アプリをダウンロード
60% BERSEMAYAM DALAM DOA / Chapter 12: Hujaman Jarum di Dada Kiri

章 12: Hujaman Jarum di Dada Kiri

***

wah...gak nyangka buat respon dipart sebelumnya....

terima kasih banyak reader, kalian alasan aku untuk tetap terjaga dimalam hari ditemani cahaya laptop.

kalian alasan aku tersenyum disela batuk yang kian menyiksa,,,

hhhaaa apaan sih,,,yah udah capcus yang lagi baper yok dibaca,

jangan lupa vote dan komentarnya yah...

***

Leherku patah-patah menoleh gadis yang sesegukan disebelahku. Kepalanya kini hanya sepinggangku, kakinya ditekuk dan kepalanya tertunduk penuh. Aku masih dengan pikiranku, tak mampu menggerakkan bagian tubuhku yang lain.

"Maafkan Hanna Umi" ini yang ketiga kalinya dia meminta maaf dengan suara yang tertekan.

"ko sadonyo salahnyo Hanna. Iko sudah kaputusan Hanna"

Seorang wanita mendekati kami dan meraih tubuh Hanna untuk berdiri, namun Hanna menolak. Dia bersikukuh tetap seperti itu untuk suatu alasan yang misterius untukku.

"sudahlah Hanna, indak elok Hanna tu balutut untuak lelaki takah Fatih"

Aku gemetaran, namun tak mau menebak-nebak situasi ini.

"Hanna" suara yang berat dan berwibawa tiba-tiba menyapa. Aku ikut menoleh sumber suara. Seorang lelaki tua berpakaian serba putih dan mengenakan sorban. Wajahnya bersih, dan garis-garis keriput diwajahnya tak dapat menutupi wajahnya yang terlahir tampan.

"baoklah kawanmu masuak, kalian bisa berbagi biliak dengan Aisyah. Dan Fatih, baoklah kawanmu istirahat"

Hanna berdiri dan menarik lenganku, entah mengapa aku terlahir paling lemah diantara kawan-kawanku. Hanna sedang bersedih, namun dia tetap didepan membelaku. Kami berjalan terus mengikuti wanita muda berusia 20 tahunan. Wanita yang senyumnya sama dengan seseorang, seseorang yang kini menjadi kandidat terkuat untuk menjadi imamku.

"silahkan kak, anggap saja kamar sendiri" kami memasuki ruangan yang sama luasnya dengan kamar Hanna. Semua interiornya berwarna alam, ada gemericik air yang berasal dari kolam kecil ditepi kamar mandinya.

"saya Aisyah kak, adiknya Uda Fatih" dia tersenyum ramah seraya mengulurkan tangannya pada aku dan Sarah. Sarah lebih dulu menyambutnya, lalu dai tersenyum padaku.

"Almira" aku kikuk dipanah senyuman semanis itu.

Hanna memilih mandi lebih dulu, aku mengalah, bagaimanapun keadaannya yang sedang emosi harus didinginkan.

"Aisyah, sebenarnya ada apa?" Tanya Sarah dengan hati-hati. Asisyah memandangi kami bergantian.

"ah, bukannya kami ingin ikut campur dengan masalah kalian. Namun kami tidak enak hati, jangan-jangan Umi tidak suka kami kesini" sarah mengibas-ngibaskan tangannya.

"tidak kak, tidak demikian"

Aisyah menggigit bibir bawahnya mempertimbangkan pertanyaan kami.

"Sarah, mana mungkin itu ada hubungannya dengan kalian" potong Hanna. Kami serentak menoleh.

"itu urusan keluarga, kalian tenang saja. Nanti Umi juga baikan lagi" hanna mengerdip pada Aisyah. Aku hanya tersenyum tipis, menyadari kebohongan sahabatku.

