Aku hanya dapat tertegun diam setelah membaca catatan milik ayahku, setelah membaca seluruh catatannya ini, ada satu hal yang pasti, bahwa aku tidak akan pernah lagi dapat menemuinya, bahkan aku tidak dapat mendatangi kuburannya, karena melalui proses penyerahan jiwa, seluruh eksistensi hidup seorang manusia direduksi menjadi sebuah energi sihir yang dipadatkan.
Perasaan yang aku rasakan sekarang ini benar-benar tidak dapat aku jelaskan, aku jelas menangisi kepergian ayahku, rasa perih yang muncul di dalam dadaku benar-benar diluar dari apa yang pernah aku alami, berkali-kali aku menghantam dan memukul lantai kayu kuil ini, sambil meneriakkan kenapa? Kenapa ini semua harus terjadi? Tidakkah ada jalan lain untuk ini? Kenapa ayah herus pergi? Tidakkan kita bisa menjadi satu keluarga lagi? Seperti saat itu lagi, kembali ke Hutan Niri, saat semuanya masih baik-baik saja.
Tidak ada kata-kata yang dapat menenangkanku sekarang, Keina berusaha untuk menenangkanku dengan memelukku erat, namun, rasanya sudah hampa, dunia ini seperti tidak ada artinya lagi, yang ada hanya keinginan untuk membakar semuanya, menghancurkan dunia yang telah merenggut kedua orangtuaku dariku. Entahlah… rasa amarah ini datang darimana, aku juga tidak tahu, aku hanya ingin untuk satu kali saja, bertemu dengan mereka lagi.
Aku mengambil lagi Batu Jiwa yang sudah aku jatuhkan tadi, batunya sudah terlempar cukup jauh karena amukanku, di dalam batu putih kecil ini, terdapat esensi terakhir dari kehidupan ayahku, jika aku menggunakannya, sama artinya dengan aku menghapus eksistensi ayahku sepenuhnya dari dunia ini.
Aku… jelas tidak ingin melakukan itu. Namun, menggunakan Batu Jiwa ini adalah satu-satunya cara bagiku untuk menemui ibuku di langit sana. Tanganku terus bergetar membayangkan bahwa aku harus menggunakan Batu Jiwa ini.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu memantapkan hatiku. Untuk menggunakan Batu Jiwa ini, dan mengakses Singgasana Agung, menyusul ibuku ke atas sana, dan jika aku bisa menemui ibuku, aku juga bisa menemui sumber dari semua penderitaan yang menyebar di Serendrum ini, Dewi yang menaungi malam, sumber dari penderitaan.
Lentira.
"Bagaimana-" Mulutku tercekat, tidak dapat menanyakan tentang cara untuk menggunakan Batu Jiwa ini, meskipun aku sudah meyakinkan diriku sendiri kalau aku sudah siap, namun, sepertinya tubuhku masih belum sepenuhnya memiliki pendapat yang sama.
Tanganku juga masih bergetar, aku rasanya menggunakan seluruh tenaga tubuhku hanya untuk menggenggam Batu Jiwa ini.
"Bagaimana caranya-" Lagi-lagi ucapanku terhenti, rasanya ada yang mencekik leherku, aku benar-benar berantakan.
Keina tiba-tiba menggenggam tanganku, ia lalu membantu menutupnya dengan perlahan. Kepalanya kemudian menengadah ke arahku, menatap mataku dalam, wajahnya masih terlihat datar.
Dia sepertinya memahami apa yang aku ingin tanyakan, aku mengangguk kepadanya, menandakan bahwa diriku siap untuk melakukan ini.
Tangan Keina mengeluarkan cahaya kuning keemasan, aku dapat merasakannya, kekuatan sihir Keina mengalir dan membungkus tanganku. Batu Jiwa yang aku genggam mulai bergetar dan bergetar semakin hebat, Keina menggenggam lebih kuat lagi tanganku.
Aku juga mulai mengalirkan energi sihirku ke telapak tanganku, getaran dari Batu Jiwa mulai menjadi semakin sulit untuk dikendalikan, kedua tangan kami sekarang bergerak kesana kemari, menahan Batu Jiwa ini agar tetap berada dalam genggaman tanganku.
Batu Jiwa ini akhirnya meledak dalam genggaman tanganku, membuka paksa genggaman yang sudah kami pertahankan sedari tadi. Serpihan batunya terlempar ke segala penjuru kuil, dan di telapak tanganku sekarang, terdapat sebuah bola cahaya kecil berwarna putih.
Dari bola cahaya kecil itu muncul energi sihir berbentuk seperti surai-surai benang, perlahan surai energi sihir ini mulai mengelilingiku, mereka berdansa dan kemudian menyelimuti seluruh tubuhku.
Energi-energi sihir milik ayahku mulai terjalin dan bercampur dengan energi sihirku, memoar-memoar kehidupan ayahku juga tiba-tiba muncul di depan mataku.
Tentang dirinya yang memulai perjalanannya sebagai seorang petualang, tentang bagaimana ia bisa menemui orang-orang hebat dalam perjalanannya, tentang bagaimana ia memiliki hati yang begitu lembut, tentang pertemuan pertama mereka dengan ibuku, tentang hari-hari kami bersama di dalam Hutan Niri, tentang kepergian mereka, dan tentang ingatan terakhirnya sebelum melakukan penyerahan jiwa.
Wajah ibuku terlihat sangat menyedihkan waktu itu, ibuku hanya dapat mengenggam kedua tangan ayahku erat, sembari menangis sesenggukkan, kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak beraturan, dan kata-kata terakhir ayahku kepadanya.
"Sampaikan salamku pada Aira," Sebelum akhirnya sosok ibuku menghilang dan semuanya menjadi gelap gulita. Meskipun akhir hayat ayahku tidaklah mengesankan, namun, aku dapat merasakan perasaan lega yang muncul disaat-saat terakhir ia menghembuskan nafasnya. Perasaan lega yang datang dari menyadari bahwa pada saat-saat terakhir hidupnya, ia masih bersama dengan istirnya yang begitu ia cintai, dan membayangkan kehidupan damai yang akan aku lewati di masa depan.
