Selalu ada alasan yang menjadikan seseorang berusaha menjadi kuat dan tegar, termasuk aku. Aku mempunyai Rabb-ku yang lebih tau tentang masa depanku. Aku atau bahkan siapapun didunia ini tidak akan pernah tau apa yang akan kita temui selangkah didepan kita. Bisa jadi itu hanya jalanan datar, jalan mendaki atau malah sebuah lubang yang sangat besar. Namun aku percaya, lubangpun itu, boleh jadi bukan sebuah kuburan melainkan sebuah tambang emas.
Disini, disujud terakhir tahajudku kali ini, aku kembali mendapat ketenangan jiwa. Mendinginkan segala emosi yang mendidihkan darahku sore tadi. Diantara cahaya yang temaram, aku bersimpuh dengan kepasrahan, menyerahkan segala urusanku, kesedihanku dan kegundahanku pada-Nya. Menanyakan segala yang tersembunyi dibalik gelap didepan yang menutupi kebenaran dibelakangnya.
"Ya Khalik, aku rindu akan sebuah penikahan, akan cinta seorang imam, akan kebahagiaan rumah tangga. Dan kali ini jauhkan aku dari rasa cinta kepada hamba, cinta kepada seorang pria sebelum ijab disampaikan dan qabul diucapkan. Wahai Pemilik hati, jauhkan aku dari orang-orang yang lain dibibirnya lain pula dihatinya. Ya Rabb, ampuni aku dari segala dosaku, segala prasangka ku yang tak benar dan jauhkan aku dari kesesatan"
Lalu aku damai dalam sujud yang panjang, menghantarkan diri dengan kepasrahan yang penuh. Kini aku tak lagi ingin memutuskan masa depanku, biarlah semua sesuai dengan yang digariskan Rabb-ku padaku.
Aku selesai membereskan mukenahku, kulihat seorang gadis tengah bertemu rindu dengan Pemilik Malam. Dengan kekhusukannya dia bersimpuh dalam munajad-munajadnya kepada sang Khalik. Dialah gadis dengan wajah seindah bulan, Hanna Al Hamid.
Kulirik lagi jam dilayar ponselku, masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum subuh. Aku merasa haus dan memutuskan untuk kedapur mencari air minum. Lampu-lampu ditiap ruangan menyala, entah disengaja tidak dimatikan atau memang salah seorang pemilik rumah telah bangun. Namun aku tetap tidak ingin berisik dan mengganggu orang istirahat. Untuk itu tiap langkah kakiku kuatur sepelan mungkin.
Langkahku terhenti oleh seseorang yang bercahaya berdiri tepat lima langkah dihadapanku. Sosok itu berbaju putih dengan kain melekat dari pinggangnya menjuntai kebawah dengan rapi. Wajah dan rambutnya telihat segar seperti habis mandi. Ditangannya menggenggam gelas berisi air putih.
Kini tangan itu terulur padaku, tiba-tiba rasa gugup yang teramat sangat menyergapku. Lagi ...dan lagi sosok itu membuat hatiku tumbuh dan patah diwaktu yang sama.
"belum aku minum Mir" dia melirik tangannya yang masih melayang diudara.
Sedetik...dua detik...
Kubiarkan tangannya terulur. Aku menatapnya kali ini, lekat sekali. Tepat pada dua lingkaran hitam pekat dimatanya. Banyak yang ingin kukatakan padanya, tentang segala Tanya dan kekecewaanku padanya. Sayang, tak ada satu katapun yang mampu keluar dari mulutku yang biasanya pandai bicara. Tatapanku begitu dingin, senyum Fatih memudar lagi.
"kenapa Mira?" dia menarik lagi tangannya. Aku menelan ludahu, ingin menjawabnya namun tak tau harus kumulai dari mana.
"Mira sudah bangun?" Umi tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Fatih.
"iya Umi" aku mengalihkan mataku pada Umi.
"ayo sini, bantu Umi buat lontong"
Aku mengikuti langkah Umi, melewati Fatih tanpa menolehnya lagi. Aroma tubuhnya lembut menyapa hidungku. Kumohon, berhenti menggodaku.
Aku mengikuti Umi duduk dilantai dapur, memasukan beras yang telah dicuci kedalam kantong plastik yang telah dilubangi. Tiba-tiba fatih seenaknya duduk disampingku, membantu memasukan beras juga. Aku tau Umi mengamati kami bergantian, jantungku berdebar tak karuan. Tiba-tiba aku benci debaran ini.
