Download App
2.95% Wasted Wife / Chapter 7: Manusia Gila Kerja

Chapter 7: Manusia Gila Kerja

Sudah berhari-hari Andine dan Andra hidup dalam rumah tangga penuh keasingan itu, keduanya menjalani rutinitas seperti biasa tanpa ada tegur sapa. Kedua anak manusia itu hanya akan bicara jika ada hal-hal yang penting saja.

Hal ini tentu saja membuat Andine merasa bingung. Di satu sisi ia ingin sekali mengajak Andra mengobrol atau sekedar basa-basi, tapi seolah tak ada kesempatan baginya untuk memulai. Bahkan saat libur pun, Andra memilih mengasingkan diri di dalam ruang kerjanya. Bekerja seharian penuh tanpa jeda.

"Dasar manusia gila kerja! Di kantor kerja, di rumah kerja, kok bisa sih ada manusia kayak dia?" Andine hanya bisa menggerutu. Minggu pagi, setelah membuat sarapan ia berniat memanggil Andra di kamarnya, tetapi Andra malah mengatakan bahwa ia sedang sibuk dan tidak mau diganggu.

"Aku cuma mau nawarin kamu sarapan, Mas! Masa pagi-pagi udah kerja aja sih? Nggak ngisi energi dulu?" teriak Andine dari luar ruangan pria itu.

"Udah aku bilang jangan ganggu! Ntar kalau aku mau sarapan aku keluar sendiri!" Suara Andra terdengar menggema, pemuda itu menjawab dari dalam dan tak kalah kerasnya dengan suara Andine.

Andine berdecak kesal, gadis yang mengenakan piyama biru itu hanya bisa menggerutu kemudian berbalik dan pergi menuju ruang makan.

"Tuan belum mau sarapan, Non?" tanya Bi Lastri dengan raut muka tak enak, ia sudah tahu bagaimana kehidupan tuan dan nyonya-nya selama ini.

Andine menghela napas dan mengempaskan duduk di salah satu kursi, gadis itu menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan sang asisten.

"Ya sudah, Non. Sarapannya bareng sama, bibi aja." Wanita paruh baya itu berniat menghibur Andine.

Ya, Bi Lastri tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga Andine dan Andra. Hanya saja, ia tak berniat bertanya lebih dalam dan memilih untuk bungkam. Wanita itu tidak mau ikut campur.

Di depan Andine tersaji berbagai menu makanan lezat. Namun, gadis itu tak berselera untuk menikmatinya. Pikirannya tengah berkecamuk memikirkan sosok lelaki di dalam ruang kerjanya.

Tentang Andra, dan sesuatu yang sulit ditebak di dalam diri pria itu. Kenapa dia sangat sulit didekati, sulit diajak bicara, dan sulit untuk sekedar berbagi cerita dengannya.

Padahal, Andine sangat ingin melakukannya. Agar kehidupan rumah tangga mereka bisa lebih baik dan ada kemajuan.

Andine mendesah lelah, ia pun memilih menikmati sarapannya seorang diri.

Di ruang kerjanya, Andra duduk di balik meja dengan sebuah laptop menyala di hadapannya. Pemuda yang sudah selesai mandi itu mengenakan kaus pendek berwarna putih, dan juga celana selutut berbahan katun. Andra sedang mengamati lembar kerja yang ada di layar laptop.

Pemuda itu memang terlihat sibuk, walau sebenarnya tidak juga. Ya, Andra hanya sedang berusaha menghindari sosok istrinya, pria itu tidak mau terlalu sering berinteraksi dengannya. Bahkan sejak kemarin, keduanya berangkat kerja sendiri-sendiri. Andra dengan mobilnya, dan Andine dengan sopir pribadi mereka.

Jika Andine berusaha mendekati Andra, maka pria itu berusaha menghindari Andine. Keduanya tak sama, memiliki niat yang berbeda.

Ponsel Andra yang tergeletak di atas meja bergetar, sebuah panggilan masuk dengan nama kontak 'Romi' tertera di layar.

"Halo?" Andra langsung mengangkatnya.