Maafkan aku ayah, kehidupan damai nan menyenangkan yang dirimu bayangkan itu, masih jauh dari jangkauan, namun, tenang saja, jika Lentira hilang dari Serendrum, semuanya akan berakhir.
Keina melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku, kesadaranku kembali ke kenyataan, ia lalu menuntunku masuk ke dalam kuil, kali ini aku dapat menembus penghalang magis yang ada di pintu kuil.
Bentukan di dalam kuil ini benar-benar menarik, ada banyak benda-benda tersebar di setiap penjuru kuil, terdapat kalung-kalung, cincin, beberapa pedang dan tombak, serta surat-surat yang tertata rapi pada sebuah rak besar.
Ditengah-tengah kuil ini terdapat sebuah pahatan kayu, membentuk seorang perempuan mengenakan gaun panjang yang menunjukkan bahu penggunanya, lalu dibelakang patung itu terpahat sebuah ornamen bulat besar yang mengikuti bentuk matahari.
Lentera.
Keina mengarahkanku untuk berdiri ditengah-tengah ruangan kuil ini, lalu, untuk duduk di tempat aku berdiri nantinya. Aku mengikuti perintahnya dan akhirnya duduk di tempat yang sudah ia tunjuk, sebentar, ini pertama kalinya aku menyadari lantai kayu di dalam kuil ini ternyata berbeda dengan yang ada di bagian luar kuil.
Di lantai kuil ini, terdapat goresan-goresan yang membentuk lambang-lambang magis, dan lambang-lambang itu terus memutar dan mengitari lantai kuil ini.
Jangan-jangan? Ini yang disebut Albert sebagai kunci ke Singgasana Agung? Aku sekarang sedang duduk ditengah-tengah sebuah lingkaran sihir besar.
Keina berjalan mundur hingga dirinya berada di depan pintu kuil. Ia lalu menunjukkan gestur tubuh untuk menempelkan kedua tanganku ke lantai kuil, kemudian menyalurkan energiku ke lantainya.
Aku mengikuti arahannya dan mengalirkan energi sihirku ke lantai, sebuah pemandangan indah kemudian muncul di depan mataku, lantai kayu yang terlihat biasa ini kemudian menyala dengan warna kuning keemasan dengan terang, sama seperti saat energi sihirku menyentuh salah satu pohon yang ada di perbatasan Hutan Niri.
Aku dapat melihat energi sihirku mulai menyebar, lambang-lambang magis kemudian mulai menyala berwarna kuning dan mengambang di udara, hingga akhirnya semua lambang yang mengambang membentuk sebuah lingkaran sihir sempurna.
Keina melambaikan tangannya di kejauhan, aku membalas lambaian tangannya, kali ini wajah Keina terlihat sedikit sedih, aku melemparkan senyum kepadanya, sebagai tanda terima kasihku kepadanya.
Lingkaran sihir yang ada di atas kepalaku mulai turun dan melewati tubuhku. Sesaat setelahnya aku tiba-tiba saja berada di sebuah ruangan besar, pilar-pilar tinggi berada di sisi kiri dan kananku, aku tidak lagi duduk di atas kayu, digantikan dengan sebuah karpet besar berwarna merah.
Sesuatu mengeluarkan kedipan cahaya berwarana kuning di kejauhan, karena ruangannya yang besar dan minimnya sumber cahaya, aku tidak dapat melihat dengan jelas sumber dari cahaya tersebut. Kedipan cahaya itu mirip seperti ritme jantung seorang manusia, aku melangkah maju untuk melihat lebih jelas sumber dari cahaya tersebut.
Lorong gelap ruangan ini rasanya panjang sekali, keheningan yang menyertainya juga membuatku sangat tidak nyaman berada disini, mau tidak mau aku harus tetap melangkah maju, mungkin sosok ibuku berada di ujung cahaya yang aku datangi ini.
Kedipan cahaya tersebut mulai membentuk sesuatu, sebuah singgasana besar terlihat dari tempat aku berdiri, aku dapat melihat simbol matahari yang muncul setiap kali cahaya berwarna kuning itu berkedip, aku lantas melanjutkan langkahku.
Sumber dari kedipan cahaya itu mulai terlihat, sosok seorang perempuan yang sedang duduk lemas, di singgasana yang terlihat terlalu besar baginya.
Pada tiap kedipan cahayanya, sosoknya menjadi semakin jelas dimataku, matanya yang berwarna hijau, senyumnya yang lembut itu, wajahnya yang tirus dan cantik.
"Ibu!!" Teriakku lantang sembari berlari menaiki tangga-tangga besar menuju singgasana.
Ibuku terlihat mengenakan pakaian yang sama dengan gaun yang digunakan oleh patung pahatan yang ada di kuil, sosok ibuku jadi terlihat lebih anggun dan juga agung.
Aku kini sudah berada tepat di depan ibuku, wujudnya menjadi jauh lebih besar, mungkin lebih besar empat kali dari manusia biasanya? Aku kembali memanggil ibuku dari bawah sini, namun, sosoknya tidak bergeming, melihatku saja tidak.
Aku menggerak-gerakkan kakinya, sekali lagi usahaku tidak menghasilkan apapun. Tubuhnya masih mengeluarkan kedipan cahaya, namun, setelah melihatnya dari dekat seperti ini, jika dibandingkan dengan detak jantung manusia, kedipan cahayanya terlihat lemah.
Tubuhku tiba-tiba terasa seperti ditarik menjauh dari singgasananya, lalu dunia disekitarku seperti berputar dan kemudian berhenti di suatu tempat lain.
Kepalaku masih pusing saat aku menyadari bahwa aku sekarang sedang berada di sebuah padang rumput, aku bahkan memuntahkan isi perutku di antara rerumputan yang aku pijak ini.
Suara gesekan rerumputan terdengar mendekatiku, aku masih terengah-engah setelah memuntahkan apa yang tersisa dalam diriku. Jari-jari mungil dapat aku rasakan membelai rambutku dengan lembut, sebuah telapak tangan lalu menepuk-nepuk pundakku dengan sabar.
Suara yang aku rindukan terdengar dari sisi kanan tubuhku, tidak salah lagi, caranya menenangkanku, caranya menepuk-nepuk bahuku, dan suaranya yang khas itu.
