Aku hanya melihat kegelapan. Sama sekali tidak ada cahaya.
Aku bisa mendengar suara Isla, Pak Jack, dan beberapa suara yang sama sekali tidak pernah kudengar apalagi kukenali.
Aku mengerjap.
Terang sekali. Aku hendak bangkit, sebelum kembali berbaring karena pelukan besar.
"Azalea!" pekik Isla. "Kamu telah pingsan 3 hari lamanya! Aku takut banget tau gak?!"
"Isla, berhenti mengguncangnya!" seruan laki-laki terdengar, disertai helaan nafas.
"Luka-lukanya belum menutup sempurna, Isla," jelas lelaki yang lain. "Bagaimana kalau lukanya kembali terbuka?"
Isla melepas pelukannya.
Mataku mulai terbiasa dengan terangnya cahaya yang menerpa wajahku. Terang sekali.
Aku dapat melihat Isla, seorang lelaki berambut coklat keemasan, dan lelaki berambut hitam.
"Namaku Rick," Lelaki berambut coklat itu tersenyum ramah. "Anak dari dosa kecil, Spite, si kedengkian."
"Namaku Avery," ucap lelaki berambut hitam dengan tenang. "Anak dari dosa menengah, Chaos, sang kekacauan."
Isla tersenyum padaku. Senyumannya sama lebar dan riangnya seperti yang bisa ia perlihatkan untuk menyapaku di kelas kami.
"Dia Isla," Isla memperkenalkanku. "Dia itu anak yang baiik banget..."
"Anak siapa dia?" tanya Avery.
"Aku tidak tau," Isla mengangkat bahunya dan menggeleng. "Tidak ada yang tau."
"Berarti dia akan tinggal di kabin penuh cowok itu?" tanya Rick. "Itu gawat! Mereka, kan, amat benci pada cewek. Hiih..."
"Aku harap tidak harus..." ucap Isla sambil menatapku sedih. "Nah, apakah kamu sudah lebih baik? Jika iya, kita bisa jalan-jalan dan aku akan menunjukkan kemah ini."
Aku mengangguk, sama sekali tidak tau apa yang harus kukatakan.
Kami keluar dan melihat hamparan anak-anak kemah yang sibuk dengan rutinitas mereka. Ada yang menempa senjata, menari, bernyanyi, berlatih panah, bertarung, meniti tali, bermain panjat dinding, dan sekedar mengobrol.
"Di sini adalah tempat dimana para pekemah akan melakukan rutinitasnya," jelas Isla. "Jika ingin bermain atau sekedar berkumpul bisa di sini."
Kami berjalan lagi hingga tiba di puncak bukit. Kami dapat melihat amfiteater besar di bawah. Ada beberapa orang yang membaca buku dan berduel pedang.
"Jika ada acara kemah, kita harus berkumpul di amfiteater itu," Isla menunjuk amfiteater di bawah.
Kami berjalan hingga ke deretan kamar mandi. Lalu, deretan pondok-pondok yang semuanya berbeda. Pondok itu mengapit jalan yang meliuk, di setiap sisinya jumlahnya sama.
Lalu, ada pondok yang penuh sesak.
"Setiap kebajikan dan dosa membangun pondok bagi anak-anak mereka sendiri," jelas Isla. "Karena itu pondok-pondok ini semuanya berbeda."
"Dimana pondok yang bisa kutempati?" tanyaku bingung.
"Kami tidak tau siapa ayahmu," jelas Isla. "Karena itu, kamu harus tinggal di pondok umum ya."
Aku mengangguk tidak peduli.
Pondok paling sesak itu terbuat dari kayu dan arsitekturnya amatlah sederhana.
Hampir seluruhnya cowok dan ia memandangku benci.
"Hati-hati kepada mereka semua," bisik Isla.
Aku mengangguk.
Mereka melotot kepadaku. Karena aku kesal, aku membalas pandangan mereka.
Kenapa aku harus takut?
Aku tidak takut pada orang sok menggertak kayak mereka!
"Hei, Konselor!" pekik Isla.
Seorang lelaki muncul. Ia amat mempesona kaum hawa dengan rambutnya yang pirang dan senyum ramahnya.
"Itu konselor, pengurus pondok ini," jelas Isla. "Sebenarnya dia itu anak kebajikan besar, Patience, tapi katanya dia lebih senang di sini."
"Hallo, namaku Justin," Ia tersenyum. "Namamu siapa?"
"Azalea," ucapku datar.
"Nah, Azalea, karena kamu cewek," ucapnya. "Kamarmu akan di pisah. Bagaimana kalau kamu menempati kamarku saja?"
"Eh? Tidak apa?" tanyaku.
Justin tersenyum. Ia tampak tulus.
"Justin, aku masih bingung kenapa kamu tidak menempati kamar jatahmu di pondok patience itu?" Isla bersedekap.
"Saudaraku amat konyol, Isla," Justin terkekeh nakal. "Mereka terlalu sabar dengan apapun. Aku ingin berekspresi bebas."
Isla memutar bola mata. Ia memandangku dan tersenyum.
"Justin, kamu urus soal Azalea, ya," pinta Isla. "Aku akan membawanya tur. Bye bye."
Isla menarikku. Sehingga aku hanya sempat memberikan 'terima kasih' dengan tatapan dan senyuman.
Kami berjalan dan aku melihat sebuah pondok yang paling beda, terpisah.
"Pondok apa itu, Isla?" Aku menunjuk pondok itu.
"Pondok yang dibangun oleh Necromancer," jawab Isla. "Pondok dambaan semua orang. Mereka ingin menjadi anak Necromancer. Tapi, sampai sekarang belum ada yang terbukti menjadi anak seorang Leader of Paradox."
Aku memandangnya sambil mengikuti Isla.
Kami melihat sebuah pavilliun di atas salah satu bukit.
"Pavilliun apa itu, Isla?" tanyaku. "Kenapa besar sekali?"
"Pavilliun Kafetaria," Isla tersenyum. "Tempat kita sarapan, makan siang, acara minum teh, dan makan malam."
Aku mengangguk.
"Ah! Aku ada urusan," ucap Isla. "Aku harus mengantarmu ke Pak Jack."
Kami berjalan ke mansion mewah. Aku masuk setelah Isla menyuruhku.
Kami melihat Pak Jack sedang berkutat dengan arsip yang menggunung.
"Pak, Azalea sudah siuman," ucap Isla.
"Ah! Kemarilah, Nak," Pak Jack tersenyum. "Isla, kamu ada duel, kan? Pergilah."
Isla mengangguk dan menepuk bahuku sebelum pergi.
Pak Jack memandangku.
"Aku tau banyak hal yang kamu ingin tau," ucap Pak Jack. "Tapi, saya juga tidak tau banyak. Maafkan saya."
Aku mengangguk.
"Semoga kamu tahan sama mereka, ya?" Pak Jack tersenyum. "Sampai ayahmu mengakuimu sebagai anaknya."