Takdir tak bisa diduga, yang dikira jodoh ... eh ternyata hanya pemanis sementara yang singgah untuk menambah cerita kehidupan saja.
Semua hanya soal masa. Periode bersama para tokohnya yang tidak akan pernah kita sangka sebelumnya kalau salah satu dari mereka akan pergi meninggalkan kita atau juga mungkin kita yang akan meninggalkan mereka. Sakitnya adalah ketika mereka memilih bersama orang lain dan melupakan kita.
***
Sekilas aku melihat Fajar, dia juga sepertinya kaget dengan suratku yang sudah dibacakan setengah oleh Eva. Aku tidak menyangka Fajar sekejam itu padaku, dengan sengaja dia membiarkan orang lain membacanya di depan murid sekelas.
Niatku pun yang ingin merebut surat itu tidak bisa kulakukan. Ingin melangkah saja sangat berat. Aku telanjur malu sendiri, jangankan berjalan ke depan, melihat teman-teman yang lainnya saja aku tak berani.
Hingga Eva selesai membacakannya sampai akhir.
Aku menoleh pada Ayu yang sedari tadi memandangku tak percaya.
"Mit, kamu ... ha, ishhh." Ayu terlihat kecewa, tetapi juga tampak kesal pada Eva dan Ritta yang masih mengolok-ngolokku di depan sana.
"Ya Alloh, ngakak banget sih ini surat. Kepedean banget, apa coba maksudnya? Ini tuh nembak, ya? Enggak malu emang cewek nembak cowok duluan?" Eva tertawa puas.
"Kalau gue sih, jelas malu banget Va. Selama ini cowok yang nembak gue pasti langsung, secara gituh gue kan cantik. Mana mungkin gue nembak cowok duluan, enggak level dong. Mau ditaruh di mana muka gue? Ya ampun, Mita Mita. Mit, ini tulisan lo beneran kan?" Ritta berteriak padaku –mempertanyakan siapa penulis surat itu, membuat semua murid pasti juga tertuju sama.
Aku tidak bisa apa-apa, aku masih berdiri dan membelakangi mereka. Ayu yang sedang duduk di hadapanku tiba-tiba langsung berdiri, dia tampak sangat emosi dan berjalan melewatiku.
Ayu berjalan ke depan dan langsung merebut kertas itu dari tangan Eva.
Aku pun terkejut melihat keberanian sahabatku itu yang sekarang maju membelaku. "Ayu ...." Aku terharu.
"Siniin! Kalian anak sekolahan bukan, sih? Enggak sopan banget buka privasi orang. Puas, kalian bacain surat ini? Iya?" Ayu membentak mereka berdua.
"Idih, orang Fajar sendiri yang kasih," jawab Eva.
"Hooh, si Fajar yang kasih. Terus Eva sama gue bukalah, kirain surat izin murid." Ritta juga menimpali.
Terlihat Fajar seperti ingin membela diri. Tapi dia tak berani dan tampak adu debat dengan Deden. Ya Alloh, aku akhirnya tahu kalau Fajar mungkin mengira itu adalah surat izin dari salah satu murid makanya dia kasih ke si Eva sama si Ritta karena keduanya adalah sekretaris dan wakil sekretaris kelas. Aku yang bodoh, kenapa lagi tadi aku tidak bilang kalau itu surat dari aku? Tapi semua sudah telanjur. Telanjur malu.
"Nggak nyangka ya, si Mita lebay juga."
"Iya, ih malu deh."
"Kalau gue sih udah berasa kayak enggak punya muka."
"Gue sih mending mati aja, hahaha."
"Lagian so cantik banget sih, dia kira emang si Fajar mau gituh sama dia?"
"Kasihan ya si Mita."
"Hem, bucin."
"Pengen pacaran kali dia, maklum kan temennya—si Ayu udah punya pacar, sedangkan dia belum, lagian siapa sih yang mau sama dia?."
"Makanya permak dong itu wajah, kalau udah cantikmah cowok juga pada ngedeketin."
"Pasti besok si Mita enggak akan sekolah."
"Huhuhu, malu banget pasti."
"Lagian si Mita ada-ada aja."
Aaaaaaaaa! Pokoknya setelah hari itu aku malu banget, sebulan pertama gossip tentang surat itu masih beredar. Masih bisa terdengar oleh telingaku.
