Jakarta, Indonesia.


"Aku belum menemui si Curut Joon, sejak beberapa hari yang lalu, Tuan Lizen!" Nana berucap. Ia tengah menikmati ice americano saat ini di Sacred Lotus's Cafe milik Jaya.

Tadi, Jaya menanyakan bagaimana keadaan Joon. Terakhir kali ia menghubungi Joon melalui video call setelah ia mengira bahwa Joon telah berada di Dunia Bawah. Namun, ternyata Joon masih berada di Singapura.

Jaya tidak tahu saja jika Joon menelponnya saat itu karena diberitahu Miryu melalui telepon jika Jaya mencurigai mereka telah ke Dunia Bawah. Jadi, Miryu menyuruh Joon untuk menghubungi Jaya lebih dulu sore itu, sesaat setelah Miryu diinterogasi oleh Jaya.

Jaya agak terganggu dengan panggilan 'Curut' yang  disematkan di depan nama putranya.

"Oi ... siapa yang memberimu izin mengubah nama anakku, hah?! Kau ingin pedangku menusuk mulut sialanmu hingga tembus ke dubur, hah?!" bentak Jaya. 

Jaya memang terkenal dengan sifat kasarnya. Jadi, ia tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik. Sangat jauh berbeda dengan Kevin dan Joon. Mungkin itulah alasan mengapa Jaya tidak pernah menjalin suatu hubungan dengan wanita mana pun.

Jaya seperti punya trauma sendiri jika berada di dekat manusia. Sedikit sama kasusnya seperti Akiyama Takeyuki. Mereka seperti punya ketakutan pada yang namanya 'wanita'.

Nana bangkit. Ia tertarik pada suatu hal yang berada di cafe ini. Cafe belum buka, jadi hanya ada Jaya dan beberapa karyawan di cafe ini.

Nana mengayunkan langka dan menuju ke dekat dinding cafe ini. Di sana terpasang lukisan abstrak, lukisan yang di pojok bawahnya tertulis nama 'Joon Kiyut'. Nana tidak tahu sebabnya kenapa lukisan jelek itu harus dipasang di situ. Bahkan, lukisan anak SD saja masih jauh lebih indah dari lukisan

"Ahahaha ... seharusnya Anda memperlakukanku dengan baik, Tuan Lizen. Karena akulah yang menyelamatkan putera Anda yang bodoh itu dari kematian."

"Apa maksudmu, hah?" Jaya bangkit dari duduknya. Ia berbalik dan mendekat ke arah Nana yang berada di depan lukisan Joon.

Nana menampilkan senyum tengil yang begitu menjengkelkan bagi Jaya.

"Seminggu yang lalu, ia berada di ambang kematian karena sebuah ledakan di laboratorium, Tuan Lizen. Siapa lagi kalau bukan perbuatan putramu sendiri yang meledakkan laboratorium milik keluarga kami."

Saat mengucapkan itu, sorot mana Nana berubah tajam. Jaya dapat melihat kekesalahan dari raut muka Succubus Elit itu. Jaya tidak tahu seberapa menjengkelkannya anakknya, sehingga seluruh keluarga Akiyama seolah-olah membenci Joon. Bahkan, Takeyuki dulunya juga membenci Joon, bukan?

"Jadi ... maksudmu ... kau telah memberinya ramuan dari jiwa manusia, hah?! Bahkan tanpa persetujuanku?!" Jaya membentak. Selama ini, ia masih mencari tahu bagaimana cara mempertahankan kemurnian Joon sebagai manusia. Namun, Succubus tidak berguna itu malah dengan lancangnya memberi Joon 'jiwa manusia' bahkan tanpa sepengetahuan Jaya.

"Oh ayolah, Tuan! Anda tahu sendiri 'kan kalau tak mungkin mempertahankan kemurniannya sebagai manusia, di saat kondisinya mengkhawatirkan seperti itu. Jadi, terimalah kenyataan! Manusia yang bernama Joon telah mati, kini Joon telah menjadi bayi iblis."

Nana menjeda kalimatnya. Ia berjalan tenang kembali dan duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. Ia meneguk kembali ice americano-nya.

"Tapi ... ada yang aneh dari si Curut Joon, Tuan. Sejak sadar, ia tak menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan seperti iblis pada umumnya. Dan lagi, saat aku memberinya ramuan dari 'jiwa manusia', tanda hexagram di dadanya memudar. Tapi, saat ini telah muncul lagi. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi ," ucap Nana setelahnya. Ia terlalu sibuk mengurusi persidangan ayahnya. Jadi, Nana baru sempat bercerita pada Jaya saat ini. 

Jaya terhenyak. Ia mengikuti langkah Nana dan mencengkeram kasar kedua lengan gadi itu.

"A-apa?! Kenapa kau tahu tanda lahir di dada putraku juga, hah? Apa yang telah kau lakukan padanya?" Jaya menggeram, marah. Ia tak dapat membayangkan jika gadis mesum ini telah melecehkan putranya itu. Kalau tidak, mana mungkin Nana mengetahui tanda lahir Joon yang berbentuk aneh itu.

"Hei ... apa Anda lupa kalau aku ini bibinya, Tuan Lizen? Bahkan, aku sering memandikan Joon saat kecil. Jadi, maaf! Aku sama sekali tak bernapsu pada anakmu yang bodoh itu," sungut Nana, tajam. Ia dua kali dituduh melecehkan Joon, si remaja yang bertampang bodoh tapi sebenarnya mesum itu. Yang pertama saat Nana memberi Joon 'jiwa manusia' yang dikira Takeyuki malah Nana ingin mencium bibir Joon.

Kejadian itu benar-benar menjijikkan! Kalau bukan perintah Ryujin, yang notabene-nya adalah ayah dari Tuan Miryu-nya, mana mungkin Nana mau melakukan hal menjijikkan itu. Lebih gampang jika melihat Joon meregang nyawa saja.

Namun, selain karena perintah Ryujin, Nana juga memikirkan perasaan Takeyuki, kakaknya. Kakaknya itu pasti akan gila kembali jika Joon tiba-tiba meninggal dunia karena kelalaian Takeyuki menjaga bocah itu juga. 

Jaya dapat melihat seringaian khas iblis di bibir Nana, yang coba Nana sembunyikan.

"Tapi ... apakah Anda yakin itu tanda lahir biasa, Tuan Lizen?" sambung Nana ketika mengingat bentuk aneh tanda lahir yang berada di dada keponakannya.

"Entahlah, ingatanku sebagai Lizen belum kembali seutuhnya. Biar nanti kutanyakan pada Ryujin.
Tapi tunggu! Kenapa kau tak mengajakku bertemu Joon, hah?"
teriak Jaya tepat di telinga Nana.