"Ibu!" Teriakku sembari membuka tanganku dan mencoba untuk memeluknya. Namun, tanganku langsung menembus tubuh ibuku, aku mencoba untuk menggapai tangannya, dan lagi-lagi aku tidak dapat menyentuhnya.
Ibuku hanya tersenyum kecil, melihatku kebingunan seperti ini, kami terdiam sejenak beberapa saat, sebelum akhirnya ibuku membuka percakapan.
"Sudah lama ya," Ucapnya dengan nada lirih, mendengar perkataan itu, tangisku langsung pecah. Melihat sosok ibuku setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengannya lagi, bisa berbicara dengannya lagi dan mendengar suaranya lagi, rasanya aku bahkan bisa berada disini adalah sebuah keajaiban.
Aku bahkan tidak tahu bahwa aku masih memiliki air mata untuk menangis. Setelah hari-hari berat yang aku lalui, hal-hal mengerikan yang telah aku lakukan, serta kehilangan orang yang aku sayang, aku kira aku sudah tidak dapat lagi mengeluarkan air mata, tetapi, disinilah aku, air mataku membanjiri tanah berwarna coklat yang ada di sekitarku.
Ibuku mulai berbicara tentang apa yang telah terjadi kepada dirinya setelah ia mencapai ke Singgasana Agung. Dirinya langsung disambut oleh Lentira, seakan-akan Dewi Malam itu telah menunggu kedatangannya.
Lentira langsung membuat ibuku memilih dua pilihan, untuk melawan-Nya atau mengisi singgasana yang baru saja kosong di ruangan itu. Jika ibuku memutuskan untuk melawan Lentira, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi.
Kalau ibuku memenangi pertarungan itu, Singgasana Agung Dewi Bulan akan kosong, alhasil menciptakan dunia tanpa adanya malam hari, begitu juga sebaliknya, jika ibuku kalah, maka Serendrum akan memasuki fase Malam Abadi hingga pembawa cahaya berikutnya duduk di Singgasana Agung.
Ibuku sudah mengetahui tentang Aturan Ilahi itu, dan dirinya memutuskan untuk mengisi kekosongan Singgasana Agung dari Lentera. Meskipun ibuku yakin pada saat itu ia memiliki kekuatan dan pengetahuan sihir yang cukup untuk melawan Lentira, namun, jika ia memang benar-benar berhasil, maka kekuatan sihir kreasi milik Lentira akan turun ke Serendrum dan mulai mencari orang yang layak untuk memegang kuasa-Nya.
Aku mendengarkan kisah ibuku dengan seksama, meskipun aku masih tidak dapat sepenuhnya memahami apa yang terjadi, namun, aku mengerti inti-inti dari cerita yang ia ceritakan kepadaku.
Lantas untuk menaiki takhta menjadi seorang Dewi, ibuku melepaskan eksistensinya dengan dunia yang Fana, dan meningkatkan dirinya menjadi sebuah entitas yang berada di atas dunia.
Aku mengangguk seakan-akan paham akan maksud dari perkataannya barusan. Ibuku menatapku sedih, ia sekali lagi membelai rambutku dengan lembut, lalu berkata.
"Aira sayang… itu artinya ibu tidak bisa lagi kembali ke Serendrum, ibu sudah menjadi seorang Dewi, sekarang tanggung jawab ibu adalah menjaga keseimbangan yang ada di dunia ini, meskipun energi sihir ibu akan terus menerus berkurang, dan suatu saat ibu akan menghilang," Menghilang? Tidak, aku tidak mau itu! aku mau kita bersama lagi, aku ingin kita hidup seperti dulu lagi, aku… hanya ingin punya orang tua lagi.
Kekosongan yang ada di dalam hatiku ini tidak dapat diisi dengan teman-teman yang mengelilingiku, Bara dan Fana memanglah sudah seperti keluarga, namun, ibuku hanyalah satu, begitu juga dengan ayahku.
Mereka adalah dua sosok yang tidak akan pernah dapat tergantikan dalam hidupku, dan sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa ibuku akan perlahan-lahan mati di Singgasana Agung itu? Dan semuanya demi apa? Demi kelangsungan Serendrum? Demi diriku? Memangnya kalian tahu apa dengan yang aku inginkan? Persetan dengan dunia, jika dunia harus hancur jika aku bisa bersama dengan kedua orangtuaku, maka biarkan aku hancur bersama dunia itu.
Aku tahu ibuku dapat mendengar pikiranku ini, meskipun begitu, ia masih menunjukkan senyum lembutnya itu, dan tidak sedikitpun mengatakan bahwa perasaan yang aku miliki ini adalah perasaan yang salah.
Meskipun ibuku tidak mengatakan satu patah kata pun, aku merasakan sebuah perasaan aman dan tenang setiap kali berada di sisinya. Saat ini, aku hanya menginginkan waktu untuk berhenti, membiarkan kami berdua untuk menikmati momen pertemuan kembali ini, untuk selamanya.
Keadaan kembali hening, aku lalu menatap wajah ibuku dengan mata yang masih bengkak dan berair ini, entah kenapa rasanya sudah lama sekali semenjak aku bisa sebebas dan setenang ini bersama seseorang, ibuku masih menatapku lembut, ia lalu memetik salah satu bunga yang ada di dekat kami dan menyerahkannya kepadaku.
Sebuah bunga berwarna biru dengan kelopak-kelopak yang tertata indah, aku lalu tertawa kecil saat mengingat kalau dulu ibuku juga sering membiarkanku bermain dengan bunga-bunga yang ada di sekitar rumah kami.
Mungkin itu juga alasan ibuku untuk memilih padang rumput yang besar ini sebagai tempat pertemuan kita kembali. Lantas dengan begitu, aku dan ibuku mulai menceritakan kenangan-kenangan tentang kehidupan yang pernah kami lalui pada saat masih berada di dalam Hutan Niri.
Aku kadang tertawa kecil saat ibuku menceritakan tingkah-tingkah anehku semasa aku kecil, dan ibuku juga tersenyum saat aku mengingatkannya tentang masakan-masakan aneh yang dulu pernah ia buat.
