Setelah dua hari Arga terbaring lemah, kini kondisinya sudah membaik. Dengan sangat sabar dan telaten Eza merawatnya, menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan, tanpa ada keluhan sedikitpun.
Karena kondisi Arga yang sudah sehat seperti sediakala, mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke tempat wisata yang ada di kota Jogja, sekaligus membeli beberapa oleh-oleh, untuk mereka bawa pulang.
Mengingat mereka tidak punya banyak waktu lagi, jadi mereka cuma bisa mendatangi satu tempat wisata yang sekaligus menyediakan berbagai macam oleh-oleh khas kota Jogjakarta.
Keduanya memutuskan untuk pergi ke mallioboro malam ini, sekedar merefreesh-otak, mengambil gambar atau berfoto, untuk di jadikan kenang- kenangan, sekaligus berburu oleh-oleh.
Ngomong-ngomong Arga dan Eza juga memutuskan untuk tidak lagi memanggil dengan sebutan sayang. Mencoba membiasakan dengan panggilan biasa, untuk antisipasi supaya tidak nanti keceplosan.
Menurut mereka, panggilan biasa akan membuat hubungan mereka menjadi aman, tanpa khawatir ada seorangpun yang curiga.
Bagi mereka, rasa sayang tidak cukup hanya dengan sebutan. Tapi dengan perbuatan, seperti; perhatian, saling percaya, dan tidak menyakiti satu sama lain. Rasanya itu juga sudah sangat mewakili rasa sayang yang tidak harus di ucapkan.
"Biar aku saja yang bawa motornya kamu yang aku bonceng." Ucap Eza sambil berjalan menuju ke pintu keluar.
Setelah mengunci pintu, keduanya menuju tempat penyimpanan motor, yang sudah disediakan oleh pihak pemilik rumah sewa.
Eza mendorong motor keluar dari parkiran, sementara Arga berdiri menunggunya di luar parkir. Tidak menunggu lama, Arga langsung menaiki motor, duduk di belakang Eza yang sudah siap untuk memboncengnya.
"Pegangan yang erat," pesan Eza sebelum akhirnya pemuda itu menyalakan stater, menjalankan motor perlahan, keluar dari pelataran rumah sewa.
Sesuai pesan, kedua tangan Arga melingkar di bagian pinggang Eza, memeluknya erat.
Dengan sangat hati-hati Eza menjalankan sepeda motor, melewati jalan kota.
Pelukan Arga semakin erat, setelah pemuda itu meraskan udara dingin yang menerpa tubuhnya. Meski sudah memakai switer yang tebal, namun tidak bisa sepenuhnya melindungi tubuh mereka dari dingingannya angin yang berhembus kencang. Namun pelukan Arga setidaknya bisa mengurangi hawa dingin yang mereka rasakan di atas motor oleh terpaan angin.
Selama perjalan keduanya tidak banyak bicara atau mengobrol. Lagi pula akan sia-sia. Kendaran yang berlalu lalang, suara klakson yang bersahut-sahutan terdengar sangat bising.
Keduanya lebih memilih diam, dan merasakan hangat yang dihasilkan dari pelukan Arga.
Secara kebetulan, jarak rumah sewa menuju mallioboro tidaklah terlalu jauh. Hanya butuh waktu beberpa menit saja keduanya sudah sampai pada tempat tujuan.
Setelah menemukan lokasi parkir yang tepat, keduanya jalan beriringan di sepanjang Jalan mallioboro. Toko demi toko mereka masuki, mencari sesuatu yang pas untuk di jadikan oleh-oleh. Sesekali keduanya menggambil gambar, ber-foto selfie berdua jika menemukan lokasi yang menurutnya unik.
Tidak berapa lama, kedua tangan meraka sudah menenteng banyak kantong plastik berisi belanjaan masing-masing.
"Za," panggil Arga ketika keduanya baru saja keluar dari toko pakain batik. "Laper ni, makan yuk." Keluhnya.
"Yuk, ikut aku."
"kemana...?"
Mengabaikan pertanyaan pemuda itu, Eza melenggang, menyusuri emperan toko--berdesakan dengan pengunjung yang berlalu-lalang.
Arga mendengkus sebelum akhirnya ia mengekor di belakang Eza. Padatnya para wisata lain, membut Arga sempat kehilangan punggung yang sejak tadi ia amati. Pemuda itu harus menambah kecepatan langkah, menerobos pejalan kaki lain agar bisa mengimbangi langkah kaki pemuda kesayangannya.
