Gadis berambut pirang itu berlari dengan kencang saat mendapat informasi dari teman satu angkatannya. Antariksa di serang.
Napasnya terengah saat sampai di sebuah lapangan yang letaknya lumayan jauh dari sekolah, Emilia menumpukan kedua lengannya di lutut dan mengambil napas dengan rakus, lalu sorot matanya memandang siapa saja di hadapannya dengan bengis.
"MAU APA KALIAN, HAH?!" teriakannya sangat nyaring, gadis itu maju paling depan di antara siswa Antariksa.
"ANAK ANTARIKSA NGUSIK KAMI! KALIAN PIKIR KALIAN SIAPA?! ANAK ORANG KAYA YANG BISANYA CUMA NGUMPET DI BALIK UANG ORANG TUA KALIAN, KALIAN TU SAMPAH!"
"EH BAJINGAN!" Emilia menatap seseorang tersebut dari pihak lawan dengan mata bengisnya. "TUTUP MULUT SAMPAH LO ITU! LO GAK TAU APA YANG KAMI RASAIN, KALIAN CUMA BISA KOMENTAR DI LUAR PAKE OTAK SAMPAH LO ITU! ANJING LO SEMUA!!"
Satu detik setelahnya, pihak sekolah lawan maju menyerang siswa Antariksa, posisi lapangan agak jauh dari jangkauan pemukiman jadi mereka seperti bebas.
Emilia mengelak saat ada seorang lelaki yang ingin menyerangnya, dengan tongkat baseball yang ia raih dengan asal, ia memukul tengkuk pria itu sampai pingsan dan langsung meninggalkannya.
Emilia menghampiri teman satu angkatannya yang kini sedang di kepung oleh tiga orang, ia memukul tongkat yang di bawanya ke arah pihak lawan.
Bugh!
"MATI AJA LO SEMUA, BAJINGAN!"
Bugh.
Bugh.
Tiga orang yang tadi mengepung temannya kini pingsan, Emilia mengangguk ke arah temannya yang tadi tersenyum tipis. Dengan bringas cewek itu mengayunkan tongkat yang di bawanya ke arah pihak lawan yang tertangkap oleh matanya.
Sebagai pelampiasan rasa kesalnya, Emilia menarik kerah seorang lelaki dan membalikan tubuhnya, saat melihat wajahnya Emilia langsung saja memukul wajahnya.
Bugh.
Bugh.
Bugh.
Cowok itu langsung terkapar dan Emilia masih saja menindih tubuhnya dan semakin melayangkan serangannya. Dengan membabi buta ia memukul sampai cowok itu pingsan dengan wajah babak belur.
"ANJING LO SEMUA!" Emilia berdiri dan kembali memukuli dengan brutal, saat napasnya terengah, Emilia merasakan seseorang menarik tubuhnya dari keramaian dan mendekapnya. Ia mendengar suara bisikan.
"Udah ya, aku gak mau liat kamu kena pukul."
Emilia mengangguk, sekujur tubuhnya lemas dan terjatuh dalam dekapan Dario, mereka berdua duduk sambil berpelukan. Dario mengusap punggung Emilia dan menciumi puncak kepalanya dengan sayang. "Pulang ya, sayang?"
Emilia mengeratkan pelukannya dan langsung merasakan tubuhnya melayang, Dario menggendongnya.
Emilia memang selalu seperti ini, sama seperti Rachel jika sudah sangat emosi ia akan kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Emilia pingsan dalam dekapan Dario, Dario menatapnya lama dan langsung menjalankan mobilnya menuju rumahnya.
***
"Dario, kenapa Milia?"
Frisca bertanya saat anaknya itu pulang ke rumah membawa Emilia dengan kondisi tak sadarkan diri. Frisca langsung buru-buru ke dapur untuk membuatkan teh dan bubur untuk Emilia. Sedang Dario, membawa gadis itu ke kamarnya.
Ia membaringkan cewek berambut pirang itu dan melepaskan sepatunya, ia menyelimuti Emilia sampai dada dan ikut duduk di kasur kosong sebelah Emilia.
Dario menatapnya, "Kenapa, sih? Lia jadi cewek kok brutal?"
"Tau gak si Lia, aku tuh suka takut liat kamu marah, tapi aku diem aja biar kamu gak makin marah. Kalo Lia marah tuh nyeremin banget!"
Dario curhat pada Emilia yang masih memejam. Menghela napas, cowok itu bangkit dan mulai berganti baju.
Beberapa saat kemudian Dario keluar dengan celana boxer hitam selutut dan kaos hitam pendek polos miliknya. Cowok berambut cokelat itu juga sehabis mencuci muka menyebabkan wajahnya juga sedikit basah. Ia mengayunkan kakinya untuk mendekat ke arah Emilia yang masih berada di atas ranjang.