***

Udara pagi yang sangat dingin membuat tubuhku menggigil, untung saja aku membawa baju tebal seperti yang dipesankan mama. Sebuah belati terasa menusuk tepat dihatiku, memacu jantung bekerja lebih cepat dan lebih cepat lagi.

Aku menuruti firasatku yang tak enak, meninggalkan Hanna, Sarah dan Aisyah yang asik bercerita tentang pengalaman Aisyah di Mesir. Dengan langkah jenuh aku menyusuri ruangan demi ruangan yang asing bagiku. Ditiap dinding ruangan terdapat kaligrafi yang indah sekali. Dilapisi bingkai kekemasan yang menambah kesan elegan dan kemewahan rumah ini.

Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan seperti orang yang sedang bertengkar hebat. Pintu ruangan asal suara tersebut sedikit terbuka, entah mengapa kali ini aku usil ingin mengetahui urusan orang.

"umi malu Fatih, urang alah tau sadonyo kok Umi alah mandatangi kaluargonyo Hanna. Baa Fatih tibo-tibo pulang kampuang mambao calon istri?...aih Fatih dima ka Umi latakkan muko Umi di hadapan tatanggo apolagi kaluarganyo Hanna?"

Tak ada Jawaban, Fatihpun hanya menunduk dalam kepasrahan, begitupun Fatih yang namanya disebut-sebut hanya menunduk dalam kepasrahan.

"alah lah Fatih, Fatih indak butuh pandapek kaluargo, fatih alah gadang, alah pintar, lah pandai mancari pitih surang. Itu lah sebabnyo Fatih meraso alah pantas manantukan masa depan Fatih surang" Umi kali ini menangis tersedu.

"danga Fatih nan ciek ko, indak ado kebahagiaan anak tanpa restu bundanyo. Camkan itu elok-elok" Umi sesegukkan tak sudi menoleh Fatih.

"Umi..." Fatih berlutut memegang kaki Umi dan memohon dengan suara yang sangat lirih.

"anggap Umi alah indak ado lai, Fatih jugo indak butuh Umi lai" Umi berlari kearah pintu tempat aku mengintip. Aku buru-buru berlari taku ketahuan bahwa aku sedang mengintip.

Aku sampai diteras samping, tiba-tiba dadaku terasa nyeri lagi, kali ini lebih parah dari yang terakhir kalinya. Seperti ada racun yang menyebar bersama belati yang menancap tepat dijantungku. Kepalaku sakit sekali, aku bingung harus bagaimana, benarkah semua yang kucerna dari pembicaraan Umi dan Fatih tadi.

Langit benar-benar mendung, suara burung bersahutan dengan kemerduan yang dalam. Air mataku meleleh satu persatu. Aku ingin terbang ke Jakarta bertemu Mama dan memeluknya dengan erat. Aku menelan ludahku namun tenggorokanku seperti samudra yang mengering. Aku ingin meraung namun gamang dengan situasi yang masih sebatas tebakanku saja.

"Mira.." aku menoleh. Hanna berdiri tepat disebelahku, dan memasang wajah yang khawatir. Aku menyadari asal kekhawatirannya dan segera menyeka pipiku yang basah.

"kamu kenapa?" dia memelukku.

"rindu Mama" bohongku. Dia melepasku dan tersenyum dengan keindahan yang luar biasa.

Aku mengamati wajah Hanna dari samping. Dia kini mengamati jalanan yang berada diseberang rumah dan agak menurun. Beberapa pekerja terlihat sibuk membenahi jalan yang rusak. Senyumnya sumringah namun entah mengapa aku merasa senyum itu kosong.

"han, apa kamu tidak ingin menikah?" Tanyaku hati-hati. Dia tertawa nyaman sekali.

"Mira Mira, mana ada sih wanita yang tidak ingin menikah?"

"lalu, apa kamu sudah ada calon" lanjutku masih dengan nada hati-hati.

Hanna membalik tubuhnya dan menatapku dengan serius, namun bibirnya masih tersenyum.