Sesudah kejadian itu pun Ayu mengembalikan suratku yang sudah direbutnya dari tangan Eva dan menyodorkannya padaku dengan cukup kasar.
"Nih, bakar tuh surat kecerobohan kamu Mit. Malu kan? Lagian kenapa sih kamu enggak bilang-bilang ke aku dulu? Si Fajar enggak mungkin nerima kamu Mit."
DEGGG!
Perkataan Mita saat itu adalah perkataan yang paling menyakitkan yang pernah aku dengar dari mulutnya.
"Maafkan aku Yu ... aku enggak berniat nembak Fajar kok, aku cuman mau ngungkapin perasaanku aja dan aku juga ingin tahu bagaimana perasaan Fajar ke aku, itu saja kok."
"Fajar udah punya pacar!" ucap Ayu sembari memalingkan wajahnya.
Sontak saat itu aku sangat kaget mendengarnya, ternyata Ayu sudah tahu kalau Fajar pacaran dengan adik kelas kami dan dia adalah siswi cantik sekaligus siswi yang pintar, otaknya di atas rata-rata, dia juga kesayangan guru-guru di sekolah. Dia adalah Novi--sepupunya Rizky. Risky adalah pacarnya Ayu yang satu kelas juga dengan kami.
Ayu sengaja tidak memberitahuku tentang hubungan Fajar sama Novi dengan alasan takut aku sakit hati. Aku juga tidak menyalahkan Ayu karena itu dan berusaha menerima takdirku saja yang mungkin harus dipermalukan dulu seperti itu biar aku sadar kalau orang tampan dan pintar seperti Fajar pastinya juga suka orang secantik dan juga setara kepintarannya seperti Novi. Aku? Aku tidak lebih berarti dari angin yang hanya seliweran. Ada tapi tak terlihat. Sebatas teman, itu pun teman yang sangat asing baginya.
Sekarang, Ayu juga kembali meyakinkanku soal fisikku ini. Fisik yang tidak akan mudah diterima oleh orang lain. Aku semakin yakin bahwa tidak ada kata tulus dalam berteman, dua orang yang aku percayai hanyalah Ayu—teman SMA-ku dan Reni—teman masa kecilku. Mereka adalah dua orang yang hampir sama baiknya tapi beda lingkungan saja.
Aku pun keluar dari toilet, sesudah aku merasa yakin kalau mataku sudah tidak terlalu mencurigakan. Setelah menangis, memang kadang membuat mata sulit berbohong. Aku tidak ingin Ayu curiga kalau aku menangis karena perkataannya.
"Eh Mit, lo di sini?" tanya seseorang, dia adalah Indri teman sekelasku. Di sampingnya adalah Nani, teman sebangkunya. Mereka sepertinya juga ingin ke toilet, empat pintu toilet penuh dan baru aku saja yang ke luar dari salah satu biliknya.
"Iya, aku baru pipis tadi. Memangnya ada apa, Ndri?" kutanya sambil mengelap tanganku ke rok, ada sisa air mata di tanganku.
Nani menatapku sinis, kutahu itu bukan karena dia membenciku –hanya saja begitulah wajahnya, judes.
"Si Ayu nangis tuh di kelas," celetuknya. Aku pun terkejut, kenapa Ayu nangis? Hanya tinggal aku dan Nani di luar pintu toilet, karena Indri sudah kebelet pipis dan masuk ke dalam toilet yang tadi sudah kumasuki.
"Nangis kenapa?" tanyaku.
Nani menatapku aneh, tapi ya ... seperti yang tadi aku bilang kalau wajah Nani memang sangat-sangat judes, mungkin keseringan jadi komdis (Komisi Disiplin) yang suka marah-marahin siswa baru saat MOS. Sangar!
"Diputusin tuh sama si Rizky," balasnya. Aku pun melongo, masa iya? Kenapa? Sejauh ini kutahu hubungan mereka baik-baik saja. Ada apa ini? Kok ngedadak gini? Ayu juga tidak bercerita tentang keretakan hubungannya dengan Rizky padaku. Padahal kemarin mereka juga masih main bareng sepulang sekolah, ada apa?
Tanpa basa-basi lagi aku pun meninggalkan Nani dan segera melangkahkan kaki menuju ke kelas. Setengah berlari aku pergi ke kelas yang cukup jauh dari toilet tadi.