Alina terbangun dan dia tiba-tiba saja sudah berada di ruang UKS sekolah. Matanya terlihat kabur dan juga napasnya masih terasa begitu sesak.
Gadis gemuk itu terlihat sangat tertekan dan juga mengalami trauma. Karenanya dia memeluk lututnya untuk menghilangkan rasa kecemasan.
"Alina, apa kamu merasa baik-baik saja, Nak!" tanya penjaga UKS.
Gadis itu mengangguk dan tidak berani untuk melihat lawan bicaranya. Alina masih terlalu takut melihat orang-orang. Dia tidak tahu siapa yang sudah menguncinya di kamar mandi.
"Nak, kenapa kamu bisa berada di kamar mandi dalam keadaan pingsan!"
"Al enggak tahu, Buk. Pintu terkunci dan gak bisa buat didorong," jawabnya sendu.
"Hah? Pak Kasim. Pak Kasim!" Guru itu memanggil satpam sekolah.
"Coba Bapak cek ke kamar mandi, apakah pintunya sedang macet," titahnya.
"Baik, Buk!"
Sentuhan tangan wanita itu membuatnya merasa seperti sedang ada di rumah. Alina merasa nyaman dan juga tenang.
Namun kemudian dia menjauh. Dia yakin jika gurunya ini hanya berpura-pura baik saja dihadapannya.
"Ya sudah kalau Al gak mau disentuh. Kamu pasti ketakutan ya di dalam sana, Nak!" Alina terdiam. Lalu penjaga sekolah datang dengan informasi yang dibawanya.
"Maaf, Buk. Pintu kamar mandi baik-baik saja dan tidak ada yang rusak!"
"Baik, terima kasih ya, Pak!"
"Sama-sama, Buk!"
Wanita yang bertubuh langsing itu terus menatap Alina dengan tatapan iba. Dia tahu pasti ada seseorang yang sedang merundungnya. Ini tidak boleh dibiarkan..
Keadilan harus ditegakkan. Pengajaran tentang sopan santun harus diberlakukan sejak usia kecil.
"Al mau pulang bareng Ibu tidak?" tawar wanita itu sambil tersenyum.
"Ng-nggak usah, Buk. Sa-saya bisa sendiri," jawab Alina cepat.
"Baiklah. Kamu hati-hati ya sampai rumah. Mungkin pintu sedang macet sehingga kamu terkurung di dalam sana."
"Iya, Buk!"
Alina pulang ke rumahnya dengan menaiki angkot. Dia merasa begitu takut dan dampak melewatkan rumahnya.
Terpaksa Alina harus kembali berolahraga untuk sampai ke depan rumahnya.
"Al, jangan sedih. Kamu enggak boleh bikin Abang sama Mama khawatir. Ingat, firasat seorang Ibu jauh lebih kuat dibandingkan Ayah. Itu berarti, Al gak boleh sedih atau merasa tertekan. Jangan cemberut, harus senyum, bahagia. Oke, Al!" Dia menyemangati dirinya sendiri.
Gadis itu berjalan setengah berlari. Dia memasang senyum palsu. Hanya karena dia memiliki tubuh yang gemuk sehingga dia dibully dan juga dikucilkan.
Bukankah itu sangat tidak adil dan tidak memiliki rasa kemanusiaan? Alina juga tahu bahwa kejadian hari ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan ada seseorang yang sengaja mengerjainya.
Alina berlari masuk ke dalam kamarnya. Gaids itu kemudian mengunci pintu dengan rapat. Membuat Ibunya merasa khawatir.
"Mbak, tunggu sebentar ya. Saya mau lihat Alina dulu."
"Silahkan, Mbak!"
Wanita cantik, kurus itu mengetuk pintunya. Alina segera mencuci wajahnya yang merah seperti kepiting rebus.
"Al, buka pintunya, Nak!" ucapnya.
"Iya, Ma."
Krekkkkk.... Bunyi pintu terbuka. "Hai, sayang Mama!" Dia segera mengecup kening Alina yang basah.
"Nak kenapa baru pulang jam segini sayang? Al sudah telat dua jam lebih loh," tanyanya.
Alina kaget dan tertawa kecil. "Itu, anu, Ma. Tadi Al ada kegiatan tambahan di sekolah terus Al juga pulang jalan kaki,* jawabnya.
"Loh, kenapa jalan kaki? Emangnya Abang gak kasih uang jajan ya?"
