aku jadi lupa barang apa yang akan aku beli??)" Ah-duken terdiam sendiri membuat Maine dan Theron menunggu.
"Ah-duken?" Maine menatap.
"E.... Maine, apa kau masih ingat aku tadi ingin beli apa?"
"Em... Re... Resin...?"
"Ah, ya, resin epoxy," kata Ah-duken yang sudah mengingatnya.
"Oh, aku mengerti, apa kau ingin yang mudah kering?" tanya Theron sambil mengambilkan kotak resin.
"Ya, tolong," Ah-duken membalas. Lalu ia menoleh ke Maine dan bertanya sesuatu sambil sedikit berbisik. "Maine... Apa dia mantan preman?"
"Hm...Sepertinya begitu," Maine membalas sektika Ah-duken menjadi terkejut gemetar.
"(Bagaimana bisa seorang preman memiliki tempat yang sama sekali tidak menunjukan bahwa dia preman?!!)"