"ada dua keluarga yang mengkhitbahku untuk anak laki-laki mereka"

Apa salah satunya keluarga Fatih

"aku tidak suka salah satunya, aku merasa pria itu tidak tepat untukku, menurutku dia lebih tepat untuk orang lain"

Apa kau melakukannya demi aku, mengalah padaku?

" dan aku menyukai pria yang lainnya, dia punya hobby yang sama denganku" aku terperangah.

"kau menerimanya Han?" dia mengangguk, aku membulatkan bibirku. Entah mengapa hatiku rasanya bahagia sekali.

"siapa-siapa pria itu han" aku antusias.

"itu...pria dengan Helm kuning diseberang sana" telunjuknya mengarah pada para pekerja. Aku memfokuskan pandanganku. Seorang pria jagkung berdiri dengan beberapa kertas ditangannya, dia tampak sibuk dengan beberapa orang dan memeberi pengarahan.

Pria itu menoleh, lalu melambaikan tangan pada kami, Hanna membalasnya seraya tersenyum.

Udara pagi ini benar-benar sejuk dan segar. Dadaku terasa longgar, jantungku berdetak beraturan dan hatiku terasa sangat riang. Ini kabar terindah yang aku terima selama di Ranah Minang. Hanna bukan calon istri lain dari calon suamiku.

***

Hari ketiga dirumah orang tua Fatih, aku tidak dikenalkan secara resmi sebagai calon istri Fatih. Namun Umi, walaupun kerap bertengkar dengan Fatih, sikapnya jauh lebih baik padaku, emh terutama disbanding Ibunya Hanna.

Aku dan Fatih duduk diteras samping, menikmati cuaca sore yang indah. Matahari timbul tenggelam dibali perbukitan. Aku betah berlama-lama disini.

"kamu tau kalau Hanna dilamar pria" saat pertanyaan itu kuajukan, wajah Fatih terlihat gugup.

"siapa"

"Faisal, kontaktor jalan raya. Beberapa hari lalu aku melihatnya disana" aku menunjuk jalan tempat aku melihat calon suami Hanna.

"hei,, gak boleh berduaan nanti yang ketiga setan" Sarah muncul bersama Aisyah dan Hanna.

Fatih langsung berdiri dan berbisik pada Hanna. Lalu Hanna membuntutuinya dari belakang. Kami tetap melanjutkan obrolan, namun entah mengapa hatiku berdebar tak menentu. Cemburukah...mungkin.

Aku meninggalkan sarah dan Aisyah, mengendap-endap mencari kemana Hanna dan Fatih pergi. Aku tiba di halaman belakang, keduanya tampak sedang beradu argumentasi. Hanna bahkan mengeluarkan air matanya, jarang terjadi. Aku mendekat lagi agar dapat mendengarkan pembicaraan mereka.

"han...kenapa kamu tidak jujur kalau Umi melamar kamu untuk uda" aku menekan dadaku, detaknya kembali tak beraturan. Hanna hanya diam dan tersedu. Benar ternyata, Umi telah melamar Hanna tanpa sepengetahuan Fatih.

"kenapa Hanna tidak bilang saja waktu di apartemen Uda?" Fatih menjambak rambutnya sendiri.

"karena Hanna tau, Uda mencintai Mira, dan Hanna tidak mau Uda menikahi Hanna dengan terpaksa." Jawab Hanna

Aww...sebuah anak panah melasat meninggalkan busurnya lalu menancap tepat jantungku.

"Han, kalau saja Hanna bilang kenyataan itu. Tidak mungkin uda membiarkan Hanna menanggungnya sendirian."

Anak panah itu ternyata beracun.

"sekarang Hanna menerima pinangan Faisal Ramli si bajingan itu"

"dia sudah berubah Uda" Hanna membantah.