Succubus nyentrik itu selalu bolak-balik Indonesia-Singapura. Namun, tak sekali pun Jaya diajak ke rumah Takeyuki yang kata Joon rumahnya seluas lapangan sepak bola itu.

"Aku tidak sebodoh itu, Tuan Lizen. Mana mungkin aku mengajak Anda jika Anda dapat membahayakan nyawa kakakku, eum?" sahut Nana, yang langsung membuat Jaya menggeram marah.

"Mencelakai apanya? Beberapa minggu lalu, aku sudah membiarkan si Akiyama Tekotekotek menginap di rumahku. Kenapa aku tidak diperbolehkan mengunjungi rumah lelaki itu, hah?!"

"Aku tidak ke sana selama beberapa hari, Tuan Lizen. Jadi, aku tidak tahu kakakku itu sedang mau menerima tamu atau tidak." Nana berucap tenang. Ia kembali menyesap ice americo-nya.

"Kenapa ribet sekali hanya untuk bertamu, huh? Memangnya sepenting dan sesibuk apa si Akiyama Tekotekotek, eum?!"

"Yang pasti kakakku itu sangat sibuk, Tuan Lizen. Sangat berbeda dengan Anda yang mageran ini." Nana berucap dingin. Ia seolah tidak punya takut sedikit pun pada yang namanya Jaya alias Lizen ini.

Saat memasuki isi kepala Jaya, menggunakan 'mantra rayuan' kemarin, Nana seperti melihat sedikit kilasan kejadian dalam kepala Jaya. Dan itu ingatan tentang bagaimana berantakannya hidup Jaya sebagai manusia, dari belasan tahun yang lalu. Jadi, Nana tidak terlalu khawatir karena Jaya tidak seseram Tuan Ryujin, ayah dari Tuan Miryu-nya.

"Aku tidak mau tahu, aku ingin mengunjungi Joon pada akhir pekan, lusa ini. Jadi, kuharap kau mengatakan pada si Tokek untuk menjemputmu dan Kenichi menggunakan helikopter ataupun pesawat jet milik keluarga kalian itu," putus Jaya. Ia malas saja jika menggunakan pesawat, lebih cepat menggunakan helikopter keluarga Akiyama, pikirnya.

"Kenapa tidak Anda hubungi kakakku sendiri saja, Tuan Lizen? Kenapa harus melalui aku, eum?"

"Aku malas berbicara dengan kakakmu itu. Sombongnya sudah tingkat Nebula. Kami tidak cocok." Jaya menyahut. Ia menata kursi dan meja di cafe miliknya. Beberapa menit lagi, cafe akan dibuka pada jam 9 pagi, seperti biasa.

"Tuan Lizen, Joon sering membahas Tuan Kevin ketika bersama kakakku. Saat aku menjadi hantu waktu itu juga aku melihat Tuan Kevin selalu menjaga Joon. Apa saat ini Anda tidak coba menghubunginya lagi, eum?" tanya Nana, penasaran. Meski ia melihat keponakannya cukup bahagia akhir-akhir ini. Namun, Joon terkadang sering melamun. Mungkin keponakannya itu sedang merindukan seseorang.

Nana memang terkesan sangat kejam pada Joon, tapi sebenarnya Nana sangat peduli dengan keponakan satu-satunya.

Mendengar itu membuat Jaya terhenyak. Sudah beberapa bulan, dan Kakak Kevin-nya belum juga kembali ke sini. Jaya tidak masalah jika memang Kevin memutuskan untuk tinggal di Jepang, dan meninggalkan segala kehidupan di Indonesia ini. Namun, setidaknya kakaknya itu seharusnya pamit lebih dulu.

Jaya selalu berusaha untuk tidak terlalu memikirkan itu. Selama ini ia berusaha berpikir positif dengan mengatakan jika Kevin melakukan kunjungan ke Jepang seperti biasa, pada siapa pun yang menanyakan keberadaan Kevin. Meski ia tidak tahu kapan kakaknya itu akan kembali.

"Berada di mana pun saat ini Kak Kevin, asal dia selalu sehat, aku tidak keberatan akan hal itu. Semoga Kak Kevin behagia dengan pilihan jalan takdirnya," gumam Jaya.



Bersambung ....



Tinggal bersama 3 ayah dengan berbagai kepribadian yang berbeda, inilah yang dialami remaja tampan berusia awal 15 tahun itu. Ia sudah bahagia sebenarnya, tapi ia merasa perlu juga mengetahui identitas dia sebenarnya. Perjalanan remaja agak slengean, Arjuna Raizaski alias Joon, mencari jati diri sebenarnya.

Hingga suatu saat, ada yang mengatakan jika Joon bukanlah manusia seutuhnya. Itu membuat Joon semakin ingin mencari jati diri yang sesungguhnya. Benarkah ia bukan manusia biasa?

***

"Haruskah aku membunuh putraku sendiri untuk memutuskan kutukan ikatan darah ini?" Lizen bermonolog.

"Lakukanlah, Ayah! Jika ini memang takdir yang harus kita lalui." Joon menyahut dengan tersenyum.

***

Visual dan spoiler dapat dilihat di
IG: @mamathor_joon
FB: Zanaka Sofia Maurya

Cerita pendek Tara, gadis SMA yang masih mencari kepercayaan dirinya dan arti persahabatan dan kasih sayang keluarga. Sampai suatu saat ia berlibur ke rumah neneknya dan terus berpikir tentang perkataan neneknya mengenai cermin antik nenek. seperti hal mistis yang neneknya coba katakan yang masih menjadi teka-teki untuknya. Sebenarnya apa maksud neneknya?

seperti gadis gadis yang hilang secara misterius sebelumnya di kota itu, Hani yang tak sengaja bertemu Dion dalam perjalanan pulangnya akhirnya terpilih menjadi daftar korban berikutnya

Flower Cafe is a simple cafe, built in a flower garden, an extension of its Flower Shop.

The cafe is not big, yet not small either, secluded from the busy city, preserving its beauty. Filled with flowers left and right, you can see even some exotic and out-of-season flowers as you walk deeper into it.

It is a mystery how this cafe, although existed for god knows how long, is not very known. As though there is a magic barrier, protecting this whole shop from malice. 

----------

The shop owner does not prejudice. Cannon fodders, mistresses, serial killers, or even runaway criminals-- they will not miss this shop if a need of comfort exist in their heart. This shop welcome them all.

Everyone have their own story, they only need a listener, and this Flower Cafe, is the place one seek solace.

Kolektor lukisan harus membayar mahal akibat membeli sebuah lukisan yang mendatangkan malapetaka di rumahnya. Dia kehilangan orang-orang terkasih. Ada misteri apa di balik lukisan ini?

