Ketika malam, aku sama sekali tidak bisa tidur. Lelaki itu sepertinya tidak bisa mendatangiku malam ini.
Semua anak di pondok umum sudah terlelap. Aku dapat mendengar dengkuran mereka. Justin mungkin sudah tidur juga, karena sejak tadi aku tidak mendengar pergerakkan di kamarnya.
Aku menatap keluar jendela.
Perkemahan ini sepi. Aku bisa mendengar debur air di danau. Cahaya-cahaya dari pondok pun berbeda-beda. Lampu yang menerangi jalanan tampak remang-remang.
Aku tersontak ketika melihat lelaki itu di atas pohon.
"Hei, Nak," desisnya. "Aku mencarimu kemana-mana. Rupanya kamu ada di sini."
"Bagaimana-" Aku melongo.
Ia terkekeh dan mengulurkan tangannya.
Entah kenapa, aku sama sekali tidak takut untuk mengenggam tangannya. Ia menarikku dan kami berlompatan dari pohon ke pohon hingga tiba di tengah hutan.
Kami duduk, mengamati bintang.
"Aku tidak menyangka kamu akan tiba di sini," ucapnya. "Kukira keluargamu tidak akan memperbolehkanmu."
"Kata orang-orang aku dalam bahaya besar," jelasku.
"Half-Blood seperti kalian memang aromanya kuat, sih," Ia tersenyum.
"Half-Blood?" tanyaku.
"Anak-anak setengah manusia dan setengah roh dinamakan Half-Blood," jawabnya.
"Bagaimana kamu bisa tau?" Aku antusias.
"Itu adalah pelajaran umum, Nak," kekehnya.
"Aku bingung kenapa ayah tidak mengakuiku sebagai anaknya," ucapku.
"Kenapa kamu berpikir begitu?" tanyanya lembut.
Aku memandang langit. Berharap bahwa ucapan itu sampai kepada ayahku, dimanapun ia berada dan sedang melakukan apapun.
"Aku tinggal di pondok umum," jelasku. "Mereka tidak tau anak siapa karena ayahku belum mengakuiku sebagai anaknya."
"Kamu berharap ayahmu siapa?" tanya lelaki itu pelan.
"Aku tidak peduli ayahku siapa," jawabku. "Siapapun dia. Dosa/kebajikan. Besar, kecil, ataupun menengah. Aku tidak peduli. Karena dia tetap ayahku. Aku cuma mau tau siapa ayahku. Itu saja."
Hening.
Lelaki itu tidak membalas ucapanku.
Aku menoleh untuk memandangnya. Ia sedang tersenyum tulus ke arah langit.
"Menurutku, waktu dimana ayahmu mengakui bahwa kamu anaknya akan datang sebentar lagi," ucapnya. "Bersabarlah. Ayahmu pasti selalu mengakuimu."
Aku mengangguk. Semakin lama, aku semakin mengantuk.
"Lebih baik, kamu segera kembali," ucapnya. "Ini sudah larut."
Ia memakaikan jubahnya padaku.
"Pakai itu, daripada kamu sakit nantinya," Ia tersenyum.
Ia kembali mengantarku.
"Selamat malam, Nak," Ia tersenyum sebelum pergi.
__________________________________
Keesokan harinya, ketika makan malam...
Aku duduk bersama anak-anak di pondok umum. Justin duduk bersebrangan denganku.
"Heya!" Isla tiba-tiba duduk di sebelahku.
"Isla, kita dilarang untuk pindah tempat ketika makan," ucap Justin. "Kecuali ketika acara minum teh."
"Kamu kaku sekali pada peraturan, Konselor," sahut Rick dengan nada tengil-nya.
"Jack memperbolehkan, kok," ucap Avery.
Justin mengangguk. Ia bergeser untuk memberi tempat bagi Rick dan Avery agar mereka bisa duduk.
"Jadi, nanti ada permainan mencari lambang kelompok," Avery memulai percakapan. "Kalian mau sekelompok dengan kami. Kami kurang 2 orang, nih."