"Aira, Ibu tahu kalau kehidupan di bawah sana tidaklah indah, tapi, kamu sudah menemui orang-orang yang menarik bukan? Kamu juga sudah mengalami kesalahan besar pertamamu, dan ibu yakin kamu sudah belajar dari kesalahan itu," Nada bicaranya ini, adalah nada bicara yang menandakan bahwa sebentar lagi pertemuan kita akan berakhir, aku tidak mau, aku ingin terus berada disini, untuk terus berada di sisi ibuku, untuk terus bersamanya.
"Kedepannya kamu masih akan menemui banyak rintangan, ibu yakin kamu dapat melalui semuanya, pesan ibu hanya satu, jalani hidupmu dengan kebahagiaan, buatlah memori-memori baru bersama dengan teman-temanmu. Dan oh ya, ayah memberi salam kepadamu, ibu hampir lupa," Ibuku mengatakan seluruh kalimat itu tanpa ada satupun beban terpancar dari wajahnya, sifatnya yang seperti inilah yang terus membuatku nyaman berada di dekatnya.
Sebuah lingkaran sihir muncul di depan mataku, aku mengenali lingkaran sihir ini. Ibuku sepertinya sudah siap untuk mengirimku kembali ke Serendrum, ia melepaskan tangannya dariku, aku mencoba untuk meraihnya, namun, tanganku masih menembus dirinya seperti sebelumnya.
"Ibu akan terus melihatmu dari atas sini, jaga dirimu baik-baik ya," Ucapnya sembari melambai-lambaikan tangan kepada diriku.
Maafkan aku ibu, namun, aku tidak dapat membiarkan perjalananku berhenti disini. Lingkaran sihir itu mulai mendekatiku, aku lalu memanggil Baratum, dan sesaat sebelum lingkaran sihir itu mengenai tubuhku, aku mengalirkan energi cahaya ke Baratum dan menghempaskannya ke lingkaran sihir itu.
Lingkaran sihir itu pecah tidak beraturan, simbol-simbol dan lambang magis langsung berhamburan ke segala penjuru padang rumput ini. Ibuku terkejut melihatku menghancurkan lingkaran sihir yang telah dibuatnya, namun, terdapat senyum kecil yang muncul di wajah cantiknya.
Sebuah lingkaran sihir lainnya muncul di depanku, diriku langsung refleks melompat maju dan mengayunkan Baratum ke arah lingkaran sihir baru itu, namun, seranganku terhenti, sesuatu menghalangi Baratum untuk mencapai lingkaran sihir ini. Aku melepas Baratum dan melompat mundur, sesuatu keluar dari lingkaran sihir itu.
Seorang perempuan, sosoknya mirip seperti… ibuku? Sebentar, sosoknya juga mirip seperti diriku, rasanya seperti menatap diri sendiri di depan kaca.
"Haah, sudah aku kira akan jadi seperti ini," Sosok itu berbicara, apakah dirinya adalah bentuk manifestasi lain dari ibuku?
Sosoknya itu kemudian membungkuk dan memberikan gestur seperti sedang memperkenalkan diri.
"Namaku Lentira," Ucapnya dengan santai. Lentira? Dirinya ini Lentira? Perasaan marah yang tidak terbendung tiba-tiba saja muncul dan menguasai diriku.
Tanpa aku sadari, aku sudah memegang Regalia dan Atares, dan sekarang sedang menerjang maju ke arah Lentira. Sosok-Nya itu masih merunduk ke arahku, dia benar-benar meremehkan diriku, tanpa pikir panjang aku melompat ke arah-Nya.
Belum sempat Atares menyentuh-Nya, rantai-rantai berwarna hitam muncul dari balik lingkaran cahaya yang Ia lewati. Tidak lama setelah itu, Sariel muncul dari lingkaran sihir yang sama, aku tahu membunuh-Nya tidak akan semudah itu.
"Memang tidak jauh dengan ibunya," Ibuku hanya terkekeh-kekeh kecil mendengar ucapa Lentira itu, kenapa dia malah tertawa? Yang ada di depannya saat ini adalah sumber dari semua penderitaan di Serendrum, jika aku dan ibuku menggunakan kekuatan sihir kami, aku rasa kami dapat mengalahkan Lentira.
Lentira menatapku, ia lalu mengacungkan jari telunjuknya ke arahku. Aku mencoba untuk bergerak, namun, rantai-rantai yang mengikatku tidak bergeming, ikatannya kuat sekali.
Lentira lalu menggerakkan jarinya, mengisyaratkan untuk mengikuti-Nya. Rantai-rantai yang mengikatku lalu bergerak mengikuti pergerakan Lentira, aku dengan paksa dibawa melewati lingkaran sihir yang Lentira lewati.
Ibuku sekali lagi melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku hanya dapat melempar senyum kecut kepadanya, aku berjanji akan kembali ke tempat ibu berada, dan segera membawa dirinya keluar dari mimpi buruk ini.
Aku akhirnya melewati lingkaran sihir itu, dan tiba di sebuah lorong panjang lain. Pilar-pilar tinggi menghiasi sisi kiri dan kanan ruangan ini, aku langsung menyadari bahwa ini adalah ruang Singgasan Agung milik Lentira.
Terdapat sedikit perbedaan antara ruangan ini dengan ruangan ibuku, ruangan ini dipenuhi dengan berbagai sumber cahaya, begitu terang hingga aku dapat melihat langit-langitnya yang diisi oleh ukiran-ukiran artistik yang mengagumkan.
Tidak, pikiranku aku tidak boleh teralihkan karena hal-hal kecil seperti ini, gaun Lentira yang sama seperti ibuku, rambut silvernya yang panjang, matanya yang juga berwarna hijau, serta wajahnya yang sama sperti diriku. Aku rasanya mau muntah saat menyadari semua hal itu, apa artinya ini? Apakah semua manusia yang mewarisi kekuatan cahaya akan memiliki perawakan yang sama seperti Lentera? Mengingat bahwa kurang lebih Lentera dan Lentira ada dua bersaudara dalam penciptaan mereka.
"Benar," Jawab Lentira, menjawab pertanyaan-pertanyaanku barusan dengan satu kata saja.
