Rencana awalnya sih hanya dua minggu mereka tinggal di kota Jogjakarta. Namun karena banyaknya client yang berminat dan tertarik untuk berkerjasama, jadi mau tidak mau mereka harus menambah lagi waktu untuk tinggal berdua di kota itu.
Pada minggu ke tiga ini, mereka berhasil menyelesaikan semua urusan dengan para client. Semua pekerjaan yang mereka kerjakan berhasil mereka selesaikan dengan baik, dan nyaris sempurna.
Banyak sekali client yang memuji cara kerja mereka. Arga juga banyak mengamil ilmu yang diberikan oleh Eza padanya.
Beberapa client menginginkan mereka supaya tinggal lebih lama lagi di kota Jogja, terutama bu Astuti, yang memang menaru hati terhadap Eza.
Bu Astuti tertarik tarik dengan semua yang ada pada diri Eza. Mulai dari cara Eza berbicara, sampai Eza ber-presentasi yang membuat wanita itu sangat tertarik padanya.
Persis sama seprti Arga yang jatuh hati dengan pemuda itu, karena terus menerus memperhatikan Eza pada saat pada membingnya. Jatuh hati dengan kelembutan, kedewasaan, dan kesebaran yang di miliki sosok Eza. Itu sebabnya Arga tidak menyukai perilaku bu Astuti terhadap pemuda itu. Ia yakin sekali kalau bu Astuti juga tertarik dengan Eza sama seperti dirinya.
Semantara perilaku Arga terhadap Ezalah, yang membuat Eza juga bersimpati bahkan jatuh cinta padanya.
Ngomong-ngomong Astuti sudah tidak lagi berusaha mendekati Eza setalah menetahui, ternyata ia sudah bertunangan. Meski sempat kecewa, namun pada akhirnya bu Astuti bisa menerima kenyataan pahit itu.
Dan kini hubungan bu Astuti dan Eza murni atas dasar kerjasama sebagai client.
***
Ternyata berbagai macam kesibukan yang lumayan padat, membuat Arga yang memang baru menjalankan pekerjaan baru--belum terbiasa dengan rutinitas nya, akhirnya terjatuh sakit. Arga harus beristirahat selama beberapa hari, tidak melakukan kegiatan apapun, setelah Eza membawanya ke dokter.
Untung saja, semua pekerjaan yang berurusan dengan perusahaan sudah berhasil mereka selesaikan. Jadi mereka bisa lebih santai. Keduanya juga memutuskan menambah waktu tinggal di Jogja selama beberpa hari lagi, sampai Arga benar-benar kembali sehat.
Selama Arga terbaring sakit, semua pekerjaan rumah seperti; mencuci pakain, menyetrika, menyepikan makanan, dan perkerjaan rumah lain yang biasa di lakukan Arga kini di ambil alih oleh Eza.
Lantaran dari kecil Eza tidak pernah sama sekali melakukan pekerjaan semacam itu, sehingga ia terlihat sangat kelelahan pada saat melalukan nya. Keringat sebesar biji jagung, terlihat keluar membasahi sekitar wajah.
"Capek juga ya." Gumam Eza saat dirinya sedang menjemur pakaian, di pekarangan belakang rumah. Menggunakan punggung tangan ia mengusap peluh di bagian pelipisnya. "Baru dua hari aja udah nggak sanggup, gimana kalau berhari-hari." Pemuda itu teridam, memikirkan tentang selama dua hari ini ia melakukan pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh rekan kerja, sekaligus sudah menjadi kekasihnya.
Pemuda itu menghela, membayangkan bagaimana seorang Arga melakukan semua tugas itu, namun sama sekali tidak pernah mengeluh pada padanya. Hal itu membuat hatinya tiba-tiba mendadak terasa nyeri. "Astaga, jahat banget aku ini.
selama ini aku taunya bersih, rapih, tanpa memikirkan bagaimana proses Arga mengerjkan semua ini. Bahkan aku masih sempet protes kalau hasil setrikaanya kurang rapih." Lagi, Eza menghela sebelum akhirnya ia kembali bergumam. "Kebangetan aku ini. Apa yang sudah saya lakukan sama Arga. Bodohnya aku nggak pernah sekalipun membantu Arga. Pantas kalau dia sampai sakit."
"Za.."
Tiba-tiba saja lamunanya membuyar lantaran di kagetkan oleh suara pelan dan terdengar lemah. Suara yang sudah ia kenal--bahkan sangat di kenalnya.
Eza menengok ke arah dari mana suara itu berasal.
"kamu sedang apa?" Tanya Arga. Suaranya terdengar pelan dan lirih. Pemuda itu menyenderkan keplanya pada kusen pintu sambil menahan pusing. "Kamu nggak perlu mengerjakan itu, aku bisa ngerjain nanti kalau aku udah agak mendingan."