WARNING!!!

cerita ini mengandung unsur 17+ ⛔



seorang pria yg tergila gila hanya karena tidak sengaja menemukan sebuah lukisan dari seorang pengagum rahasianya.dia pun penasaran kepada siapa pemilik lukisan itu. sehingga dia mencari seseorang tsb dan menemukannya.ketika dia sudah bertemu dengan pemilik lukisan tsb, dia bahkan lebih menakutkan di bandingkan pria normal lainnya.....

WARNING!!!

cerita ini mengandung unsur 17+



seorang pria yg tergila gila hanya karena tidak sengaja menemukan sebuah lukisan dari seorang pengagum rahasianya.dia pun penasaran kepada siapa pemilik lukisan itu. sehingga dia mencari seseorang tsb dan menemukannya.ketika dia sudah bertemu dengan pemilik lukisan tsb, dia bahkan lebih menakutkan di bandingkan pria normal lainnya.....

New York, Desember 2020
 
Jalanan di depan 'Little Coliins' Cafe masih terlihat sepi. New York dan musim dinginnya berhasil membuat jalanan terlihat putih dengan saljunya. Sekilas seperti kota beku. Mesin traktor salju terdengar bising membuka jalan. Kaca-kaca dan jendela terlihat berembun. Jelas terlihat ketika aku menggambar abstrak dengan embunnya. 
"Please be seated, I'm just bringing a glass of water for you".
"Thanks"
"What would you have, miss?"
"Please bring on plate fired rice and a glass of espresso coffee"
"Kindly wait, your order will be delivered within 5-10 minutes"
"OK"
Kurasa sepiring nasi goreng dan segelas kopi sedikit mengurangi rasa rindu pada ayah dan ibu di rumah. Sudah menjadi kebiasaan di keluargaku. Pagi hari dan segelas kopi di masing-masing cangkir. Hanya saja ayah dan ibu lebih suka dengan kopi hitam dan gula arennya. Sedang aku dan bang Rafka kopi dan susu cokelat kami. Kami tinggal di satu rumah peninggalan kakek dan nenek dari ayahku. Ya, ayah adalah anak tunggal, sedang ibu dua bersudara dengan pamanku. 
Ting !
Lonceng kecil di atas pintu masuk cafe berbunyi nyaring. Pertanda seseorang memasuki cafe. Hari ini aku memiliki janji dengan teman ku yang juga berasal dari Indonesia. Sengaja aku datang lebih awal dari waktu perjanjian. Memilih menikmati pagi di minggu pertama musim dingin kota New York. Tidak ada yang istimewa di musim dingin kali ini. Kabar duka yang di bawa bang Rafka seminggu yang lalu berhasil membuat kacau isi kepalaku. Hingga saat ini.
"Here is your order, miss"
"Thank you"
Lewat lima belas menit dari waktu perjanjian. Tapi Panji belum terlihat menunjukkan batang hidungnya. Kebiasaan lama yang tidak hilang sejak dulu. Selalu terlambat dalam segala hal. Tidak. Kecuali dalam hal makan. Tapi kali ini ia benar-benar terlambat. 
Ting !
Refleks aku menolehkan kepala. Melihat siapa kali ini yang masuk ke cafe. Dan benar saja, Panji dan cengiran tanpa dosanya berjalan melambaikan tangan padaku. Aku mendengus kesal. Selalu menjadi hal yang dapat membuat mood ku lebih buruk.
"Sory, Bell. Kesiangan, lupa kalo kita ada janji".
Aku mendengus sekali lagi mendengar alasannya,
"Alasan!!"
"Suer deh, aku beneran lupa kalo ada janji sama kamu. Maaf deh, lain kali nggak lagi".
Dan seperti biasanya, Panji selalu bisa membuatku tidak marah dengannya. Hanya dengan satu permen lolipop. Semudah itu kah ? Jawabannya, ya !
"Memangnya ada apa sih, Bell?"
Aku mengangkat satu alisku.
"Maksut aku, tumben kamu ngajak aku ketemuan pagi. Ini masih pagi lho, Bell. Anjing saja mungkin masih tidur di kandangnya. Cari yang hangat-hangat"
"Oh", jawabku singkat. Aku segera berdiri bermaksut pergi dari cafe.
"Eh. Kok malah pergi sih?"
Panji mendapatkan siku ku untuk membuatku berhenti. Aku menoleh kearahnya.
"Duduk dulu. Enak saja sudah berhasil membuat jam tidurku terganggu, eh malah mau pergi gitu aja"
"Kalo kamu nggak mau ya udah. Aku pergi�� 
Aku menarik tanganku agar terlepas dari tangan Panji.
"Duduk. Jelasin dulu ada apa"
Untuk kesekian kalinya aku mendengus. Panji dan hal kecil yang membuatku kesal. Tapi Panji adalah teman, sahabat, dan sekaligus kakak untukku. Dia yang selalu bisa menjadi partner apapun. Membantu jika ada masalah yang tidak bisa kuselesaikan sendiri. Melindungi jika aku merasa perlu dilindungi. Membuat lelucon ketika aku merasa sesuatu membuatku menangis. Telinga yang selalu siap mendengar tanpa mulut mencela dan menyalahkan. Selalu ada nasihat yaang bisa membuatku berfikir, bahwa ada sesuatu yang lebih bermanfaat dari sekadar menangis menyesali hal yang telah terjadi. Panji dan segala hal yang membuatku kesal dan juga tertawa. 
"Sudah, jangan menagis lagi. Bukankah bang Rafka dan ibu tidak marah. Mereka tahu apa yang sedang kau lakukan disini. Belajar, membuktikan pada semua orang yang memandang sebelah mata. Bahwa ayah dan keluargamu tidak pantas untuk direndahkan. Selagi kau menjaga kepercayaan mereka, aku yakin bang Rafka dan ibu akan terus mendukungmu"
"Libur semester ini kita bisa pulang. Menjenguk mereka"