Sosok-Nya lalu memudar dan menghilang seperti debu, lalu menggantikan sosok-Nya tadi, adalah sebuah entitas yang sedang duduk di Singgasana Agung, wujudnya sama persis seperti diriku dan ibuku, dan sekali lagi, hanya beberapa kali lebih besar dari manusia biasa. Pada singgasana-Nya terukir lambang bulan yang bersinar layaknya bulan pada malam hari.
Sosok Itu menatapku dengan mata hijaunya, aku dapat melihat pantulan diriku sendiri di mata-Nya.
Di samping-samping singgasana Lentira, terdapat lima patung yang berdiri dengan tegak, salah satu dari patung itu berbentuk seperti Sariel, dan keempat lainnya aku tidak dapat melihatnya dengan baik, sosok mereka seperti ditutupi oleh kabut berwarna hitam yang tebal.
"Jadi kamu datang kesini untuk membunuhku, bukan?" Tanya-Nya, suara-Nya kali ini berubah drastis, seperti menggema dari satu ujung ruangan hingga ujung lainnya, bulu kudukku bahkan sampai berdiri saat mendengar suara-Nya.
Lentira mengibaskan tangannya di udara, rantai-rantai yang mengikatku mulai melonggar dan melepaskan diri mereka dari tubuhku. Lentira masih menatapku remeh, diri-Nya tersenyum, ia bahkan menyandarkan wajah-Nya itu ke tangan kanan-Nya.
Aku memanggil Aral dan Lara dan langsung melepaskan beberapa anak panah cahaya ke arah-Nya. Lentira dengan mudah menepis semua seranganku, mungkin ada semacam penghalang magis yang harus aku hancurkan terlebih dahulu sebelum aku dapat menyerang Lentira.
Aku lantas memanggil Baratum, mulai berlari dan akhirnya melompat ke arah singgasana Lentira. Aku mulai mengalirkan energi sihir ke kedua tanganku, dan juga mengalirkan lebih banyak energi sihirku ke dalam Baratum.
Dengan kuat aku mengayunkan Baratum ke arah Lentira, diluar dugaanku, tidak ada penghalang magis apapun yang melindungi Lentira, Seranganku dengan telak mengenai wajah-Nya.
Setelah menerima serangan itu, tangan kiri Lentira tiba-tiba bergerak dan langsung menggenggam Baratum dan melemparkan senjataku ini ke dinding ruangan.
Sebelum aku terbawa bersama Baratum menghantam dinding ruangan ini, aku melepaskan genggamanku, membuatku terlempar ke salah satu pilar yang ada di ruangan ini.
Muntahan darah langsung keluar dari dalam mulutku, aku tersungkur tidak dapat bergerak, rasanya seluruh tubuhku sedang remuk ditekan oleh sebuah batu yang sangat besar. Ini baru satu serangan-Nya, Lentira bahkan belum menggunakan kekuatan kreasi-Nya untuk melawanku.
"Haah, pintu kuilmu itu, sepertinya harus diganti sistemnya, dari energi sihir, kamu mungkin benar sudah bisa masuk ke Singgasana Agung, tapi, dalam penggunaannya? Kamu hanyalah anak kecil bodoh yang belum tahu apa-apa tentang sihir." Ucap-Nya dengan nada kecewa dan juga merendahkanku.
Aku menatap ke arah tangan prostetik milikku, tangan ini tidak bergantung dengan otot maupun tulang. Setelah beberapa saat mencoba untuk menggerakkannya, tangan kiriku ini akhirnya dapat bergerak juga.
Sebuah lingkaran sihir muncul di depan Lentira, dari lingkaran kecil itu keluar sebuah akar tumbuhan, akar itu meliuk-liuk di udara sebelum memfokuskan perhatiannya kepadaku.
Ujung akarnya yang tajam siap untuk menerjang ke arahku, aku mulai mengalirkan lebih banyak energi sihir ke tangan kiriku.
Sesaat sebelum akar tanaman itu dapat menembus dadaku, aku meluncurkan telapak tangan prostetikku dan menyeret diriku pergi menghindari serangan Lentira barusan.
Meskipun aku berhasil menghindari serangan Lentira, dengan meyeret tubuhku di lantai seperti ini, tulang-tulang dan otot-otot yang tadinya terluka menjadi semakin memburuk.
Aku juga tidak membawa perkamen-perkamen penyembuhan yang diberikan Veila, aku benar-benar datang dengan tangan kosong.
"Sudahlah, menyerah saja," Perkataan yang keluar dari mulut-Nya itu benar-benar menyebalkan, namun, benar adanya, aku benar-benar tidak memiliki opsi lain selain menyerah.
Meskipun aku berhasil menghindari serangan pertamanya, akar tumbuhan itu telah menarik dirinya dari pilar dan siap untuk melancarkan serangan keduanya.
Aku masih memiliki energi sihir yang sangat banyak, namun, tubuhku tidak dapat mengimbangi kekuatan sihir yang aku miliki, aku juga tidak memiliki kekuatan untuk memulihkan luka seperti Veila.
Aku tidak akan menyerah disini, dengan menggerakkan tangan kiriku, aku memanggil bola cahaya. Akar tumbuhan yang menyerangku telah menarik dirinya dari pilar yang ditusuknya, ia sedang menyiapkan dirinya untuk serangan kedua.
Aku mulai membayangkan dinding kota Klein, bola cahaya milikku mulai bergetar dan bentuknya mulai berubah pipih, lalu membuat bentuk segi empat besar di lantai ruangan.
Dinding kerajaan Klein kemudian tumbuh dari lantai ruangan, akar tumbuhan itu kemudian mulai bergerak dan mencambuk dinding cahayaku ini.
Aku memfokuskan pandanganku pada lingkaran sihir sumber akar tumbuhan itu muncul, aku punya rencana.
Dinding cahayaku ini tidak akan bertahan lama, aku mengarahkan tangan kiriku ke arah lingkaran sihir itu, aku lalu memanggil Atares dan memegangnya dengan tangan kiriku ini.
Aku mulai mengalirkan energi sihir yang cukup banyak ke tangan kiriku, setelah dirasa cukup, aku memegang erat Atares dan meluncurkan telapak tangan kiriku ke arah lingkaran sihir.