Eza buru-buru mengusap airmatanya sebelum ia berjalan mendekat pada Arga yang sedang berdiri lemas di depan pintu.
"Kamu ngapain keluar?" Kata Eza. Kemudian pemuda itu merahi tangan Arga--mekalungkan ke pundaknya, mencoba membimbingnya berjalan kembali kekamar.
"Aku nggak apa-apa. Aku bisa jalan sendiri." Protes Arga.
Namun Eza tidak mempedulikan.
"Aku bosan dua hari di kamar." Keluh Arga. Kondisi pemuda itu memang terlihat sudah lebih baik dari sebelumnya, namun Eza tetap memaksanya supaya tetap istirahat di dalam kamar.
Sesampainya di kamar Eza mengambil bantal menurnya pada kepala dipan--perlahan menyandarkan tubuh Arga di sana.
Ibu jari Eza menyentuh bagian sudut mata Arga. Ia meliahta ada Air mata yang menggenang disana.
"Aku ngerepotin kamu. Harusnya kamu nggak perlu melakukan semua pekerjaan itu. Aku tau kamu nggak biasa. Biar aku aja nanti. Suara Arga terdengar lebih pelan dan berat karna menahan tangisanya. Entahlah, mungkin terlalu berlebihan, tapi Arga merasa bersalah membiarkan Eza mengerjakan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh nya. Atau mungkin karena sedang sakit, sehingga membuat hatinya menjadi nelangsa.
"Kamu banyak ngomong. Sakit ya istirahat saja di sini." Sambil telapak tangan Eza megusap air yang mengalir di pipi Arga.
Setelah itu Eza pergi menuju dapur, dan sebentar kemudian kembali lagi dengan membawa kotak berisi bubur ayam yang sudah ia pesan tadi pagi.
***
"Udah, aku udah kenyang." kata Arga menahan pergelangan Eza yang akan menyuapi dirinya.
"sekali lagi habis itu minum obat."
Dengan terpaksa Arga menerima suapan terhair dari Eza, lalu mengunyahnya dengan malas. Pusing yang tak kunjung hilang membuat selera makanya berkurang. Padahal bubur di tangan Eza masih tersisa banyak.
Meletakan kotak bubur tersebut, kemudian Eza mengambil obat-obatan di atas meja. Setelah membuka beberapa butir obat, pemuda itu memberikanya kepada Arga--sesuai resep dari dokter.
Arga menelan sekaligus beberpa butir obat tersebut. Sedangkan Eza dengan gesit membantunya memberikan segelas air kepada pemuda itu.
"Pelan-pelan" suara Eza terdengar lembut. "jangan kemana-mana sebelum kamu benar-benar sembuh" sambil menarik selimut yang ada di dekatnya, lalu ia menutupi tubuh Arga sampai di bagian dada. "Aku ke belakang dulu, belum beres soalnya, ingat istirahat dan janagan keluar kamar," tegas Eza berpesan.
Setelah mengatakan itu Eza berjalan melangkah ke luar kamar--melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
"Za..."
Langkah cowok itu terhenti di amabang pintu kamar, saat telinganya mendengar Arga memanggil dirinya.
"Apa?"
"Makasih." Bibirnya tersenyum lesu, matanya menatap nya teduh.
Eza hanya menjawab dengan senyuman simpul, sambil mengdipkan sebelah matanya. Ia kembali memutar tubuh, melanjutkan perjalanan nya. Namun..
"Eza...!"
Panggilan dari Arga memaksanya kembali berhenti, lalu memutar tubuh. "Apa lagi?" Tanya nya.
"Kamu lupa ya?" Ucap Arga sambil. Mengunakan ujung jemarinya, Arga menyentuh bibirnya sendiri.
Paham dengan maksud pemuda itu, Eza tersenyum nyengir, lalu kembali berjalan mendekati Arga.
Di tepi tempat tidur, Eza membungkukan badan mensejajarkan wajahnya dengan wajah Arga. Kemudian cowok itu mendekatkan mulutnya ke bibir Arga, lalu cup, Eza mendaratkan ciumannya di sana, hingga beberapa detik.
"Aku sayang sama kamu." Aku Arga setelah ciuman itu usai.
"Aku juga." Balas Eza. "Udah yah..."
Eza kembali berjalan ke arah pintu, setelah melihat kepala Arga mengangguk. Sedangkan Arga menatap punggungnya sambil tersenyum simpul.
Obat dari dokter membuat efek kantuk, hingga Arga tidak tahan membuka matanya. Hingga akhirnya, cowok itu terlelap tidur.
Sementara di dapur Eza terlihat asik memberesakan pekerjaanya tanpa ada keluhan lagi. Pemuda itu tampak senang dan menikmati kegiatanya pagi ini. Hampir melupakan status nya yang sudah bertunangan.
Tbc