Aku hanya mengangguk. Masih meneruskan tangisku yang belum reda. Panji memberiku semangat. Menguatkan. 
"Eh, ngomong-ngomong nggak ada sajian segelas kopi atau apa gitu. Aku udah dengerin serita kamu lho"
Aku membuat cengiran kecil. Malu pada Panji. Lagi-lagi harus menangis di depannya. Dengan masalah yang sama dalam seminggu ini.
"Kamu pesan gih. Aku yang traktir", aku menawarkan pada Panji.
"Siap ibu negara. Akhirnyaaa...."
Panji pun memanggil pelayan untuk memesan makanan. Aku hanya memandangnya dengan tersenyum. Menghabiskan kopi espresso yang sudah dingin dalam cangkir.
Kami menghabiskan pagi dengan obrolan berbagai hal. Kami adalah mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Bukan. hanya aku yang mendapatkan beasiswa itu. Sedangkan Panji yang berasal dari keluarga berada, bukanlah hal yang sulit untuk pergi sekolah ke negara lain. Aku tak pernah memaksanya untuk sekolah bersamaku. Janjinya dengan bang Rafka lah yang membuatnya menemaniku untuk pergi ke New York. Meski aku tidak tahu janji apa yang Panji sepakati. Tapi aku beruntung, setidaknya ada teman yang sebahasa denganku. Meski beberapa teman sekelasku juga berasal dari Indonesia. Tapi Panji adalah teman yang berbeda.
Dua jam kami duduk disini. Tiga puluh menit kemudian Panji pergi terlebih dahulu. Ada kelas Mr. Smith yang tidak bisa mentolerir keterlambatan mahasiswanya. Katanya. Satu lagi yang membuat Panji harus tepat waktu. 
Hari ini kelasku libur. Dan salah satu yang dapat kulakukan adalah menikmati kopi yang disajikan di cafe ini. Sebelum aku pergi ke galeri miniku. 
Ya ! Aku memiliki galeri mini di dekat kampus. Dua puluh menit jika aku berjalan kaki dari sini. Bella's Art Gallery adalah pekerjaan ku untuk mencukupi kebutuhan ku selama di New York. Bukan alasan beasiswa yang tidak cukup. Selain program Magister yang ku ambil adalah sekolah seni, aku juga harus menuangkan sedikit keahlianku dalam bentuk lukisan. Membuat imajinasi tinggi. Menggambarkannya ketika sesuatu membuat emosi meledak. Aku senang melakukannya. 
Duduk berdiam diri dan menikmati kopi menjadi salah satu cara untuk menemukan sesuatu yang akan ku gambar pada kanvas-kanvasku nanti. Suara gaduh di dapur cafe. Langkah pejalan kaki yang beriarama. Dentingan lonceng pertanda pengunjung yang semakin ramai. Dan tidak lupa aroma sajian menu di cafe. Semua menjadi konstelasi, menghasilkan seni yang berhasil ku bayangkan.
Aku tersentak. Refleks membuka mata akibat dengan tepukan ringan di pundah kananku. Menoleh ke kanan. Mendongakkan kepala pada seseorang yang mengganggu imajinasiku. Dan terlihat lelaki bule tengah berdiri di samping kursiku. Aku menaikkan satu alisku. Kebiasaan saat aku bingung pada sesuatu.
"Yes ?", aku meresponnya.
"May I sit here, miss? Maybe this chair is the only one left"
Aku mengamati sekeliling. Dan benar saja. Kursi-kursi di cafe telaah penuh. 
"Oh, yes of course"
Aku mempersilahkan lelaki itu duduk di depan ku. Sedikit canggung. Baru kali ini aku duduk dengan orang lain selama di cafe. Biasanya Panji dan teman satu kelasku yang bersamaku. Melanjutkan kegiatanku. Mencoba bersikap biasa, seperti tidak ada siapapun di depanku. Aku berhasil melakukannya, meski aku tidak bisa diam dengan dudukku. Merasa bingung harsu bagaimana. Namun tidak setelah sepuluh menit berlalu. Lelaki itu bersuara.
"Am I disturbing you, miss?"
"What?"
"Anda terlihat tidak tenang. Mungkin saya mengganggu Anda. Saya akan pergi", lelaki di depanku bersiap untuk berdiri.
"Oh, tidak.. tidak. Aku hanya tidak terbiasa duduk dengan orang asing. Sory"
"Tidak apa. Boleh aku duduk kembali?", lelaki itu bertanya padaku. Mungkin sungkan dengan alasan yang kuutarakan.
"Ah ya, silahkan"
"Ngomong-ngomong anda bisa berbahasa Indenesia?"
"Ya, sedikit. Ibuku adalah ornag Indonesia"
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Meski aku begitu ingin bertanya dari kota mana ibunya berasal. Tapi kami baru saja bertemu. Bukan hal baik untuk bertanya lebih dalam. Mungkin. Bahkan kami tidak berkenalan.
"I'm Franklin", lelaki di depanku mengulurkan tangaan kanannya. Aku mengangkat alisku, bingung.
"Sory", dia menarik lagi tangannya. Aku tersadar, bahwa lelaki ini mencoba berkenalan denganku. Menggigit pipi dalamku. Malu karena tidak paham dengan hal kecil seperti itu. aku mengulurkan tangan kananku.
"Bella", Mr. Franklin menerima uluran tanganku dengan tersenyum. Segera aku melepaskan tanganku berbalas tersenyum kecil. Jam dinding di cafe menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku membereskan barangku bersiap pergi ke galeri. Ku lihat Mr. Frankiln sedang mengetik di laptopnya. Tidak ingin mengganggu, aku segera pergi dari cafe dengan mengucapkan kata permisi sebelumnya. Hanya deheman kecil yang dapat kutangkap ketika aku berpamitan. Dan aku tidaak peduli. Segera kualngkahkan kaki menuju galeri seniku.
 