"Bukan, Ma. Ngasih. Cuman uangnya kehabisan karena jajan, hehe."
"Ya ampun, Al!" Dia menarik hidung Alina yang mancung.
"Mandi sana! Bau asem!"
"Siap Bos!" Alina memberikan hormat seperti sedang hormat pada ruang bendera.
Suara shower menguncur membuat Alina menikmati relaksasi air hangat itu. Dia merasa tenang, aman, damai serta nyaman.
Alina bermain gelembung sebagai salah satu cara agar dia bisa menghalau rasa takut dan juga kejadian buruk di sekolah..
*****
Gadis itu merubah gaya rambutnya. Dia tidak lagi berkepang dua, namun hanya diikat satu saja. Tinggi dan besar.
Ya, selain tubuhnya yang gemuk, rambut Alina juga gemuk. Dia akan berbentuk seperti taik kerbau yang terletak.
Besar, hitam dan juga mengkilap. Alina beranggapan bahwa tatapan dari teman-temannya itu adalah tatapan persahabatan.
Dia tidak sadar jika dirinya kembali menjadi objek wisata mata bagi mereka yang suka melakukan body shamming.
"Haha, itu gaya rambut zaman berapaan sih? Kok kayak adonan kue gitu."
"Bukan adonan kue, tapi seperti taik kerbau. Huwek!"
"Iuw, menjijikkan!"
"Kenapa sih si gendut itu terus saja membuat kita merasa muak dan juga tidak suka. Heran gue!"
"Gimana kalau kita kerjain aja dia!" usul salah seorang wanita di bangku depan.
Alina terus berjalan menyusuri koridor sekolah. Dia dipanggil oleh seseorang. Alina merasa senang. "Jangan-jangan mereka suka sama gaya rambutku?" teriaknya dalam hati.
"Alina, sini deh!" panggilnya sekali lagi.
"I-iya, ada apa teman-teman."
Empat wanita sedang menahan tawa mereka. Kemudian salah seorang darinya mengajak Alina untuk duduk dan ber-selfie.
"Guys, sebentar deh. Gue harus ke kelas ngambil charger," katanya.
"Oh ya sudah. Pergi sono!"
Alina sedikit tersenyum. Dia tidak bisa untuk menyembunyikan rasa senangnya. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya berkumpul dengan gadis populer di sekolah.
"Jangan nunduk terus! Kita gak makan orang kok."
"Iya benar. Lihat ke gue!"
Alina menggeleng. "Aku, aku ngerasa enggak pantas melihat kamu."
"Loh kenapa, Al? Apa wajah gue jelek ya. Sampai lo enggak mau lihat!" katanya dengan suara yang sedih.
"Bukan, tapi--"
"Lo minder?" Alina mengangguk cepat.
"Jangan gitu dong ke kita-kita. Kita semuanya itu sama kok. Cuman bedanya ya di badan aja, haha. Gue cantik dan lo kayak gajah ngamuk, haha!" Mereka mendorong Alina hingga jatuh ke lantai.
Kemudian mengacak-acak rambut Alina. "Jangan, tolong hentikan!" mintanya. Namun keempat gadis itu masih saja mengganggunya.
Alina pasrah ketika rambutnya diacak serta dimainkan. Rasanya sakit, namun lebih sakit lagi jika dia dihina seperti kingkong.
Gadis itu berlari ke kamar mandi dengan tangisnya. Alina sudah tidak bisa menahan dirinya agar tidak menangis.
"Hiks hiks, kenapa. Kenapa harus aku? Kenapa tidak mereka saja, hiks hiks!" Alina tersedu. Dia mengambil tisu dan menghapus ingusnya.
Suasana dalam kelas diam. Walasnya bertanya ke mana Alina. Namun lagi-lagi seisi kelas berbohong dan mengatakan jika dirinya mungkin saja sedang makan di bawah pohon besar.
Awalnya guru itu tidak percaya, kemudian dia percaya setelah melihat Alina duduk berselonjor dengan memegang cemilan serta minuman.
"Ibu percaya sekarang kan sama kami."
"Kami tuh gak pernah bohongin Ibu loh!". Guru killer itu mendecih.
"Alina! Ini tidak bisa dibiarkan! Dia harus dihukum agar tidak terus-terusan melanggar peraturan sekolah," ucapnya.
Wanita yang memakai seragam guru itu mendekati Alina dan berteriak kencang.
"Alina!!!"