"mira," Umi memanggil namaku, seolah namaku adalah bunga. Aku mengangkat wajahku, kudapati matanya yang sekelam malam.
"kapan jadinya keluarga kami bisa kerumah Mira"
Kerumahku, untuk apa lagi. Bukankah kalian telah memiliki calon menantu idaman. Ah, atau untuk menolakku didepan orang tuaku. Jangan repot-repot aku akan mengatakannya sendiri.
"oh, Umi itu" aku tiba-tiba bingung cara menyampaikannya.
Aku memberanikan diri menoleh Fatih, dia menatapku dengan keteduhan luar biasa. Lancangnya, dia mempermainkan hatiku sesuka hatinya.
"bicarakan saja dulu pada orang tuamu, kami akan menunggu" lanjut Umi seraya memasukan bungkusan beras kedalam kukusan.
"uda, ayo...sebentar lagi Adzan, Buya menunggu didepan" Rasyid muncul dan menarik lengan Fatih. Kini kulihat keduanya berdiri berdampingan. Sama tampannya, ah tidak....aku tak bisa lagi memuji dia.
***
Aku sendirian dikamar, kulihat dari jendela kamar Aisyah semuanya sedang asik bersenda gurau ditaman samping. Fatih dan Hanna duduk disatu meja dan tengah behadap-hadapan. Cangkir teh berdiri anggun dihadapan keduanya. Fatih sesekali melirik buku yang ada ditangan kirinya, kaca mata baca juga bertengger indah dihidungnya yang bangir. Hanna juga demikian, sesekali terlihat memulai obrolan dengan Fatih.
Sesekali terlihat senyum dibibirnya, memamerkan lesung pipinya yang menawan. Keduanya tampak seperti pasangan muda yang baru menikmati madu manis rumah tangga. Ah...tidak ada yang istimewa dari mereka, mereka hanya para pembohong yang mempermainkan hati orang.dan aku disini, dengan air mata yang tertahan, merasa bodoh dan dipecundangi. aku tidak cemburu hanya kesal...
Kuraih koperku yang bersender disudut ruangan. Kubereskan semua barang-barangku yang masih berada diluar koper. Sudah bulat keputusanku, aku tak ada lagi urusan dengan keluarga ini. Aku hanya akan sesak nafas berada lama-lama disini.
Kumantapkan lagi hatiku, berkali-kali ku tarik dan hembuskan lagi nafasku demi menenangkan jantungku yang terasa tidak normal. Ku tepuk-tepuk dada kiriku.
"All is well"
"ya...Rabb lindungi aku"
Kuseret koperku keluar, diruang tv aku bertemu Umi dan Buya yang tengah asik mengobrol. Keduanya menatapku dengan keheranan.
"mau kemana Mira?" Umi berlari kearahku.
Tiba-tiba air mata menetes tanpa komando. Sial, malam tadi aku berharap dia keluar namun dia enggan keluar. Kini disaat aku ingin terlihat tegar dia justru datang menertawakanku, air mata ini mempermalukanku.
"ada urusan Umi, Mira harus segera ke Jakarta" bohongku.
Umi tiba-tiba memelukku. Membuat air mataku kian berontak menyeruak keluar. Aku tersedu-sedu dan tak dapat menahan haruku. Mengapa, mengapa bukan aku yang lebih dulu bertemu dengan Umi. Mengapa bukan aku yang lebih dulu mencuri hati Umi.
Ku tarik nafasku dalam-dalam, hatiku makin sakit menatap wajah Umi yang kini menatapku sambil memegang kedua belah pipiku.
"ada apa Mira?" Umi tampak tak percaya dengan kata-kataku. Aku hanya menggeleng dan menunduk.
"kamu ada masalah dengan Fatih" Buya menyambung dan segera berdiri disamping Umi. Aku kembali hanya menggeleng. Kugigit bibir bawahku untuk menghilangkan rasa haru yang kian menjadi. Kugigit lagi kuat-kuat sampai aku merasa ada cairan amis keluar disana, darah.
"tinggallah sampai besok, jadi yang lain bisa pulang bersamamu"
"tidak bisa Umi" bantahku
"biar Buya beri tahu Fatih dulu, tunggu sebentar. Paling lama satu jam mereka bersiap" buya bergegas melangkah keluar.
"tidak buya jangan" cegahku.
Buya menghentikan langkahnya, lalu berbalik menolehku. Kuraih tangan Umi lalu menciumnya, lalu aku berjalan kearah Buya dan melakukan hal yang sama. Aku menyeret keluar koperku tanpa menoleh mereka lagi. Namun aku tau mereka mengikutiku dari belakang.