"Permainan apa itu?" tanyaku.
"Konselor, tolong jawab pertanyaan murid baru kita," canda Rick.
Justin memukul kepala Rick dengan bercanda. Ia menatapku dan mulai menjelaskan tentang permainan itu.
Rupanya itu permainan rutin yang dilaksanakan setelah acara makan malam pada hari rabu dan sabtu. Di permainan itu, pekemah boleh memilih anggota kelompoknya selama itu 5 orang. Lalu, setiap kelompok akan membuat lambang dengan nama mereka tercantum untuk diikatkan oleh Pak Jack secara acak. Kami harus bisa mengambil lambang kami dimana lambang itu dijaga oleh makhluk aneh.
"Terdengar seru," ucapku.
Justin memandangku kaget. Isla pun bergidik.
"Seru," ucap Isla. "Tapi amatlah berbahaya. Kami memang tidak boleh saling bunuh antar pekemah tapi kita bisa dibunuh oleh monster."
Aku mengangguk-angguk. Setelah kami selesai makan, anak-anak dari Gluttony membereskan dengan cekatan. Lalu kembali lenyap ke dapur.
Pak Jack melangkah ke podium.
"Anak-anak, lambang-lambang kelompok kalian telah kami pasang secara acak. Dan ada 6 mosnter yang kami lepas tanpa menjaga lambang," jelas Pak Jack.
Semua anak segera berbisik-bisik. Rupanya tingkat kesulitannya dinaikkan.
"Setiap kelompok akan digiring masuk ke hutan dari arah yang berbeda-beda," ucap Pak Jack. "Kami akan memberi kalian kertas berisi lokasi masuk kalian. Dan kalian akan dipastikan tidak bisa berganti lokasi."
Pak Jack menyuruh setiap ketua kelompok untuk mengambil undian.
Karena kata mereka, mereka enggak ada yang hoki, aku disuruh maju. Sejujurnya, aku juga enggak pernah hoki.
Ketua kelompok itu semuanya terlihat percaya diri dan kuat, tidak sepertiku.
Aku menarik secarik kertas dan membawanya ke tempat kelompokku berkumpul.
Suasana pavilliun makan itu menjadi ramai dan dipenuhi seruan dan bisikkan dari setiap kelompok.
"Dimana pintu masuk kita?" tanya Avery.
"Di dekat pondok necromency," jawabku.
"Yes!" Rick tampak menari-nari enggak jelas.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
Avery menjelaskan bahwa jika kita masuk dari dekat pondok necromancy, kita bisa segera di jantung hutan. Biasanya lambang itu disebar di jantung hutan.
"Saya akan memberi waktu 1 jam untuk kalian mengatur strategi dan mengambil peralatan bertarung kalian," ucap Pak Jack.
Aku digiring ke pondok Avery, Pondok Chaos. Rupanya Avery adalah anak tunggal dari Chaos, sehingga pondoknya lapang.
Pondok Chaos berupa rumah serupa benteng yang terbuat dari batuan kasar dan lantai dari kayu. Jendela-jendelanya melengkung dan berjeruji. Undakan di depan pondok terbuat dari batu terjal.
Kami masuk dan disambut ruangan campuran perpustakaan pribadi+ruang bersama. Ada tangga batu sempit menuju ruang tidur di tingkat atas.
"Wah, aku tidak pernah masuk ke pondok Chaos, rupanya kayak gini, ya," ucap Justin.
"Seperti penjara, kalau dilihat dari luar," sahut Rick.
"Rumah paling indah kayaknya rumah para kebajikan dan Necromancy, ya," sambung Isla.
Avery menyingkirkan buku-buku dan gulungan kuno, meletakkannya di rak.
"Hei, aku tidak punya peralatan bertarung," ucapku.
"Oh, iya! Azalea cuma punya senjata," ucap Isla sambil menepuh dahi.
"Dia cuma butuh perisai, kan?" Justin mendongak dari miniatur para dosa besar dan chaos itu sendiri.