                                                    
 
 
 
Bella's Art Gallery, 10:45
Aku sampai di galeri seniku empat puluh lima menit kemudian. Sebelumnya mampir ke toko seni lukis untuk membeli beberapa perlatan yang habis di ruang kerjaku. Tidak besar galeri yang ku punya. Aku menyewanya dari Nyonya Rose yang menjadi tetangga di apartemen tempat tinggalku. Bangunan dengan ukuran 8x10 meter ini tidak terlalu besar. Tapi juga tidak terlalu kecil. Setidakmya aku berhasil mendapatkannya untuk menyimpan lukisan-lukisan yang hampir memenuhi kamar di apartemenku.
Ada tiga ruang di dalam bangunan ini. Satu aula sedang yang menjadi tempat lukisan-lukisan yang ku pasang di dinding. Satu kamar kecil untuk ruang kerja dan ruang melukisku dan satu kamar kecil lagi dengan tempat tidur mini yang menjadi rumah kedua ku selama di New York. 
Aku meletakkan sling bag biru ku di meja kecil di sudut ruang kanan kamar. Merebahkan tubuh dengan bintang besar di kasur miniku. Aku memandang langit-langit kamar. Sekali lagi mencerna kata-kata Panji pagi tadi. 
..mereka tahu apa yang sedang kau lakukan disini. Kau sedang menggapai mimpimu, membuktikan pada semua orang yang memandang sebelah mata. Bahwa ayah dan keluargamu tidak pantas untuk direndahkan. Selagi kau menjaga kepercayaan mereka, aku yakin bang Rafka dan ibu akan terus mendukungmu.
Panji benar. Aku harus berusaha lebih keras lagi. Demi ibu dan bang Rafka. Hanya mereka yang saat ini menjadi penguatku. Aku tidak akan kalah dengan keterbatasan ini. 
"SEMANGAT !!", aku berteriak kencang dan mengepalkan tangan ke atas. Menyemangati diri sendiri untuk tetap kuat.
"Ayah, aku akan membahagiakan ibu. Dan aku akan membuat bang Rafka bangga padaku. Juga membuatmu tersenyum senang di sana. maafkan aku tak bisa pulan untuk melihatmu terakhir kali", setetes air mata turun, tapi segera ku hapus. Aku tidak bisa terus menangis. Ibu dan bang Rafka menungguku pulang.
***
Jam menunjukkan empat sore. Dengan palylist yang terputar di handphone, aku berhasil menyelesaikan satu lukisan. Mencoba menggambarkan gadis kecil dengan kerinduan besar pada sesuatu yang hilang. Segera aku menyelesaikan kegiatanku. Hari ini aku berencana untuk membeli bahan makanan yang telah habis di kulkas. 
Sesampainya di Morton Williams Supermarkets, aku langsung menuju rak yang menyediakan bahan yang kubutuhkan. Mengambil satu kantong jamur kancing, kehu cheddar dan margarin. Sisa bahan lainnya kupikir masih ada di apartemen. Malam ini aku ingin membuat satu omelette untuk menu makan. Ditemani secangkir teh hangat mungkin lebih menyenangkan. Segera aku beralih pada rak yang menyediakan berbagai macam teh. Namun sesuatu berhasil membuatku jatuh. Seperti benda keras tapi tidak terlalu keras. 
"Are you okay, miss?", lelaki di depanku mengulurkan tangannya, berniat membantuku. Tapi aku memeilih berdiri sendiri.
"Ya, I'm fine. Thankyou"
"Kita bertemu lagi, Bella", aku hanya mengangkat satu alisku. Aku mundur berniat untuk melanjutkan belanjaku, setelah kupikir bahwa aku tidak mengenalnya. 
"Kau apasti lupa denganku, Bella"
Dari arah belakang ku dengar ia berteriak. Aku berhenti, namun tetap diam tidak menolehkan kepala.
"Aku Franklin. Lelaki tadi pagi di cafe"
Kali ini aku membalikkan badanku. Menatap wajahnya, mecoba mengingat sesuatu yang mungkin kulupakan. Lelaki itu melangkah maju. Dan ya, dalam jarak dua langkah aku mengingatnya. Mr. Franklin yang tadi pagi duduk di depanku. Tersadar, aku segera memeinta maaf padanya.
"I' sory, Mr. Franklin"
"Tidak apa, mungkin kau sedang terburu-buru. Kalau begitu aku pergi dulu. Selamat berbelanja, Bella"
Aku terdiam sesaat, sebelum kemudian melanjutkan mencari teh yang kubutuhkan. Tidak menyadari bahwa kedua sudut bibirku terangkat.
***
 
Broadway, Time Squares, Central Park Studio, 06:30
"Akhirnya, sampai rumah juga"
Aku menghembuskan nafas panjang. Sesampainya di dalam apartemen, aku menuju dapur untuk meletakkan hasil belanja ku hari ini. 
Menghempaskan tubuh di sofa ruang tamu. Rumah ini memang sederhana. Tentu, aku harus menyesuaikan harga dan kebutuhan hidupku yang lain selama di negara ini. Tidak luas, tapi terasa begitu nyaman. Ruang tamu yang tergabung dengan ruang televisi. Dapur sudut kiri ruang tamu dan kamar tidur di sisi kana ruang tamu. Aku memilih untuk membuat semua yang ada di rumah ini berwarna putih. Setidaknya itu membantu untuk membuat ruang terasa lebih luas. 
"Kurasa aku perlu mandi dulu"

Hidup adalah pilihan, apa yang terjadi hari ini adalah pilihan atas apa yang kau pilih dimasa lalu.

"Wah ...." Mata Trisha berbinar. "Makasih, Van."

"Hmm. Mau kutemani di sini?"

"Eum ... emang kamu nggak sibuk?"

"Enggak, kebetulan kafe agak sepi." Ervan  menarik kursi kosong dan duduk tanpa menunggu persetujuan Trisha.

Kafe emang agak sepi, sih, tapi hati aku riuh tahu, Van. Bikin sketsa ditemani kamu yang ada aku gagal fokus, batin Trisha, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum.

"Udah jadi?"

"Baru setengah."

Ervan memperhatikan kertas sketsa Trisha. "Bagus."

"Apanya? Belum juga jadi, Van." Trisha tertawa kecil.

"Ya, daripada gambaranku, gambar kamu tentu lebih bagus."

"Masa, sih?"

"Gambarku kayak gambaran anak SD."

Trisha tertawa kecil. "Jangan gitu, ah."

"Serius." Ervan memindahkan tatapan dari kertas sketsa ke wajah Trisha.

Mereka hening, larut dalam tatapan satu sama lain. 

"Eum ... aku cobain, ya, Van." Trisha meletakkan papan sketsanya di kursi kosong, kemudian meraih gelas affogato-nya, berusaha menyamarkan degup jantung yang kini bak genderang.

Satu suap es krim vanilla mendarat sopan di mulutnya. Ervan masih memperhatikan Trisha. Sekarang gadis itu justru takut kalau makannya belepotan.

"Gimana?"

Trisha mengulum bibirnya. "Enak."

"Cobain roti bakarnya."

"Oke." Trisha mulai memotong roti bakarnya, kemudian potongan roti bakar berbentuk dadu itu masuk menyapa indera pengecapnya.

Ervan menunggu reaksi Trisha yang masih mengunyah pelan-pelan.

"Enak, manisnya pas."

"Ya, udah abisin."

"Aku sambil nyelesain sketsa."

Ervan mengangguk.

"Oh, ya, Van. Aku ada sesuatu buat kamu."

"Apa?"

"Sebentar." Trisha meraih sesuatu dari dalam tote bag-nya. "Ini."

Ervan menerima sebuah bingkai ukuran 5R dengan lukisan dirinya di dalam sana.

"Ini?"

"Itu kamu, maaf kalau lukisanku jelek."

Ervan masih menatap dirinya dalam bingkai kemudian bergantian menatap Trisha.

"Aku bikinnya siang tadi, sambil lihat foto profilmu di What'sapp."

"Ini ... keren."

"Apa kamu suka?"

"Suka banget!"

"Syukurlah ...." Ada helaan napas lega dari Trisha.

Ervan kembali menekuri dirinya dalam bingkai. Trisha mau repot-repot melukis dirinya, tentu ini sebuah pertanda baik. Sepertinya upaya untuk mendekati Trisha membuahkan hasil.

"Makasih, Tris."

"Disimpan, ya, Van."

"Aku bakal taruh di kamar."

"Beneran, ya."

Ervan mengangguk. Sesaat ia hening menatap ke arah Trisha yang tersenyum manis. 

Apa semudah ini meluluhkan hatimu, Tris? Baiklah, mungkin nggak lama lagi kamu bakal masuk ke dalam perangkapku! 