Setibanya diteras rumah, Umi berteriak memanggil Fatih.
"Fatih...Fatih... Dima Fatih nak..."
"Umi, Umi tidak apa-apa, jangan panggil mereka" cegahku agar umi berhenti berteriak. Rasyid muncul lebih dulu, karena saat itu dia berada digarasi. Menatapku lalu melirik koperku. Rasyid segera bergegas ketaman samping. Tak beselang lama Fatih dan yang lain muncul.
"kamu mau kemana Mir?" Fatih berlari perlahan kearahku.
"aku ada urusan" aku menolak menatap matanya.
"jangan bohong" Fatih merampas koper dari tanganku.
"aku tidak bohong" bantahku berusaha meraih kopeku lagi, namun gagal.
"urusan apa? Mendesak sekali" aku jadi bingung harus bicara apa.
"pokoknya aku harus segera sampai ke Jakarta. Nanti kamu juga tahu" kali ini aku berhasil meraih koperku.
Fatih berhenti bicara, padahal aku menunggu dia mencegahku lebih keras lagi.
"assalamu'alaikum" aku bergegas menuruni undakan teras. Tak ada yang bicara lagi atau berusaha mencegahku. aku kecewa....
Semilir angin menyapa kulitku, dingin sekali. Mataku tepat menatap didepan, jalanan yang sepi menjadi catatan tersendiri dibenakku. Sebuah langkah mengikutiku dari belakang, aku mengabaikannnya. Ini tekadku, bagaimanapun mereka berusaha mencegahku aku tetap pada keputusanku. Aku ingin pulang ke Jakarta, jauh dari orang-orang yang melibatkanku pada urusan hati mereka, dan menyakitiku sadar atau tidak.
"kak..."
Aku berhenti melangkah, itu suara Rasyid bukan suara Fatih. Rasyid mengejarku, bukan Fatih. Sedikit rasa kecewa menyeruak dihatiku. Aku kembali melanjutkan langkahku, menyeret koperku yang mulai terasa berat.
"kakak pakai apa ke Bandara?"
Kali ini langkahku benar-benar berhenti, kakiku jadi lemas. Benar, jaraknya bukan Cuma jauh melainkan sangat jauh. Saat perjalanan kemari aku bahkan sampai tertidur, lututku terasa bergetar. Mataku nanar memandang jalan raya yang terlihat sangat sepi tanpa ada satupun kendaraan yang lewat.
Tidak, aku harus kuat. Entah dimana yang jelas aku pasti menemukan tumpangan. Aku hanya harus menegarkan kakiku agar hatiku tak terasa sakit lagi.
Sebuah mobil Trush hitam berhenti di sampingku, sopirnya keluar dan mengambil koper dari tanganku.
"bisakah aku mencegahmu pulang Mira?"
Dia berdiri tepat dihadapanku, dekat sekali. Aku bahkan bisa mencium aroma cologne-nya yang segar. Aku mendongakkan wajahku, disana aku menemukan wajahnya yang indah. Bibirnya sedikit terbuka, tak tersenyum seperti biasa. Aku kembali menunduk, lalu menggeleng perlahan.
"biarkan aku mengantarmu pulang" dia menarik koperku dan siap mermasukan nya ke bagasi mobil.
"jangan Fatih" cegahku.
"hanya sampai bandara" lirihnya. Sesuatu menusuk jantungku perlahan, ada rasa lega mendengarnya ingin mengantarku ke Bandara, namun rasa kecewa rasanya lebih banyak. Dia tidak berusaha keras mencegahku, artinya dia menginginkan kepulanganku.
Mataku mengembun, setitik air membasahi sudut mataku. Kuseka itu, lalu kutarik nafasku dalam-dalam. Kuamati lagi rumah calon mertuaku yang batal. Semua berkumpul diteras, menatapku lekat-lekat. Kugigit bibirku demi menahan rasa haru yang benar-benar tak tertahan. Mati-matian aku ingin terlihat tegar. Aku ingin kalah dengan cara yang lebih elegan.
***
Kami hanya diam sepanjang jalan. Dia bahkan tak meminta penjelasanku. Aku juga tak berniat bicara banyak padanya. Biarlah waktu yang akan memisahkan dua hati yang belum halal ini. Kupejamkan mataku, membuang jauh-jauh aroma tubuhnya yang menggodaku.
Belum lagi aku terlelap benar, dia menghentikan mobilnya. Aku membuka mataku, kami tidak parkir di rest area, SPBU, atau tempat makan. Sebuah taman dipunggung bukit, pemandangannya cukup indah dan menyegarkan mata. Tapi aku sedang tidak ingin menikmati suasana ini.