Akar tumbuhan itu sepertinya menyadari ini, namun, karena bentuk dinding yang cukup luas, itu cukup untuk memberiku jarak dan waktu lebih agar seranganku dapat mengenai lingkaran sihirnya.
Aku menggerakkan telapak tanganku, hanya sedikit gerakan menyamping, meniru gerakan menyayat saat aku melakukan serangan menggunakan pedang.
Seranganku mengenai lingkaran sihir itu dan membelahnya menjadi dua, simbol-simbol magis terhambur berserakan ke lantai ruangan. Akar tumbuhan tadi juga tiba-tiba menghentikan serangannya, hanya menyisakan bangkai tubuhnya diantara lambang-lambang magis yang mengitarinya.
Lentira menyeringai ke arahku, dia hanya duduk dengan santai di Singgasana Agung miliknya, menatapku rendah, sementara aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk menyerangnya.
Sebuah lingkaran sihir lainnya muncul, kali ini bentuknya sedikit lebih besar dari sebelumnya. Seekor binatang berkaki empat muncul dari lingkaran sihir itu, matanya merah menyalak, dua tanduk besar yang ada di kepalanya tertuju kepada dirku.
Setiap kali mahluk itu bernafas, terdapat embun putih keluar dari kedua lobang hidungnya, kedua kaki belakangnya menendang-nendang lantai ruangan ini dengan penuh amarah, ia sepertinya bersiap-siap untuk menerjang ke arahku.
Aku memanggil bola cahaya, lalu membayangkan kubah pelindung milik Veila. Mahluk yang menyerangku ini langsung melompat maju, dengan kecepatan yang belum pernah aku lihat sebelumnya, keempat kakinya seakan bergerak dalam sebuah harmoni kehancuran.
Tepat sebelum kedua tanduknya menyentuh kubah pelindungku, tanduknya itu merubah material asalnya, yang awalnya terlihat seperti tanduk yang terbentuk dari tulang biasa, berubah menjadi dua buah tanduk yang terbuat dari besi.
Kubah pelindungku bergetar, aku bahkan dapat merasakan getarannya di seluruh tubuhku, monster ini tidak main-main. Diluar dari itu, seharusnya dengan serangan sekuat itu, kubah pelindungku tidak dapat menahannya, namun, kali ini hanya ada dua retakan yang muncul, tepat di tempat kedua tanduk monster itu menyerang.
Kekuatan sihirku sudah meningkat cukup drastis, dan aku dapat melihatnya dengan langsung, aku lalu mengalirkan energi sihir ke kubah pelindungku, perlahan retakan yang ada di kubah pelindungku menghilang.
Sebentar, jika aku bisa menggunakan energi sihirku untuk memulihkan kubah pelindung? Bukankah itu berarti aku juga bisa menggunakannya untuk memulihkan diriku?
Sebenarnya apa esensi dari sihir kreasi itu sendiri? Sihirku adalah sihir kreasi yang dapat menciptakan benda mati, lalu kenapa aku dapat meniru sihir pelindung milik Veila.
Monster dengan tanduk itu masih menghujam-hujamkan tanduk tajamnya itu ke kubah pelindungku, sementara itu aku terus mengalirkan energi sihirku untuk mempertahankan kubah pelindungku.
Aku sudah pernah melalui skenario seperti ini, dan aku tidak mungkin memenangkan pertarungan ini jika aku terus begini. Dulu aku memiliki Bara, Fana, Zabu, dan Veila untuk melawan Naga Hitam yang menyerangku, kali ini, aku benar-benar sendirian, jauh di dalam teritori yang tidak pernah aku temui sebelumnya.
Karena kali ini aku memiliki energi sihir yang lumayan banyak, aku memutuskan untuk mengalirkan energi sihirku ke seluruh tubuhku. Jika aku memahami konsepnya dengan benar, saat aku mengalirkan energi ke seluruh tubuhku atau bagian tubuh tertentu, aku dapat menguatkan fisikku menggunakan energi sihir tersebut.
Jika dapat memutar efek tersebut dari menguatkan menjadi memulihkan, aku mungkin memiliki kesempatan untuk melawan monster yang ada di depanku ini. Siklus serangan monster bertanduk ini meningkat semakin cepat, aku hampir tidak bisa mengikuti kecepatan serangannya, retakan-retakan yang lebih besar muncul di kubah pelindungku.
Pulihlah! Diriku tolong! Aku mencoba untuk mengkonversi energi sihirku, untuk memulihkan tubuhku, setidaknya sedikit saja.
Keputusasaan ini sepertinya membangkitkan sesuatu, tubuhku perlahan pulih, tinggal sedikit lagi sebelum aku dapat bergerak!
Kubah pelindungku pecah, monster itu langsung menerjang maju. Aku berguling ke samping, mencoba untuk menghindari tanduk monster itu, sayangnya salah satu tanduknya berhasil mengenai baju milikku, menyeret dan menghempaskan diriku ke dinding ruangan.
Kedua tanduk monster itu tersangkut ke dinding ruangan, aku langsung memanggil Atares dan memotong tanduk yang menyerangku tadi, monster itu mencoba untuk menendangku menggunakan kaki depannya, aku menggunakan ini untuk menyayat kakinya itu. Darah bersih langsung menyembur keluar, monster itu menjerit kesakitan, aku meneruskan seranganku.
Kulit monster ini rasanya tebal sekali, meskipun pedangku dapat menembus dagingnya, namun, lukanya tidak terlalu dalam. Aku lantas mengubah strategiku dan mulai menusuk-nusuk monster itu menggunakan Atares.
Saat Atares menusuk terlalu dalam dan tersangkut, aku cukup melepaskan pedang itu dan memanggil Atares yang baru. Aku terus menerus melakukan itu, monster ini sedikit demi sedikit mulai kehilangan tenaganya untuk berdiri, dan tidak lama setelah itu tubuhnya tergeletak lemas di atas kubangan darahnya sendiri.
Sebuah pemandangan yang mengerikan, namun, aku terlalu lelah untuk menghadapi perasaan itu. Nafasku tidak teratur, jantungku berdebar dengan kencang, aku menancapkan Atares sekali lagi ke tubuh monster yang sudah tidak bergerak ini, dan melepaskan pedangku itu darinya.