Setelah beberapa meter berjalan, akhirnya mereka sampai pada tempat yang ternyata sudah Eza pesan sebelumnya. Restoran yang tidak terlalu mewah, tapi memiliki desain yang sangat unik.
Mulai dari interior bangunan, tempat duduk, serta beberapa hiasan klasik.
Yang membuat restoran ini nyaman dan terasa asri adalah, suara musik gending atau gamelan khas jawa selalu mengalun indah tanpa henti di sepanjang waktu, sampai restoran tersebut tutup. Para pengunjung semakin betah untuk berlama-lama di restoran itu.
"Selamat malam mas ada yang bisa saya bantu?" sapa ramah salah satu pelayan wanita--memakai pakaian khas adat. Meski menggunakan bahasa Indonesia, tapi logat jawanya sangat kentara.
"Saya udah pesen meja atas nama Reza Ramadhan," jawab Eza.
"Oh, iya... mas mari ikut saya." kata mbak pelayan tersebut--setelahnya, ia melangkah ke meja yang sudah disiapkan, di ikuti oleh dua pemuda tampan di belakangnya.
Setelah sampai pada tempat yang sudah di pesan, yaitu tempat makan yang hanya terdiri dari dua kursi--saling berhadapan terhalang oleh meja ukir. Tempat itu berada paling ujung dengan nuansa outdoor. Yang membuat tempat itu terlihat sejuk lantaran berdekatan dengan kolam ikan dan ada air mancur yang sudah di rancang khusu oleh pihak pemilik restoran. Sangat romantis untuk makan malam berdua.
"Mau makan apa Ga?" kata Eza sambil membuka buku menu yang diberikan oleh pelayan restoran tadi.
"Disamakan aja," sahut Arga.
selesai mencatat beberapa menu makan dan minuman--untuk dua porsi, Eza memberikan catatan tersbut pada pelayan yang sejak tadi berdiri menunggu di samping mereka.
Pelayan wanita itu pergi meninggalkan mereka setelah membaca ulang pesanan yang dicatat oleh Eza--supaya tidak terjadi kesalahan.
Setelah mengedarkan pandangan di sekitar ia duduk, Arga mengulas senyum. Pemuda itu mendesis--tertawa singkat sambil menatap pemuda di seberang meja.
Sadar sedang diperhatikan tidak biasa, rona wajah Eza bersemu merah. "Kamu kenapa?" Pemuda itu mencoba menghentikan tatapan yang membuat hatinya bergejolak, bahagia.
Arga membungkukan badan, mendekatkan wajahnya dengan pemuda itu. Kemudian ia berbicara dengan suara setengah berbisik. "Aku nggak nyangka, kamu romantis juga ya. Kayaknya, kamu sengaja nyiapin ini buat makan malam kita. Aku nggak mau tau, pokoknya... kamu harus tanggung jawab kalu nanti aku jadi tambah sayang sama kamu."
Setelah menyampaikan itu Arga menjauhkan kembali tubuhnya, menyandar pada sandaran kursi. Senyumnya masih menyeringai, tatapan mata tidak berpaling dari wajah Eza.
Eza tersenyum nyengir menanggapi gombalan pemuda di hadapannya. "Oh iya, aku punya sesuatu buat kita." Ia mengambil paper bag ukuran paling kecil dibanding yang lainnya. Dari dalam paper bag itu, Eza mengeluarkan kotak kecil berwarna hitam. Kemudian ia mengulurkan benda itu, kepada pemuda dihadapannya. "Jangan liat bentuk nya ya. Ini cuma kenang-kenangan. Anggep aja ini bentuk kalau aku beneran sayang sama kamu."
"Apa itu?" Arga tersenyum sambil membolak-balikkan benda tersebut.
"Buka aja."
Masih dengan senyum yang menghias, Arga membuka kotak tersebut. Bola matanya melebar, senyumnya mengembang begitu melihat ada dua cincin perak khas kota Jogja bersangkar di dalam kotak tersebut. Kepalanya menggelang heran melihat huru A dan E menghiasi ring cincin tersebut.
Masih dengan senyum menyeringai, jemari kelar itu mengeluarkan dua cincin tersebut dari dalam sangkarnya.
"Apa ini artinya kamu lagi ngelamar aku?" Arga mengangkat kedua alisnya, menatap Eza. "Kayak yang di sinetron-sinteron itu." Godanya.
"Ngawur..." sahut Eza cepat.
Arga terkekeh. Setelahnya ia memberikan cincin dengan simbol huruf A kepada Eza, sedangkan ia sendiri menyematkan cincin dengan huruf E di jari manisnya.
