Awal Sekolah
Tiga hari sudah Alina mengikuti MOS yang diadakan oleh sekolahnya. Alina sekarang sudah resmi menjadi murid SMA sejahtera.
Di dalam kelas. Wali kelas sudah ditentukan dan juga sudah dipilih. Alina duduk paling depan seperti biasanya. Dia berada pada barisan kanan dekat dinding.
Walau begitu, dia masih saja sendirian. Lihatlah, hanya ada satu orang yang berada dalam barisannya, yaitu dirinya sendiri.
"Ehemz perhatian kalian semua! Tolong jangan ada yang berbicara atau membuat keributan. Karena saya akan mengabsen nama kalian satu-satu." Wanita yang berdiri di depan kelas itu sedang memegang buku siswa.
Alina menarik napas agar dia merasakan rileks dan juga jangan membuat masalah. Apalagi ada wali kelas yang masuk.
Hingga nama Alina terpanggil. "Alina Putri Amancio," panggil wanita itu dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Seisi kelas melongo ketika namanya dipanggil. "Saya, Buk."
"Perkenalkan nama kamu, usia, tinggal di mana dan apa pekerjaan orang tua kamu."
"Ha-halo teman semua. Namaku Alina Putri Amancio. Umurku 15 tahun. Aku tinggal di Bandung dan Ibuku seorang penjual bunga," ucap Alina dengan terbata-bata.
"Apa kamu tidak bisa untuk lebih tegas!"
"Bi-bisa, Buk," jawabnya.
"CK! Next." Alina diam. Sementara absen terus saja berjalan.
"Muhammad Fadel Antariksa." Laki-laki kurus itu berdiri dan senyam-senyum.
Alina hanya melihatnya sekilas dan kemudian tertunduk lagi. Dia belum bisa untuk melihat semuanya secara langsung.
"Hai semuanya. Nama gue Fadel."
"Oh jadi namanya Fadel. Bagus, tapi sayang sikapnya enggak. Semoga saja suatu saat nanti, aku bisa untuk berteman dengan dia ya." Alina berharap agar dia bisa menjadi teman bagi Fadel.
Walaupun Fadel nakal, jahat dan suka menjahilinya. Alina tidak peduli itu.
Semua orang memiliki sisi baik dan juga buruknya. Mungkin yang Alina lihat sekarang adalah sisi buruk Fadel, namun dia tidak tahu bagaimana sisi baik Fadel.
******
Jam istirahat tiba. Alina keluar paling akhir. Jika orang-orang sudah berhamburan untuk keluar dari kelas menuju kantin. Alina duduk dan melihat seluruhnya.
Apakah sudah tidak ada orang lagi di kelasnya atau malah masih ada. Alina memakan bekal yang dibawa olehnya di bawah pohon besar.
Pohon itu cukup besar sehingga takkan ada yang melihat tubuh gempal Alina sedang bersembunyi di sana.
"Huh, nikmat. Mama memang gak pernah gagal buat makanan. Alina suka banget sama masakan Mama." Alina melihat nasi goreng telur mata sapi, ada tomat dan juga mentimunnya.
Alina sekarang punya tempat persembunyian untuk makanannya. Di bawah pohon ini.
Tidak salah waktu itu Alina duduk di bawah pohon ini dan melihat bahwa tempat ini jarang didatangi oleh siswa lainnya.
Mereka terlalu sibuk dengan gadger serta pergi ke kantin ataupun taman. Seharusnya Alina ke taman, namun dia tahu. Jika Fadel and the geng berkumpul di sana.
Dari jauh Alina melihat Fadel bersama dengan para gadis. Mereka asik bercengkerama dan juga bersenda gurau.
"Kapan ya aku bisa kumpul kayak gitu sama mereka." Alina sedih tidak bisa merasakan betapa indahnya memiliki teman dan juga sahabat.
Dia terkucilkan karena tubuhnya yang gemuk dan juga memiliki nafsu makan yang besar.
Mau bagaimana lagi, Alina sudah terbiasa makan banyak dari kecil. Kebiasaan itu tak bisa untuk dihilangkan. Alina sendiri juga tidak ingin seperti sekarang ini. Tapi itulah takdir.