Aku menatap Lentira dengan penuh kebencian, lalu memanggil bola-bola cahaya dan menyebarnya di sekitarku. Lentira menatapku balik, kesan di raut wajah-Nya berubah, mata-Nya tidak lagi menatapku dengan bosan.
Aku menaruh telapak tanganku di lantai ruangan, dan mulai mengalirkan energi sihirku. Cahaya berwarna kuning keemasan menggeliat di lantai ruangan, ujungnya mulai membuat cabang-cabang dan menyentuh bola-bola cahaya yang aku tebarkan tadi.
Aku mengalirkan energi sihir ke kedua tangan dan kakiku, lalu menarik ujung benang cahaya yang telah kusebar tadi dan melemparkannya ke arah Lentira.
"Atares!" Teriakku, bola-bola cahaya tadi mulai berubah menjadi pedang cahaya yang aku miliki. Lentira tidak mungkin dapat menghentikan semua pedang-pedang cahaya yang akan menusuknya ini, selagi pedang-pedang itu terbang di udara, aku juga memanggil Aral dan Lara, menggunakan celah-celah dari kumpulan pedang-pedang yang meluncur di udara untuk melepaskan anak-anak panah milikku.
Lentira tidak bergeming, Ia bahkan tidak melakukan apapun. Alhasil beberapa seranganku berhasil mengenai tubuh-Nya, beberapa lainnya memantul dari Singgasana ke lantai ruangan.
"Tidak buruk," Ucap-Nya, Ia kemudian menundukkan kepalanya, mencabut satu per satu pedang dan anak panah yang menancap di diri-Nya, lalu berdiri menghadap ke arahku.
Sosok-Nya menjulang tinggi jauh di atasku, sepertinya eksistensi diri-Nya yang besar inilah alasan mengapa ruangan ini begitu besar dan tinggi. Tanpa aku sadari aku mengambil beberapa langkah mundur, instingku tahu untuk tidak mendekati sosok seorang Dewi ini, untuk tidak melawan-Nya secara langsung.
Lubang-lubang luka yang ada di tubuh-Nya dengan cepat menutup, kecepatan regenerasi luka-Nya mirip seperti dengan Bara, hanya saja kekuatan-Nya sedikit lebih cepat daripada Bara.
"Kalau begitu, bagaimana dengan ini?" Suara-Nya sekali lagi menggema ke seluruh ruangan, sebuah lingkaran sihir kembali muncul di dalam ruangan ini, dan kali ini lingkaran sihirnya jauh lebih besar dibandingkan dengan dua lingkaran sihir sebelumnya.
Sebuah mahluk lain keluar dari lingkaran sihir ini, dia tidak memiliki bentuk, hanya sebuah bola mata yang dikelilingi oleh puluhan? Tidak, ratusan tangan-tangan yang masing-masingnya memegang sebuah pedang panjang.
Entitas tidak masuk akal itu terbang di udara, walaupun dirinya sendiri tidak memiliki sayap, lawanku kali ini akan jauh berbeda dengan dua lawan sebelumnya.
Mahluk itu mulai bergerak, ratusan pedang yang ia pegang mulai berputar. Aku membuat kubah pelindung dan memanggil Regalia, pedang-pedang yang tadinya berputar mulai dilemparkan ke arahku.
Pedang-pedang itu menghujaniku dengan cepat, aku bahkan tidak dapat mengikuti beberapa pedangnya, dan tiba-tiba saja ada sebuah pedang yang menembus kubah pelindungku.
Kubah pelindungku hancur dalam seketika, serangan pedang dalam jumlah masif ini benar-benar memojokkanku. Aku mencoba untuk menghalau sisa pedang yang masih datang kepadaku menggunakan Regalia, sembari berlari dan berlindung ke salah satu pilar yang ada di ruangan ini.
Mahluk itu masih melontarkan pedang-pedangnya, serpihan-serpihan pilar raksasa ini berhamburan ke segala penjuru ruangan, aku merunduk untuk menghindari serpihan batu dan kerikil yang terlontarkan ke arahku.
Aku memulihkan diriku, beberapa serangan pedang tadi berhasil mengenaiku, salah satunya menyayat punggung kanan bagian atas, dan masih ada satu lagi yang menancap di paha kiriku.
Aku mencabut pedang yang tertancap di paha kiriku ini, rasa sakit diikuti perih yang amat sangat langsung membuat seluruh tubuhku kolaps ke dinding pilar ini. Aku langsung memfokuskan energi sihirku ke bagian-bagian yang terluka, meskipun lamban, tetapi rasa sakitnya mulai berkurang.
Arah dari serangan mahluk itu mulai berubah, sepertinya dia mulai bergerak mengitari pilar ini untuk mencariku, selama aku masih berada di titik butanya, aku masih dapat menglur waktu untuk menghadapinya.
Aku membuat bola cahaya dan membentuknya seperti diriku, lalu melemparkannya ke arah yang berlawanan. Mahluk itu memakan umpanku dengan cepat, arah serangannya berubah mengikuti diriku yang palsu itu, aku menggunakan kesempatan ini untuk berpindah ke pilar yang berbeda.
Serangan mahluk itu berhenti, sepertinya ia menyadari kalau yang barusan itu bukanlah diriku. Trik seperti ini hanya dapat aku gunakan sekali saja dalam pertarungan, aku perlu mencari tahu kelemahannya saat ia masih bingung seperti ini.
Aku dapat mendengar mahluk itu bergerak di udara, ratusan tangannya yang masih berputar menciptakan suara tebasan di udara, dengan mendengarkan suara itu, aku bisa memperkirakan dimana posisinya saat ini.
Posisinya semakin dekat, pilar tempatku bersembunyi juga mulai bergemuruh. Aku mengintip sebentar, mahluk itu semakin mendekat, ayunan tangan-tangannya yang cepat mengitari satu bola matanya itu menarik perhatianku, membuat kesan bahwa ia benar-benar melindungi bola matanya itu. Apa jangan-jangan itu titik lemahnya? Tidak ada gunanya berlama-lama, aku memanggil Aral dan Lara, lalu menembakkan serentetan anak panah cahaya ke arah bola matanya itu.