Dario mengusap kening Emilia, tak lama mata hijau cewek itu mengerjap dan mengernyit saat melihat Dario. Dario menggunakan kedua tangannya untuk membantu Emilia duduk dengan bersandar. Cowok itu menurunkan kemeja putih sedikit ketat yang Emilia pakai karena tadi agak tersingkap ke atas.
Lengannya bergerak meraih gelas kaca berisi air putih di atas nakas dan memberikannya pada Emilia. Emilia meneguknya sedikit dan kembali menyerahkan gelasnya pada Dario.
Dario mengangkat mangkuk bubur yang masih hangat dari atas nakas, bubur itu tadi di buat Frisca untuk Emilia. "Makan bubur dulu, ya?"
Emilia mengangguk, bubur buatan Frisca memang selalu enak. Mama dari Dario itu memang paling suka memasak, bahkan juga sering memberikannya kue untuk camilan dirinya menemani Dario.
Emilia paling suka kue oreo, Frisca pernah bercerita kepadanya jika dulu Frisca sering memberikan kue untuk Marchel beserta surat yang di kirimnya. Frisca juga mengaku jika ia sempat menyukai Papapnya.
Dalam hati ia berbisik, iya lah, bokap gue ganteng abis!
Makanan itu habis, Dario meletakkan mangkuk putih itu di atas nakas dan menyerahkan air. Emilia meneguknya sedikit dan kembali menyerahkan benda kaca itu. Gadis itu memegang kepalanya, "Ri, pusing!" rengeknya.
Bukannya panik, cowok itu malah tertawa pelan dan ikut duduk di samping Emilia. Ia menyibakkan selimut dan menyelunsupkan kedua kakinya pada selimut yang Emilia pakai. Dario menarik kepala Emilia ke arah dadanya dan mengelus serta mengecup kepala Emilia.
"Udah gak pusing, kan?"
Emilia memukul dada Dario pelan, tapi malah semakin mencari posisi nyaman pada dada cowok berambut cokelat itu. "Alay lu!"
Dario tertawa dan mengelus rambut Emilia. Dario meraih ponselnya serta earphone yang berada di atas nakas dekatnya dan membuka aplikasi musik, sebelah ia pakaikan ke telinganya dan sebelah ke telinga Emilia.
Cowok itu memilih lagu Thank You For Loving Me - Bon Jovi.
Emilia terkekeh kecil dan mencubiti pelan dada Dario. "Lo alay tau, gak?"
"Ish Lia mah," bibirnya sedikit maju. "Rio cuma mau bikin Lia tenang, udah deh Lia diem aja!"
Emilia terkekeh dan mengangguk. Lalu tanpa aba-aba pintu kamar Dario terbuka, membuat kedua manusia di dalamnya spontan melihat ke arah pintu dengan wajah kagetnya.
Yang membukanya pun sama kagetnya, Emilia sempat sedikit pangling saat melihatnya. Sampai satu detik setelahnya pekikan Emilia terdengar sangat kencang sampai terdengar ke bawah.
"ABANG RANO!!!!"
***
"Lia, sinian, sih!"
Dario cemberut mendapati Emilia yang kini malah asik menempel dengan Derano, Kakaknya. Emilia menggeleng, "Apaansih? Ganggu tau gak lo? Sho!!"
Frisca datang, ia meletakkan sebuah nampan berisi empat cangkir teh beserta tekonya dan sepiring berisi empat buah cup cake oreo. Dario langsung memeluk Mamanya begitu sang Mama duduk di sebelahnya, besebrangan dengan Derano dan Emilia.
"Mama!" rengeknya, "Lianya nakal!"
Frisca terkekeh dan menaikkan sedikit letak kaca matanya. "Kenapa?"
"Itu, nempel mulu sama Kakak!"
Derano tetap terdiam, ia tak risih Emilia yang terus bergelayut di lengannya. Ia memang cuek, bahkan terkesan dingin jika bukan sama orang terdekatnya, dengan orang terdekatnya saja, ia jarang sekali bicara. Memang sudah dari lahir seperti itu, bahkan Kelvin saja sampai heran melihat anaknya.
"Ih Tente, si dia mah sirik aja aku nempel sama cogan!" sela Emilia.
"AKU JUGA COGAN!" pekiknya kencang, bahkan hampir seperti tikus yang terjepit lehernya.
"Iya lu cogan, tapi gue bosen!"
"MAMI!!!!" pekiknya tambah histeris. "LIA BOSEN SAMA AKU, HUAAAAAAAAA!"
Dario menangis sambil memeluk Frisca, Emilia hanya menatapnya malas dan Derano menatapnya datar. Adiknya tidak berubah.
***