"Van." Trisha menyebut Ervan sesaat setelah memasukkan sendok berisi es krim vanilla yang kesekian kalinya ke dalam mulut.

Tatapan Ervan berpindah dari bingkai lukisan dirinya ke arah Trisha. "Ya?"

"Kalau kamu berkenan, aku bisa melukis sesuatu di dinding polos itu biar lebih rame."

Praktis Ervan menoleh ke arah sudut dinding bercat putih polos yang hanya berhias bingkai tulisan hand littering.

"Melukis?"

Trisha mengangguk semangat.

"Aku nggak ngerti, emang bisa?"

"Bisa banget."

"Tapi ...."

"Aku yakin itu akan jadi daya tarik. Selain pengunjung bisa menikmati makanan dan minuman di sini. Mereka bisa selfie. Lukisan di dinding polos itu akan jadi spot foto menarik. Bayangkan, jika setiap pengunjung yang datang ke kafe ini berswafoto di sana, lalu mereka mengunggahnya ke media sosial. Itu akan jadi soft promosi yang bagus buat kafe ini."

Ervan tertegun, tidak menyangka Trisha punya ide secemerlang itu. 

"Biarin begitu aja," putusnya. 

Trisha menelan ludah kasar--kecewa.

"Aku nggak ada dana lagi buat idemu itu, Tris."

Mata Trisha yang meredup mendadak berbinar lagi. "Nggak perlu khawatir soal itu."

Ervan mengeryit. "Kok, gitu?"

"Tenang aja." Trisha menyuap kembali affogato-nya dengan santai. "Aku yang bakal kerjain. Jadi, kamu tenang aja."

"Jangan, Tris. Itu bakal merepotkanmu."

"Enggak, kok, asal kamu setuju aja dengan ideku."

Ervan menatap Trisha sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Asal itu juga enggak ngerepotkanmu."

"Enggak, Van," lirihnya menyakinkan. Senyum manis Trisha terbit, membuat Ervan terpaku.

***

Ervan sudah menghuni kamar sesaat setelah ia sampai di kediamannya. Ia menggeser laci meja dan melempar asal bingkai lukisan dari Trisha di sana.

"Siapa juga yang peduli dengan lukisanmu." Pria itu menutup kembali laci mejanya dengan tak acuh. 

Hening sejenak sebelum ia mengempaskan diri di tepi ranjang. Pertemuannya dengan Trisha hari ini seolah menyita energi. Memperhatikan Trisha berbicara, tersenyum bahkan tertawa kecil membuat Ervan berada di antara harus membenci semua itu atau justru mengagumi. 

Pria itu merasa lelah kemudian memilih membaringkan diri di atas ranjang, tatapannya kosong terarah ke langit-langit kamar. 

Apa Trisha serius dengan tawarannya? 

Ervan tahu, Trisha begitu berbakat. Ia sudah melihat kepiawaiannya dalam melukis lewat akun Instagram pribadi Trisha. Ervan adalah pengikut gelapnya, bahkan Trisha tidak tahu Ervan sudah menjadi pengikutnya sejak tiga tahun terakhir.


Suara Mocca dari balik pintu yang sedikit terbuka itu membuatnya menoleh. Kucing berbulu kecokelatan terlihat berjalan mendekat.

"Sini, Mocca!"

Mocca sudah melopat ke atas ranjang dan merambat ke dadanya. Ervan mengusap kepala kucing itu, masih dalam keadaan merebah. Mocca menikmati tiap usapan lembut tangan Ervan pada bulu-bulunya dengan memejam. Kucing itu tampak nyaman.

Ervan mengingat kembali bagaimana akhirnya ia memelihara seekor kucing. Jelas, karena Trisha menyukai kucing. Apa pun hal yang bisa mendukung keberhasilannya mendekati gadis itu, akan ia lakukan. 

Namun, barangkali Ervan tidak sadar. Esok atau lusa, bisa saja ia terjebak di dalam permainannya sendiri. Itu kemungkinan terfatal yang harus ia antisipasi. 

Ervan memilih memejamkan mata, dengan Mocca yang kini menyandarkan kepala di atas lengannya. Pria itu berusaha menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan buruk di depan nanti. Belum tentu terjadi dan ia pastikan itu tidak akan pernah terjadi!

***

Kuliah lapangan hari ini membuat Trisha dan mahasiswa seni rupa lainnya berbondong-bondong mengunjungi Galeri Nasional Indonesia. Sebuah galeri atau museum seni rupa modern dan kontemporer milik pemerintah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Area parkir galeri itu tampak ramai. Para mahasiswa yang datang langsung disambut dengan suasana teduh pepohonan rindang yang tumbuh di kiri dan kanan halaman. Juga lukisan 3D di pelataran galeri berupa retakan tanah dengan larva pijar yang seolah-olah seperti kubangan api. Lukisan itu sejurus kemudian mematik ide Trisha, ia akan membuat lukisan dengan konsep yang sama di dinding kafe Ervan nanti. Ya, 3D.

"Keren, ya?" decak kagum Jesslyn mendapat anggukan persetujuan dari Dira.

Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk berswafoto di sana lengkap dengan ekspresi seolah-olah ketakutan seperti sungguhan berada di atas kubangan api.


"Wuah ...." Mata Dira berbinar saat sampai ke dalam galeri. Di sampingnya--Trisha dan Jesslyn--pun merasakan hal yang sama.

Di sana di sudut ruangan, beberapa lukisan sudah tampak menggantung di dinding juga patung-patung yang tak pelak menarik perhatian.

Setelah semua mahasiswa seni rupa ini berkumpul bersama dosen pendamping, pihak galeri kemudian menyuguhi mereka dengan tayangan video profil Galeri Nasional Indonesia. Video tersebut bercerita tentang sejarah berdirinya galeri, termasuk di dalamnya berupa visi, misi, tugas, peran dan tujuan serta aktivitas yang berlangsung di dalam galeri.

Berdasarkan tayangan video, banyak kegiatan rutin yang dilakukan di Galeri Nasional Indonesia berkaitan dengan pelestarian dan apresiasi terhadap karya seni rupa diantaranya; pemeran tetap, pameran temporer, pameran keliling di dalam dan luar negeri, sosialisasi, edukasi, workshop, seminar, diskusi dan galery tour.

Seperti yang mereka lakukan saat ini-- mengelilingi galeri atau disebut juga dengan galery tour untuk mengapresiasi karya-karya seni rupa yang terbagi dalam dua gedung berbeda. Satu gedung berisi pameran tetap, satu sisi gedung lainnya berupa pameran temporer.

"Eh, abis ini kita mampir ke kafe depan kampus, yuk," bisik Dira di sela-sela kegiatan galery tour-nya. 

Jesslyn yang tadinya mengamati lukisan yang menggantung di dinding seketika dibuat menoleh. 