Dua anak panah berhasil menembus pertahanan mahluk itu dan membenamkan diri mereka ke bola matanya, mahluk itu sepertinya kesakitan, pola menyerangnya berubah, dari yang awalnya tangan-tangan yang memutari dirinya, kini tangan-tangan itu melebar dan menyebar ke segala arah ruangan, menyerang membabi buta tanpa ampun.
Serpihan-serpihan bangunan dan kaca terlempar kemana-mana, aku berlari kesana kemari menghindari semua itu, sembari sesekali menangkis serangan pedang dari mahluk aneh itu. Puing-puing yang jatuh lebih banyak melukaiku jika dibandingkan dengan serangan langsung dari pedang miliknya. Aku mencoba untuk membuat kubah pelindung, namun, serangannya yang membabi buta tidak memberiku waktu untuk melakukan itu, sementara itu Lentira masih berdiri diam, melihatku dengan penuh rasa kasihan.
Aku memanggil Baratum, dan mulai mengayunkannya ke arah puing-puing dan pedang yang berdatangan, beberapa pedang yang aku serang terlepas dan melayang ke beberapa sudut ruangan.
Sepertinya ini satu-satunya cara untuk mengalahkan mahluk itu, untuk melucutinya dari senjatanya dan menggunakan celah-celah yang ada untuk melukai bola matanya itu.
Aku berlari dan terus berlari, sembari mengayukan Baratum ke segala arah, membuka jalan bagi diriku untuk terus berjalan maju ke depan. Aku bahkan dengan sengaja meruntuhkan salah satu pilar menggunakan seranganku, untuk menghambat pola serangan acak dari mahluk itu. Satu per satu pedang yang ia miliki mulai tersebar di berbagai sudut ruangan, menyisakan tangan-tangan yang hanya bergerak kesana kemari tanpa arah.
Area tempatku berdiri sekarang sudah cukup aman dari serangan, untungnya mahluk itu tidak memiliki otak, sepertinya ia tidak menyadari bahwa di area tempatku ini, senjatanya sudah aku lucuti dari tangan-tangannya. Aku kembali mengeluarkan Aral dan Lara, lalu menghujani bola mata mahluk itu dengan anak panah cahaya milikku.
Seluruh anak panahku mengenai targetnya dengan baik, mahluk itu menghantam-hantamkan dirinya ke segala arah, sebuah upaya terakhir sebelum dirinya jatuh dan berhenti bergerak diantara reruntuhan ruangan ini.
Untuk pertama kalinya aku dapat melihat apa yang ada di luar ruangan ini, bulan, hanya itu yang dapat aku katakan, permukaannya yang berwarna hijau ke abu-abuan, tidak hanya satu bulan, mungkin ada ribuan, seperti bintang yang ada di langit, namun, hanya diisi oleh bulan di berbagai sisinya.
Tubuhku dipenuhi oleh goresan-goresan, beberapa bagian lainnya menunjukkan memar-memar berwarna biru. Kedua tanganku bergetar karena kelelahan, aku sudah mendorong tubuhku keluar jauh dari batas kemampuannya.
Tiba-tiba saja tawa Lentira memenuhi seluruh ruangan, aku bahkan harus menutupi kedua telingaku, lalu Ia mengalihkan pandangan-Nya ke arahku.
Lentira mengambil satu langkah menuruni tangga Singgasana-Nya, seisi ruangan bergetar, Sariel langsung berlutut di hadapan Dewi yang menciptakannya itu.
"Jadi… kamu siap?" Ucap-Nya, dua buah sayap muncul dari punggung Lentira, tubuh-Nya lalu naik dan mengambang di udara, diikuti dengan cahaya hijau ke abu-abuan memancar dari sosok-Nya itu.
Benar-benar melambangkan seorang Dewi.
Sebuah lingkaran sihir muncul di tangan kanan-Nya, Lentira memasukkan tangan kanan-Nya ke dalam lingkaran sihir itu, kemudian menarik sebuah pedang panjang berwarna putih dengan aksen kemerah-merahan.
Suara teriakkan manusia dan tangisan bayi tiba-tiba terdengar. Sesuatu bergerak di pedang yang Lentira pegang, tidak bukan sesuatu, tetapi, ada beberapa hal bergerak di pedang itu.
Aku memicingkan mataku dan mencoba untuk melihat apa yang ada di pedang itu, dihiasi dengan cahaya rembulan, aku dapat melihat wajah-wajah manusia dan bayi muncul dari pedang itu, mulut mereka terbuka lebar, meneriakkan penderitaan yang telah mereka alami.
Aku perlahan mundur, perasaan ngeri bercampur jijik menguasai tubuhku, darah segar kemudian menetes satu demi satu dari tiap-tiap wajah yang muncul di pedang itu.
Lentira mengambil satu langkah maju, tanganku bergetar sembari memegang Regalia. Sosok-Nya kemudian menerjang maju ke arahku, aku baru saja berkedip dan sekarang mendapati diriku meringkuk di ujung ruangan ini.
Darah mengalir dari mulutku, seluruh tubuhku bergetar dan tidak dapat aku gerakkan. Kapan Dia menyerangku? Aku mengalirkan energi sihirku ke seluruh tubuhku, memuhlihkan apa yang bisa aku pulihkan.
Sosok-Nya kembali muncul di depan wajahku, Ia lalu menyabet pedang milik-Nya itu ke arahku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi, sekarang aku seperti berada di udara, dan aku dapat melihat tubuhku sendiri.
Tubuhku… tanpa kepalanya.
Sesuatu memegang rambutku, rasanya aku benar-benar terbang di udara, tubuhku terasa ringan, atau mungkin, memang sudah tidak ada lagi. Sebuah lingkaran sihir muncul di bawah kepalaku, juga diatas leherku, tepat dimana Lentira memotong kepalaku.
Aku… kalah, telak.
Kepalaku bergerak, wajahku bertemu dengan wajah Lentira, Ia tersenyum lesu, masih dengan suara teriakan manusia dan anak kecil yang menggema, Lentira mulai berbicara.
"Nah, karena kamu sekarang berada diambang dunia hidup dan kematian, biar aku perlihatkan sesuatu," Aku memandang mata-Nya dalam, sangat dalam, hingga rasanya aku ditarik ke dalam iris mata-Nya itu, dan hilang dalam pandangan-Nya.