Kau atau tidak, siapa atau tidak dan suka atau tidak, harus diterima meskipun sakit.
Fadel tak sengaja melihat Alina memerhatikan mereka. Dia mengajak teman-temannya untuk mendatangi gadis gemuk itu.
"Wes, monyet besar kita kayaknya lagi laper ya."
"Ng-ngagak kok. Al sudah makan," balasnya polos.
"Haha, Al Al. Lo pikir gue peduli sama nama lo. Enggak. Yang ada malah najis bagi gue taik!" Fadel menarik satu ikat rambut Alina dengan kasar.
"Aduh, sakit," rintihnya.
Fadel tertawa lepas. Dia kembali menjadi Alina dengan menyuruh anak buahnya untuk menarik paksa ikat rambut satunya lagi.
"Iuw, jijik! Najis!" Seorang cewek mendorong Alina hingga terjatuh ke lantai.
Dia mengibas-ngibaskan tangannya yang dipenuhi oleh rambut Alina. "Ya ampun, tangan lo udah kena najis tuh. Bersihin gih sono," ujar Brayan.
Mereka meninggalkan Alina sendirian. Gadis itu memegang kepalanya yang terasa sakit dan juga berdenyut pada rambutnya yang ketarik.
Dia membersihkan diri di toilet. Sepertinya nasib sial sudah ada pada dirinya semenjak dulu atau bersekolah di SMA Sejahtera.
Bunyi air keran yang besar tadi tiba-tiba saja hilang. Alina yang tengah mencuci wajahnya merasa takut. Bulu kuduknya berdiri dan merinding.
"Gue ada ide. Gimana kalau kita ngerjain si gendut itu."
"Setuju-setuju. Gue juga lagi pengen nih ngerjain orang."
"Gas!" Mereka mengunci pintu kamar mandi Alina dengan memasang sapu di kenop pintu. Sehingga membuat Alina susah untuk keluar.
"Buka, siapa pun yang di sana. Tolong bukakan Al pintu," pinta Alina yang berusaha mencari pertolongan.
"Haha, gue senang banget tau gak bisa ngerajain dia."
"Gue juga. Galau gue tiba-tiba ngulang gitu aja."
"Tapi lo yakin dia gak akan kenapa-napa," tanya Mita, teman sekelas Alina.
"Udah deh, Mit. Enggak usah norak gitu. Kita cuma ngunciin dia, bukannya ngebunuh orang."
"Tapi tetap aja kita salah," bela Mita.
"Jadi lo mau ngapain? Lo mau bantuin si kingkong itu. Silahkan. Tapi gue gak bisa jamin kalau lo bakalan tetap stay di tim chelleders ya," ancam Raya, selaku kapten chelleders.
"Mit, nurut aja sama Raya. Lo mau apa jadi anak liliput dan out dari tim." Kita menggeleng.
"Kalau gak mau ikutin aja. Jangan banyak omong."
"Cabut!" Ajak Raya.
Alina masih berusaha untuk menggedor pintu kamar mandi. Dia yakin bakalan ada orang baik yang mau membantunya.
Sudah satu jam Alina terkurung di kamar mandi. Satu kelas juga heboh karena Alina tiba-tiba menghilang.
"Ke mana perginya teman kalian, Alina!" tanya si guru galak.
"Palingan juga pulang, Buk!"
"Iya benar tu, Buk. Tadi saya lihat dia bawa tas besar keluar."
"Loh itu bukannya tas dia!" Dia menunjuk ke arah bangku Alina yang masih utuh dengan tas serta buku.
"Ibuk kayak gak tahu dia aja. Dia tu orangnya suka bawa dua tas. Jadi kalau tas satunya ada di sini, bukan berarti dia masih ada di sekolahan kan, Buk!" kilah Raya.
Sedangkan Mita sudah pucat. Tangannya sampai berkeringat dingin karena menyembunyikan kebenaran kalau Alina ada di kamar mandi.
"To-tolong, bu-bukain pintunya." Napas Alina sudah sesak. Tenaganya juga sudah hampir habis terus berteriak dan meminta tolong.
Pandangannya kabur dan brukk... Alina terjatuh ke lantai, pingsan.
"Ma Ma."
"Gawat, dia pingsan!"