"Jangan mulai, deh!" Jesslyn berkacak pinggang.

"Apa, sih. Orang mau makan doang."

"Halah, basi!"

"Bodo amat kalau elo nggak mau." Dira melingkarkan kedua tangannya pada lengan Trisha. "Sama Trisha aja. Oke, 'kan, Tris?" Dira mengerlingkan matanya manja.

Trisha nyengir. Waduh, baru aja kemarin abis dari sana. Masa hari ini ke sana lagi?

"Oke, 'kan Tris? Pasti oke, dong."

"Sorry ... lain kali aja, ya, Ra."

Ekspresi kecewa lamat-lamat terpahat pada wajah gadis berambut pendek model bob itu. Penolakan Trisha membuat Jesslyn membekap mulut dari tawa kecil yang ia tahan. Gadis itu suka sekali menistakan sahabatnya sendiri.

Jesslyn merangkul pundak Trisha. "Di sana kayaknya ada patung yang estetik banget, deh, Tris. Cek, yuk!" Jesslyn sudah membawa Trisha berlalu dari hadapan Dira begitu saja. 

Dira memanyunkan bibirnya kemudian mengekor sambil menghentakkan kaki. 

***

Sabtu ini, Yours Cafe tutup lebih awal. Biasanya kafe baru tutup di atas jam sepuluh malam. Namun kali ini, sehabis jam lima sore kafe sudah menutup rapat pintu masuk. Ervan merelakan waktu kunjungan pelanggan yang biasanya ramai di Malam Minggu hanya untuk membuat Trisha fokus pada pekerjaan melukisnya.

Gadis itu sudah datang diantar oleh seorang supir. Ervan menghampirinya.

"Hai," sapa Trisha ramah saat turun dari mobil.

"Diantar supir?"

"Iya, takut pulang kemalaman." 

Ervan mengangguk. Tampaknya gadis itu belajar betul dari pengalaman.

"Tolong buka bagasi, ya, Pak," titah Trisha pada sopirnya. 

"Baik, Non."

"Aku keluarin dulu bahan-bahannya," ucapnya pada Ervan.

Sopir sudah membuka lebar bagasi mobil mewahnya. Trisha mengeluarkan beberapa kaleng cat, kuas set, kertas koran bekas, dan satu kardus berisi vas yang terbuat dari tembikar beserta bunga artifisial dalam masing-masing vas.

"Ini juga? Apa ini?" tanya Ervan heran saat mendapati berjajar vas bunga di dalam kardus yang ia angkut.

"Itu juga bagian dari ideku." 

Ervan menatap ke arah Trisha.

"Meja-meja dikafemu polos. Jadi, aku ingin memberi sedikit sentuhan indah di tiap-tiap mejanya." 

Ervan masih terdiam menatapnya.

"Eum ... tapi kalau kamu nggak berkenan, nggak apa-apa. Lupakan aja itu." Trisha tiba-tiba merasa tidak enak.

"Terima kasih," balas Ervan singkat, seperti biasa tanpa ekspresi kemudian berlalu begitu saja ke dalam kafe.

"Sama-sama," sahut Trisha lirih hampir tidak terdengar.

***

IG : @trishadmaja 
MARI BERTEMAN 🤗



Ervan memang datang hanya untuk mempermainkan gadis bernama Trisha Putri Admaja, menghancurkan masa depannya, lalu ia tinggalkan begitu saja. Persis seperti perlakuan yang didapat kakak perempuannya dulu. Dendam serta kebencian mengalir deras di dalam darahnya. Namun, berhasilkah Ervan melampiaskan kebenciannya terhadap gadis dengan hati serupa malaikat itu? Atau ia justru terjebak di dalam permainannya sendiri?

~Dua Bulan Kemudian~

~POV Arumi~

"jadi kamu sekarang ngerjain proyek web design ya Aru?" tanya Dita ketika kami berjalan ke parkiran berdua.

"iya Dit, gua dapat tawaran dari pacarnya sepupu gua, ada temennya yang cariin anak desain grafis gitu, ya gua tawarin diri dong, eh ternyata gua diterima," jawabku sambil nyengir.

"tapi, apa kamu gak repot ntar Aru? Kan kita mau nyusun lagi... Karin aja udah mulai cari-cari judul aku liat kemaren," kata Dita serius.

"hmmm gak kok... malah gua pikir ini bisa gua jadiin judul malah ntar, kan judul skripsi yang bikin-bikin proyek gitu juga bisa diajuin," ujarku santai.

Dita kemudian mengangguk.

"Dit... sekali lagi selamat ya... lo nikah abis wisuda kan?" tanyaku usil.

"hmmm gimana ya? Liat ntar deh," jawabnya sambil tersenyum.

"Hah! Jangan bilang elo mau diajakin nikah sebelum wisuda Dit?" Dita ini lagi serius apa tidak sih?

"hehehe... ah, udah deh bahas ini, aku aja belum tau Babang kapan ngelamar aku," katanya.

Ingatanku kemudian menerawang ketika kami mulai saling mengenal, aku tak pernah membayangkan seorang Dita yang begitu dekat dengan olahraga akan memiliki kisah cinta dengan Bang Ken, aku kira Dita akan menggandeng tangan seorang olahragawan untuk bersama membuat cerita baru kehidupannya, tapi takdir Dita berkata lain. Meski begitu Bang Ken menurutku adalah orang yang tepat untuk Dita, tak peduli bagaimana pun kekurangannya, ia telah membuat Dita menjadi lebih baik sekarang, lebih bahagia, dan lebih dewasa.

"lo sama Bang Ken emang cocok banget Dit, sejak pertama ketemu malah..." ujarku.

Dita hanya tersenyum mendengar ucapanku itu.

"eh iya... gimana hubungan kamu sama Bang Ryan, Aru?" tanya Dita penasaran.

"hmmm kita gak lanjut Dit... gua gak cocok sama dia." Aku tersenyum tipis.

"bye Dit..." Aku melambaikan tangan dan berlalu menuju parkiran mobil yang berada di sebelah kanan, meninggalkan Dita yang terdiam.

***

~POV Ryan~

Baru saja aku keluar dari gedung cafe Kenzo. Seorang pemuda yang sudah sebulan ini bersamaku datang mendekat, Zul. Seseorang yang kutemui ketika aku dan Bang Dodi terpaksa mampir ke bengkel karena pecah ban.

Ketika itu aku melihat dia datang dengan pakaian kusam sambil membawa sebuah map cokelat, layaknya seorang pencari kerja. Aku yang hanya duduk di mobil tak mengetahui bagaimana hasil lamarannya setelah ia berbicara dengan pemilik bengkel itu. Tapi dari raut wajahnya, aku yakin itu adalah hasil yang mengecewakan.