"Ambil salah satu di lemari itu," Avery menunjuk lemari di sudut ruangan.
Aku membukanya dan mengambil salah satu perisai yang entah kenapa membuatku tertarik.
Perisai itu berbentuk bulat dengan diameter 50 cm. Terbuat dari logam yang terlihat kokoh dan diukir ukiran aneh.
"Wah, kamu memilih perisai itu?" Rick terpana. "Tidakkah kamu merasa berat?"
Aku menggeleng.
Mereka tampak terkejut dan antusias.
"Itu adalah perisai serupa dengan milik Necromancy," jelas Justin. "Necromancy bilang, perisai ini akan menjadi perisai terkuat bagi orang berhati tulus dan perisai akan terasa amatlah ringan baginya."
Aku hanya bisa tersenyum. Tidak tau harus mengatakan apa.
____________________________________
Aku dan Avery akan berada di barisan depan. Rick dengan tombaknya di barisan tengah, lalu Justin dan Isla dengan panah mereka di barisan belakang.
Kami berjalan menyusuri hutan yang gelap.
Mengerikan.
Groar!
Rupanya sudah ada yang bertarung. Karena aku sudah mendengar denting senjata dan geraman marah monster.
"Monster macam apa yang akan kita temui nanti?" ucap Isla ketakutan.
"Aku tidak tau," Avery menggeleng. "Tapi, kita harus tetap waspada."
"Ibu, tolong selamatkan aku," guman Justin.
"Ayah, lindungi aku," desis Rick.
"Ibu, jika aku sampai tiada tolong masukkan aku ke tempatmu," lanjut Isla.
"Kalian bodoh! Mana mungkin kita, Para Half-Blood akan dimasukkan ke kerajaan orang tua kita," cibir Avery. "Kita akan berakhir di Eternal Paradox, kecuali anak Necromancer dan orang yang dipercayainya."
Isla segera muram. Ia tampak tidak suka dengan kenyataan itu.
Kami melihat bendera lambang kami di dahan tertinggi sebuah pohon. Ada ular kepala tiga yang menjaganya.
"Ular kepala 3?!" Rick melongo.
"Kenapa?" Aku menoleh.
"Itu monster level tinggi yang pernah kemah berikan pada para pekemah," jawab Rick.
Para pekemah lain sudah mengelilingi sambil berterima kasih, bukan merekalah yang bertemu dengan ular kepala 3.
Pak Jack dan guru pekemah sudah menatap kami. Jika kami kesulitan, mereka akan segera membantu.
"Kita mau tidak mau harus mencoba," ucap Avery.
Avery mengangguk.
Isla dan Justin dengan cekatan melompat, lalu memanjat pohon agar bisa memanah dengan leluasa.
Rick sudah siap dengan tombaknya. Aku cuma bisa menciptakan pedang seperti ketika aku melawan hewan setan itu.
Hewan itu menerkam.
Entah kenapa aku tau bahwa yang berbisa adalah kepala yang sedang kuhadapi. Karena itu, aku menebas kepala itu.
Mereka tercekat.
"Kenapa kepalanya tidak tumbuh lagi?" bisik salah satu anak Knowledge.
"Hei! Bisakah kamu memanjat dan mengambil bendera itu?!" seru Rick yang masih menahan kepala ular yang di kiri.
Aku mengangguk dan memilih jalan memutar.
Memanjat cepat dan mengambil bendera. Kelompokku bersorak. Tapi, aku lupa kalau beberapa saat yang lalu hujan, jadi pasti licin.
Aku terpeleset dan terjatuh. Aku dapat melihat 2 kepala ular itu membuka mulutnya, siap menyambutku.
Semuanya panik dan menjerit. Para guru-pun panik.
Sampai ada arwah roh menahan pergerakkanku dan membunuh ular itu.
Aku jatuh terduduk, masih shock.
Mereka menatapku.
Dan arwah itu berubah menjadi lambang tengkorak yang dililit rantai, berpendar hitam keungguan.
"Dia... anak dari..." ucap salah satu pelatih. "Necromancer...?