"Hanna, tidak ada yang berubah dari Faisal. Bersabarlah lebih banyak lagi, Uda akan segera mencarikan solusinya"

Racun menebar dan melemahkan kerja jantungku. Tanganku dingin, dan terasa gemetaran. Tak ada air mata yang jatuh, cukup kutelan dalam hatiku. Solusi apa yang akan ditawarkan Fatih. Apa solusi itu dengan membagi citanya pada kami berdua, atau dia meninggalkan aku dan memilih Hanna. Tidak...harga diriku berontak menolak kedua solusi itu.

Perlahan langit menumpahkan cairan. Gerimis menyapa tubuhku yang kedinginan dan mengigil. Aku berlari kekamar tak ingin kepergok Fatih dan Hanna bahwa aku telah mencuri dengar pembicaraan mereka.

Setibanya dikamar aku mengigil, tubuhku kaku dan beku. Aku menenggelamkan tubuhku dalam selimut, sembunyi dari kenyataan yang mengejarku. Aku tak mampu mengeluarkan air mataku, aku jadi gelisah. Emosi berkecamuk didadaku, aku butuh pelampiasan tapi aku tak bisa berdiri. Aku berusaha bangun dan mengadu pada Rabb-ku namun aku gagal dan jatuh. Aku menelan semua yang ingin aku muntahkan. Logikaku menolak menerima kenyataan ini.

Betapa munafiknya Hanna yang memendam lukanya sendiri, berpura bahagia atas kebahagiaanku nyatanya aku merenggut segalanya darinya. Dia membuat aku menjadi penjahat yang tak berperasaan. Dan Fatih, sejak awal kukatakan aku tidak butuh pengorbanannya, sejak awal aku tau dan menyadari hubungannya dengan Hanna, lalu dia bilang aku sok tau. Aku memang tau Fatih, aku tau. aku benci dibohongi dan ini adalah kebohongan terkejam yang aku rasakan.

sakit memang saat dulu Fandy meninggalkan dan mencampakkanku, tapi ternyata ada yang lebih menyakitkan. pura-pura dicintai, itu adalah hal terbodoh dan terhina yang aku rasakan. tubuhku tiba-tiba mengigil seperti disengat listrik ribuan volt. aku memejamkan mataku kuat-kuat berharap setetes hujan mengalir dari mataku. namun gagal, lebih sakit ternyata saat luka tanpa berdarah, saat sedih tanpa air mata, saat kecewa tanpa dapat berkata-kata. seperti ribuan jarum melesat menancap dijantungku. dan itu fatal....tubuhku melemah,tenggorokanku sakit dan aku mati lemas tanpa pasokan oksigen diparu-paruku. tak ada oksigen didalam darah yang mengalir keotakku, aku gagal berfikir. ah tidak aku terlampau cepat berfikir, dan ini sudah jadi keputusanku...

Langitku runtuh lagi, bumiku amblas lagi...

Aku bangkit dan gagal berdiri...

Duri-duri menghujam tubuhku yang rengkuh....

Aku tesedu luar biasa...

Merasa nasibku yang malang....

Padang tak lagi indah dimataku...

Aku akan pulang, membawa kekalahkanku dalam perang..

Selamat tinggal Fatih...


next chapter
Load failed, please RETRY

週次パワーステータス

Rank -- 推薦 ランキング
Stone -- 推薦 チケット

バッチアンロック

目次

表示オプション

バックグラウンド

フォント

大きさ

章のコメント

レビューを書く 読み取りステータス: C12
投稿に失敗します。もう一度やり直してください
  • テキストの品質
  • アップデートの安定性
  • ストーリー展開
  • キャラクターデザイン
  • 世界の背景

合計スコア 0.0

レビューが正常に投稿されました! レビューをもっと読む
パワーストーンで投票する
Rank NO.-- パワーランキング
Stone -- 推薦チケット
不適切なコンテンツを報告する
error ヒント

不正使用を報告

段落のコメント

ログイン