Kening Eza berkerut menerima cincin dengan huruf A. "Kenapa kamu pilih yang itu? Bukanya harus nya ini."
"Karena aku ingin orang yang namanya di awalai dengan huruf E ini selalu berada dimana pun aku ada." Jawab Arga, tanpa melihat ke arah yang bertanya. Masih dengan bibir yang terus tersenyum, manik matanya terus melihat cincin yang melingkar di jari manisnya.
Kata-kata simple, yang baru saja Arga ucapkan tadi membuat bibir Eza tersenyum bahagia. Namun tiba-tiba senyumnya memudar, hatinya membeku seperti di siram air ES. Kalimat itu mampu mebuatnya tersentuh, tapi juga membuatnya gelisah.
Mungkinkah, ia bisa terus dekat bersama dengan pemuda ini. Pemuda yang hanya dalam hitungan minggu, membuat ia benar-benar merasa ada. Mungkin terlalu singkat, tapi tidak bisa dipungkiri kalau pemuda itu membuatnya merasa nyaman. Lalu bagaimana dengan statusnya yang sudah bertunangan?
Eza tertegun. Melihat senyum pemuda itu, ia menjadi takut suatu saat senyum itu juga akan memudar.
"Selamat malam mas, pesanan sudah tiba."
Suara seorang pelayanan membayarkan lamunan Eza.
***
"Capek." Kelu Eza sambil menghamburkan tubuhnya di atas kasur.
"Kamu nggak mandi?" Tanya Arga. Ia baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengibas-ibaskan rambut suapaya kering, menggunakan handuk yang melingkari pundaknya.
"Dingin gini kamu mandi?" Eza balik bertanya.
"Enggak, cuma bersih-bersi aja basain rambut, biar seger."
Eza mengerang, menggeliat menghilangkan rasa letihnya. "Yaudah, aku mau cuci muka juga." Pemuda itu beranjak dari atas kasur, lalu meluncur ka arah kamar mandi.
"Air hangatnya masih di atas kompor. Udah aku siapin tinggal di ambil aja." Arga berteriak.
Dari arah dapur, Eza menjawabnya dengan terikan. "Ya!"
Arga mendudukkan pantatnya pada sisi ranjang, setelah menggeliat pemuda itu berbaring di atas tempat tidur. Hanya dalam hitungan menit, terlihat Eza sudah kembali lagi ke dalam kamar dengan kondisi yang lebih segar dari sebelumnya.
"Capek juga ya?" kata Eza sambil tanganya memijit bagian punggungnya sendiri.
"Mau aku pijit?"
"Nggak usah, kamu juga capek." Tolak Eza. "Tidur aja." Sambil menghamburkan tubuhnya di samping Arga.
"Kamu udah ngantuk?"
"Belum sih, tapi masih kerasa capeknya."
Arga tersenyum simpul, menoleh pada pemuda yang menatap langit-langit kamar. "Za.." panggilnya kemudian.
"Hem." Eza menoleh. "Apa?"
"Nggak kerasa, lusa kita uda nggak di sini lagi, rasanya baru kemaren dateng ke Jogja. Udah hampir sebulan aja." Suara berat Arga terdengar pelan.
Eza hanya teridam, larut dengan bayangan-bayangan semu yang mungkin saja akan terjadi setelah ini. Ia juga baru menyadari, waktu terasa sangat cepat.
"-nggak tau kenapa, aku kayak nggak pengen pulang. Aku pengen tetep di rumah ini aja."
Eza masih pada posisinya. Membisu, namun menyimak tiap-tiap kalimat yang terdengar tulus dari mulut Arga.
"-rumah ini akan banyak nyimpen kenangan tentang kita. Rumah ini adalah saksi bisu, awal dari perjalanan kita. Tiap sudut di ruangan ini mempunyai cerita berbeda tentang kita, semua berkesan dan akan sulit aku lupakan__" pada ujung kalimat, nada suara Arga tersendat. Tenggorokannya seperti tercekat oleh kenyataan.
Mencoba tidak ingin larut terbawa suasana, keduanya meruba posisi tidur. Saling memunggungi.
Susana malam jadi terasa hening, saat mereka memutuskan untuk berdiam, larut dalam pikiran dan rasa yang sama.
Rasanya begitu berat meninggalkan kenangan indah itu di rumah sewa. Rumah yang menjadi saksi bisu awal dari asmara mereka terjalin. Rumah yang sudah menumbuhkan sebuah rasa yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Tbc