"kita dimana Fatih?" suaraku serak dan berat rasanya.
"kita perlu bicara Mira" ujarnya.
Ya... kita perlu bicara banyak, tapi bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya aku tak tau.
Fatih menatapku lekat, matanya yang lembut menyentuh jantungku, debarannya benar-benar kubenci.
"Mira, ada apa?"
Aku hampir menangis, kini melihat wajahnya aku jadi tak rela melepaskannya.
"Mira... aku mohon katakan apa saja. Jangan sembunyikan apapun dariku"
Aku hanya bisa menelan ludahku, kata-kataku seperti dihilang. Aku tak sanggup lagi menatapnya.
"aku belum siap mengatakannya Fatih, maaf"
Aku menunduk berusaha menyembunyikan wajahku yang memerah.
"janji akan bilang nanti" dia berusaha melihat wajahku, kulirik dia senyumnya merekah, indah sekali. aku hanya mengangguk mengiyakan janji yang dimintanya.
Kami melanjutkan perjalan menuju Bandar Udara Minangkabau. Disana kami berpisah dan tak akan berjumpa lagi sebagai sepasang calon pengantin. Air mataku menetes, selamat jalan khayalan indahku, sesaat wajahmu membuatku lupa bahwa aku hanya boleh menggantungkan mimpiku pada Ilahi bukan hambanya.
***
Aku kembali menginjakkan kakiku di kota dengan segala kemacetannya. Tidak, aku tidak ingin kembali kerumah dulu, aku ingin sendiri dulu sambil mengatur emosiku. Aku harus menyampaikannya kepada orang tuaku dengan cara yang tepat. Aku memutuskan untuk menginap dihotel sementara waktu, menyendiri dan segera menyampaikan keputusanku pada Fatih dan orang tuaku.
Dddrrrttt....
Fatih memanggil....
Ini keenam kalinya, aku masih tak tau harus berkata apa pada Fatih. Tidak aku tak bisa bicara padanya secara langsung. Maka kuputuskan untuk mengirim pesan teks agar aku lebih gamblang menyampaikan maksud hatiku.
"maafkan aku Fatih, mungkin bagimu aku terlalu kekanak-kanakan mengingat hubungan yang kau tawarkan adalah sebuah pernikahan. Tapi Fatih, perjalanan kita ke kampung halamanmu seperti sebuah jawaban atas istikharahku selama ini. Semuanya tampak sulit bagiku, sejak kamu mengkhitbahku terasa ada beban yang menghimpit dadaku. Aku tidak bisa Fatih, tidak lagi. Maaf...aku tidak bisa menikah denganmu"
Pesan terkirim...
Selang beberapa detik Fatih kembali menelponku. Akhirnya kuputuskan mencabut batre handphoneku. Lalu aku merasa ada bagian dari hatiku yang ditariknya secara paksa. Aku memegang dadaku, sakitnya luar biasa. Kali ini aku sendirian, aku kembali meraung.
Butir-butir air mengalir kepipiku, bibirku bergetar menahan segala beban yang rasanya akan meluap. Tuhan, mengapa kali ini terasa sangat sakit. Kubasuh wajahku dengan wudhu, kembali aku mengadu pada Rabb-ku yang senantiasa menenangkan jiwaku.
"ya..Rabb.... ampuni aku" kali ini aku gagal bertahan.
Segala sesak didadaku kuluapkan, aku mengadu seperti anak kecil mengadu pada ibunya. Dunia begitu kabur dimataku. Pipiku bukanhanya basah, tapi seperti aliran air yang terjun dari puncak bukit. Aku meraung sejadi-jadinya, hatiku benar-benar perih kini. Lalu aku kehilangan segalanya, aku merasa sendirian diruangan yang gelap tanpa cahaya.
***
"layanan kamar" seseorang berteriak dari luar ruangan.
Aku memicingkan mataku, sebuah cahaya menusuk mataku. Kupejamkan lagi mataku lalu membukanya lagi dan mengucek-uceknya. Kupicingkan mataku melihat jam yang bertengger di dinding ruangan.
"layanan kamar"
Pukul tujuh pagi...
"Astaghfirullah..." aku terkejut, aku ketinggalan subuh. Segera aku berlari kekamar mandi untuk membersihkan diri dan kembali berwudhu untuk menunaikan sholat subuhku yang ketinggalan.
Aku hanya berharap Allah mengampuniku.
"layanan kamar..."suara itu kembali melengking dari luar ruangan.