Pemuda itu berdiri tak jauh dari mobilku, menyadari aku terus memperhatikannya, ia pun menyunggingkan senyuman dan menyapa. Dari situlah tergerak hatiku untuk bertanya lebih jauh padanya.

Zul adalah seorang lulusan paket C, dia terpaksa menyelesaikan sekolahnya melalui jalur paket karena harus mengalah demi adiknya yang memiliki prestasi akademik lebih baik darinya, terlebih Ibunya yang berperan sebagai tulang punggung keluarga tak sanggup membiayai sekolah mereka berdua secara bersamaan, Zul pun akhirnya bekerja serabutan untuk menabung sehingga bisa melanjutkan pendidikannya dua tahun kemudian.

Dari ceritanya yang bisa kupahami adalah rata-rata tempat kerja selalu menolaknya karena paket C itu, mereka memandang kemampuan Zul tak akan memenuhi standar yang mereka inginkan, jelas itu hanya pernyataan secara subjektif yang sangat tak adil.

Aku yang telah menerima tawaran seorang temanku sesama kuliah dulu untuk berkolaborasi dengannya dalam jasa pembuatan program yang telah dirintisnya sejak lulus kuliah, merekomendasikan Zul untuk bekerja bersama kami, dan temanku itu menyetujuinya.

Sekarang Zul adalah bagian dari kantor kami sekaligus orang yang kupercayai untuk menemaniku pada waktu-waktu tertentu.

"udah selesai Mas?" tanya Zul.

"ya, ayo balik ke kantor," kataku sambil mendorong kursi roda.

Ah, ya... aku sudah bisa melakukannya sendiri sekarang, ada rasa senang bisa mencapai level ini. Patokanku sekarang tentu bukan diriku yang dulu lagi, tapi Kenzo! apa yang Kenzo bisa, aku juga harus bisa melakukannya, ya... kecuali mengendarai mobil dengan kaki.

Zul segera membukakan pintu depan.

Hmmm tapi urusan kateter ini masih membuatku bingung, aku telah mendengar pengalaman orang-orang di komunitas tentang mengatur posisi kateter bagi pengguna kursi roda, sebagian dari mereka merekomendasikan untuk membuat gantungan khusus di bagian bawah kursi roda untuk catheter bag-nya.

Tapi permasalahan muncul ketika aku harus berpindah dari kursi roda, seperti sekarang ini.

Aku harus mengambil kateter itu sebelum pindah ke mobil. Ya, mungkin tak masalah jika situasinya seperti sekarang, hanya ada aku dan Zul yang melihat kantong kateter ini. Tapi bagaimana jika ini terjadi di tempat publik? Tak semua orang paham dan terbiasa dengan itu, aku bisa saja merusak mood mereka.

Sebagian lagi membagi pengalaman mereka yang menggunakan fabric leg bag strap, itu terlihat lebih baik karena bisa ditutupi menggunakan celana panjang, tapi sepertinya agak kurang nyaman, hanya saja kedua kakiku tak memiliki respon yang baik soal sensitivitas, jadi mungkin itu tak akan masalah. Besok akan kupertimbangkan opsi itu.

***

Hari ini aku ke kantor Walikota. Urusan proyek website itu tampaknya agak terburu-buru, baru kemarin aku bertemu dengan Mas Rendra di cafe Kenzo, dan sekarang aku harus bertemu dengannya di sini, berbicara langsung dengan bagian informasi dan komunikasi.

Zul yang kuajak ke dalam, sibuk celingak-celinguk melihat beberapa deretan lukisan yang terpajang berjejeran di sepanjang lorong ini.

"mana yang bagus?" tanyaku setelah ia melihat lukisan terakhir.

Dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba itu, namun kemudian dia tersenyum.

"bagus-bagus semua kok Mas, cuma yang itu lebih bagus, lagian juga cocok sama dindingnya," ujarnya sambil menunjuk lukisan ketiga dari ujung.

Aku melihat lukisan hitam putih yang bertemakan mercusuar dan lautan, dinding gedung ini berwarna putih polos dengan ukiran di sudut dinding yang berbatasan dengan langit-langit.

Hmmm mungkin Zul bisa memberikan masukan untuk kantor juga nih.

Kami menunggu di sebuah ruangan, ada sofa di sana, tentunya aku tak perlu mendudukinya.

"gimana tentang kuliah itu Zul? Udah tentuin mau masuk jurusan apa?" tanyaku.

Aku berencana untuk membantu biaya kuliah Zul, aku punya tabungan untuk itu, tak masalah bagiku. Justru melihatnya tak bermasa depan begini aku menjadi pusing sendiri.

Zul mungkin tak memiliki bakat khusus yang mencolok bagiku sampai saat ini, tapi mencicipi jenjang pendidikan lebih tinggi itu hak siapa saja, bagiku Zul berhak untuk kuliah juga, sama seperti yang lain.

"Zul gak tau juga mau masuk apa Mas, tapi udah sebulan ini liat-liat Mas kerja, jadi ikut tertarik juga pengen belajar koding, hehehe tapi kayaknya itu susah, mungkin otak Zul gak nyampe juga ke sana," jawabnya sambil terkekeh.

"kalo kamu serius, gak ada kok yang gak mungkin Zul, gak pa pa... coba aja dulu," kataku.

"oh.... maaf membuat menunggu lama Ryan," sapa seseorang yang baru saja membuka pintu, itu Mas Rendra.

"belum lama kok Mas," kataku.

"nah ini Bu Melin yang ngurusin bagian informasi dan komunikasi." Mas Rendra memperkenalkan seorang wanita yang tampak seperti berusia empat puluhan.

Kami pun saling berjabat tangan.

Beliau memulai pembicaraan tentang website lama yang sering bermasalah, bahkan pernah terjadi peretasan sehingga situs menjadi downtime, karena itu mereka mencari orang-orang yang bisa dipercaya dan dihandalkan untuk mendesain website yang baru ini.

Tak lama kemudian, tiba-tiba pintu yang tertutup itu diketuk beberapa kali, Mas Rendra yang menyadarinya segera bangkit.

"nah Ryan, ini dia partner kamu nanti," ujar Mas Rendra yang baru saja melangkah ke dalam.

Aku mendongak.

Bukankah dia... jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Seorang perempuan yang pernah kutemui dua bulan yang lalu sedang berjalan beriringan dengan Mas Rendra, dia melihat padaku dengan sedikit membelalak, mungkin aku pun melihatnya seperti itu.

Partner? Apa maksudnya ini?

***

Namanya Ryan, kedengarannya dia cowok yang romantis...

lukisan dinding cafe simple Novel

Our Precious Joon

Dinding Hati

Cermin-Cermin di Dinding

tumbal lukisan

Flower Cafe

Lukisan Tanpa Mata

OBSESSED!!!

Memulai Kembali

Jagat Raya Trisha

Ryan & Arumi

People search lukisan dinding cafe simple also like: