Sepanjang jalan, Emilia hanya diam memerhatikan raut wajah Dario yang tertekuk masam. Cewek itu sedikit heran karena biasanya Dario paling berisik."Lo kenapa, deh?"Tak ada balasan.Emilia mendengkus sinis, cewek berambut pirang tersebut menaikkan sebelah kakinya di atas kursi penumpang mobil samping Dario. Hell, bahkan cowok tengil itu sama sekali tak meliriknya.Dengan kesal, Emilia mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku kemeja sekolahnya. Ia masih memandang sinis Dario yang malah cuek sambil menyetir."Muka goblok lo itu, gak cocok buat marah." Emilia menyulut rokoknya dengan pematik, Dario tetap bergeming di tempatnya.Emilia semakin kesal! Dengan sengaja ia menghisap batang rokoknya dan menghembuskan asap mematikan itu tepat di hadapan wajah Dario. Dario terbatuk-batuk dan Emilia malah terkekeh melihatnya. Tak lama Emilia merasa mobil yang di tumpanginya berhenti di pinggir jalan. Dengan wajah songongnya, gadis itu menatap Dario yang kini memasang wajah jengkel."Apa?!" Emilia mengangkat dagunya tinggi-tinggi."LIA GAK PEKA ATAU BEGO, SIH?" cowok itu memekik dalam mobil, Emilia sampai harus menutup kedua telinganya mendengar suara seperti tikus kejepit itu. "MAKSUD LO APA?!""DARIO CEMBURU!!" Dario melebarkan matanya ke arah Emilia, napas cowok itu terengah seperti habis berlari. Padahal, ia hanya menahan emosi."LO CEMBURU?!" Emilia malah tertawa keras, sedangkan Dario kini menelungkupkan wajahnya di atas setir mobil dengan kedua tangan terlipat di bawahnya. Emilia terdiam saat samar-samar mendengar Dario menangis."Eh, lo nangis?" "Nggak! Lagi vocal group! Hiks ... Hiks ...," isaknya."Lah tolol!" Emilia kini terkekeh. "Ngapain lo nangis, babu?!"Dario bukan mengangkat wajahnya, melainkan hanya memiringkan wajahnya ke arah Emilia, masih posisi menelungkupkan kepala di atas tangan dan setir mobil."Aku cemburu! Liat, kamu sama Kak Derano deket gitu kayak uler keket! Aku tau Kak Derano lebih pintar dari aku, lebih ganteng, lebih misterius, lebih diem kayak patung arca. Gak kayak aku yang cerewet kayak mulut bebek, yang cengeng, yang bego!!""Denger ya, Fakboi Junior!" Emilia membawa tubuhnya menyamping, menatap Dario. "Derano emang lebih dari elo, tapi kalo emang gue sukanya sama elo, mereka bisa ape? Biar lo bego, gue suka. Biar lo cengeng, gue suka. Biar lo cerewet, gue suka. Karena semua itu cuma buat gue, kan?"Mendengar itu, Dario langsung mengangkat wajahnya yang sembab dan mengangguk ceria menatap Emilia. "Aku sayang Lia!! Sayangggggg banget!"Dario memeluknya, Emilia membalas. Mereka berdua terkekeh bersama."Gemes!"***"Heh, cabe!"Emilia yang sedang berjalan di ruang tamu, memberhentikan langkah kakinya saat memastikan seruan itu tertuju untuknya. Gadis dengan rambut di ombre warna ungu itu menatap sang Mama dengan jengah."Gak usah nyari tubir, Mak!""Dih!" Rachel sewot, "Siapa yang mau tubir sama elo, buang-buang waktu gue!""RACHEL!"Emilia menahan tawanya mendengar seruan Papanya dari lantai atas. "Mampus!""APASI LU, CEPETAN TURUN!!" Rachel memang songong, tolong siapkan batu untuknya di chapter ini."Ma, durhaka lama-lama sama Papap!" Emilio yang baru saja muncul dari tangga, berseru dengan santai. Cowok itu berjalan menuju dapur dan tak lama datang ke ruang makan dengan membawa segelas orange juice dari sana. "Yoi, kadang suka sawan sih, gue."Rachel menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bayangkan saja jika kalian punya anak, dan anak kalian menegur kelakuan kalian sendiri yang memang salah. Apa tidak malu?Rachel memang urat malunya sudah putus. "Hati-hati loh, Ma!" Emilia menakuti, tapi ia di beri tatapan tajam oleh Racel jadi ia hanya terkekeh saja. "Mandi lu, bau asep. Ketauan Papap bisa mati kita!" Emilia tersadar, dan langsung panik begitu melihat Papapnya yang ganteng sudah keluar dari dalam kamarnya. Mengabaikan Emilia yang panik, Rachel justru girang melihatnya. "Widih, cogannya gue udah makin ganteng."Emilio dan Marchel kompak mendengkus bersamaan.Alay.***"Serius, Ma?"Rachel mengusap wajahnya, "Biasa aja itu congor, gausah maju!""Gue heran, setiap hari Mama ngajak gue tubir mulu, doi Emak gue apa bukan si, Bang?" Emilia menyenggol lengan Emilio yang sedari tadi duduk dengan tenang di sebelahnya. "Au," Emilio menyuap makanan ke mulutnya dengan sendok, "Bukan kali.""Ish!" Emilia menjitak kepala Emilio dengan kesal, sedangkan Emilio hanya diam dan lanjut memakan makan malamnya. "Lo laknat banget jadi Abang! Kalo bisa request mah, gue aja yang jadi Kakak biar tiap hari lo gue bully terus!"Emilio merespon malas. "Coba aja kalo bisa."Emilia mendengkus dan berdiri dari meja makan, ia sedikit menyentak kedua tangannya di atas meja, yang menimbulkan bunyi lumayan berisik.Marchel yang melihat anaknya berdiri langsung bersuara, "Emilia, habiskan makanan kamu, Nak.""Males." Emilia memutar bola matanya, "Di sini bikin aku gak nafsu makan, Pap. Berasa anak tiri!"Emilia berjalan cepat meninggalkan Marchel dan Rachel yang menyerukan namanya. Bahkan ia sampai membanting pintu kamarnya yang membuat Marchel menatap Emilio kali ini. "Dia kenapa?"Emilio menggedikkan bahunya acuh. "Lagi PMS kali, Pap."Marchel menggelengkan kepalanya dan melanjutkan acara makan malamnya. Setelah ini ia harus memeriksa beberapa dokumen di ruang kerjanya.***Ceklek.Emilio masuk ke dalam kamar berwarna putih hitam tersebut, kamar adiknya, Emilia. Emilio tidak melihat kembarannya tersebut di ranjangnya, tapi ia merasa jika adiknya itu ada di balkon kamar.Kakinya terayun menuju balkon kamar, saat melihat, di sana terdapat Emilia yang sedang duduk menghadap kosong ke depan. Di antara jari tangan kanannya terselip satu batang rokok yang menyala. Emilio mendengkus."Jaga paru-paru lo!" cowok pirang itu duduk di samping kembarannya yang sedang ngambek."Apa peduli lo?" sinis Emilia. Ia kembali menghisap batang mematikan itu dan membentuk bulatan-bulatan kecil pada asapnya. "Gak usah sok peduli, biasanya juga lo cuek sama gue.""Gue peduli sama lo," Emilio menaikkan sebelah kaki kanannya di atas kaki kirinya, "Tapi lo gak pernah nyadar.""Oh ya?" terdengar tawa hambar, "Haruskah gue berterima kasih?""Nope.""Good, gue baru percaya ini elo."Emilio menghela napas. "Jangan baper sama Mama, kalo lo jengkel sama kelakuannya lo bisa ngaca ke diri lo sendiri. Baru lo boleh marah.""Segitu miripnya gue sama Mama?" Emilio mengangguk, "Kalo kata Om Kelvin mah, kayak pinang di belah duren.""Tolol," Emilia tertawa. "Mana ada pinang di belah duren?!""Lo tau sendiri siapa yang ngomong, orangnya aja absurd apa lagi omongannya."Emilia masih tertawa. "Kasihan ya pacar gue, harus nurunin sifat Bokapnya.""Nah!" Emilio mengelus kepala Emilia. "Kalo cowok lo lebih absurd.""Idih, sialan banget!"***