Kubuka pintu kamar, seorang wanita tersenyum ramah padaku.
"aku akan keluar dan kembali siang nanti" lalu aku meninggalkan wanita itu sendirian.
Aku ingin menyegarkan fikiranku, aku berjalan menuju sebuah taman yang letaknya tak jauh dari hotel. Tidak ramai karena ini bukan hari libur, namun suasana ini yang aku cari. Kunikmati pemandangan yang terlihat indah dimataku. Hijau menyegarkan dan kombinasi warna cerah lainnya.
Kupejamkan mataku, lalu pulas begitu saja dibuai angin yang memanjakanku. aku tidak benar-benar pulas, bayangan Fatih melintas sesekali menghiasi lamunanku. Ada perih yang teramat sangat namun entah mengapa aku menikmati rasa perih itu.
Kubuka mataku saat sadar akan keganjilan perasaanku. Bagaimana mungkin aku menikamti rasa sakit. Sebuah senyum manis menyapa mataku, gigi gingsulnya seperti sengaja dipamerkan. Aku mengerjap menyadari bahwa seseorang dengan lancang duduk disampingku.
"assalamu'alaikum..." sapanya. Aku masih mengerjap-ngerjap sambil meluruskan posisiku.
"Luthfi" teriakku. Dia kembali menyeringai.
Aku mengusap mukaku, sedikit malu dipergokinya tertidur di taman.
"ah... aku tidak yakin ada orang tertidur dengan wajah tetap manis seperti kamu" dia menggodaku lagi.
"aku mohon, aku lebih tua darimu" sergahku sambil memperbaiki hijabku.
"ini..."dia menunjukan hasil jepretannya dikamera. Aku mulanya enggan dan hanya melirik-lirik saja namun saat aku mengamati foto tersebut aku jadi terperangah. Rahangku bahkan sampai jatuh ketanah.
"ais...sini berikan padaku.." aku berusaha merebut kamera tersebut.
"jangan ini punya ku.." luthfi menaikan tangannya. Aku jadi harus melompat-lompat demi merebutnya. Namun tetap saja, tubuhnya lebih tinggi dariku, aku gagal.
"aku lapor polisi...ini tindak kejahatan" rajukku sambil meraih tasku yang tergeletak dibangku.
"matamu kenapa bengkak?" tanyanya. Aku jadi meraih cermin ditasku lalu berkaca, ah benar, mataku bengkak.
"karena aku baru bangun tidur" bohongku.
"kalau butuh teman berbagi...aku siap" lirihnya.
Tiba-tiba udara perlahan bergerak, benarkah aku bisa berbagi. pada nya mahasiswaku sendiri. benarkah aku boleh melakukannya.
***
Aku kembali sesaat sebelum adzan zhuhur berbunyi. Aku sempat makan siang dulu dengan Luthfi, mahasiswaku. Ya...bukan siapa-siapa dia mahasiswaku.
Saat tiba dikamar aku melihat ponselku masih berserakan hanya tempatnya saja yang pindah. Tadi dilantai sekarang diatas nakas. Kamar juga sudah rapi kembali. Kuraih ponselku dan kembali menghidupkannya. Beberapa pesan masuk, dari Hanna 3 pesan, kuhapus tanpa kubaca. Dari Bilal satu pesan kuhapus tanpa ku baca. Dari Sarah 7 pesan, ku hapus tanpa ku baca. Dari Fatih 15 pesan, satu persatu kuhapus, perlahan-lahan. Saat dipesan terakhir kuberanikan diri untuk membukanya.
"Mira, kami sudah di Jakarta. Kami kerumahmu dan kamu belum kembali. Mira kamu dimana, kumohon aku mengkhawatirkanmu, sayang "
Ponselku melorot begitu saja dari tanganku yang tiba-tiba saja terasa licin. Sayang, dia memanggilku sayang. Gigiku gemelutup saling berbenturan. Kukatupkan kelopak mataku dan tiba-tiba air mengalir seenaknya. Kembali lagi...langitku mendung lagi.
Fatih...tolong jangan pedulikan aku lagi, agar aku bisa dengan mudah melupakanmu.
Fatih...tolong jujur pada hatimu dan jangan lakukan apa-apa lagi untukku....
aku tak melihat langit yang cerah itu indah...
aku hanya percaya pelangi itu ada...
tapi, dihadapanku kini dia tak berwarna
cahaya memudar darinya....seperti masa depanku yang abu-abu
biarkan aku sendirian, tanpa menentang takdir tuhan...
aku,,,,tak ingin jatuh cinta lagi...