"Halo, Pak."

"Bagaimana, Romi?" Andra mengecilkan suaranya, ia begitu penasaran akan jawaban selanjutnya dari pekerja kepercayaannya tersebut.

"Saya sudah dapat hasilnya, Pak."

Andra terkesiap, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Pria itu menelan ludah, ia pun mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat selanjutnya dari Romi.

"Bapak … masih di sana?"

"Ya! Saya masih mendengar, lanjutkan."

Terdengar suara deheman dari ujung telepon.

"Baik, Pak. Jadi, setelah saya selidiki, ternyata benar wanita di foto itu adalah Viona. Dia … sudah berhasil menjadi model di Paris, Perancis. Dan, pengikutnya di Instagram juga sudah mulai naik beberapa waktu belakangan ini. Menurut berita yang saya baca, saat ini Viona sedang dekat dengan salah satu penyanyi yang cukup populer di sana. Sekian laporan dari saya, Pak, kalau perlu saya akan kirim beberapa buktinya." Penjelasan dari Romi berhasil membuat Andra terdiam.

Pemuda itu sampai menahan napas demi mendengar dengan seksama kalimat pekerjanya.

"Terima kasih." Andra langsung menutup sambungan telepon, ia meletakkan benda pipih itu kembali di atas meja.

Andra mengusap wajah, ia menyandarkan punggung dengan muka yang kusut.

"Kau sudah berhasil rupanya?" gumam Andra seraya tersenyum miring, "Selamat kalau begitu," lanjutnya. Pemuda itu kini tersenyum lebar, tapi sorot matanya tidak dapat menipu bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja.

Andra memejamkan mata, ia kembali mengingat pada malam di mana pemuda itu memilih untuk pergi dulu sebelum tiba di rumah. Ya, Andra sering kali beralasan lembur pada Andine, dan baru pulang saat menuju tengah malam. Padahal, yang dilakukannya bukanlah lembur kerja, melainkan pergi ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya dan hening malam.

Satu-satunya tempat yang sering Andra kunjungi selama beberapa waktu ini, adalah tepi danau yang terdapat di sudut kota. Di sana, di tengah kesunyian, dan gelapnya malam, Andra sering bersendiri mencari ketenangan, sambil memikirkan cara bagaimana melupakan seseorang yang selama ini ada di dalam kepalanya.

Viona.

"Kau sudah berhasil mengejar impianmu, selamat untuk itu." Andra tersenyum dengan mata terpejam, kini di kepalanya tengah terbayang sosok wanita yang baru saja ia bicarakan. Viona.

Viona, gadis itu telah berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya, tapi tak berselang lama ia kembali pergi meninggalkan luka yang lebar menganga.

Viona, adalah alasan mengapa Andra tak pernah siap dengan yang namanya pernikahan. Sebab hatinya sudah berjanji, bahwa ia hanya akan menikah dengan nama gadis yang sudah lama terukir di sanubari. Viona.

Tok, tok, tok! Ketukan pintu berhasil membuyarkan lamunan Andra. Pemuda itu membuka mata dan mengambil duduk tegak.

"Mas! Kamu masih kerja?" Suara Andine terdengar dari luar ruangan.

Andra mendengkus, merasa diganggu.

"Kenapa?" sahut pria itu dari dalam.

"Bisa nggak pintunya dibuka dulu? Dari tadi kita teriak-teriak!" Gadis itu sudah mulai kesal rupanya.

Andra berdecak lirih, ia akhirnya mengalah dan memilih bangkit dari kursinya.

"Udah aku bilang, kalau aku mau sarapan aku bisa turun sendiri ke bawah--" Andra membeku di tempatnya berdiri setelah ia berhasil membuka pintu.

Pemuda berhidung mancung itu terkejut, ia mengira bahwa sang istri datang membawakan sarapan untuknya. Namun, ternyata tidak, wanita itu malah berpakaian rapi seperti siap untuk pergi.

"Iya, aku udah tahu," sahut gadis itu cepat.

"Ada apa?" Andra bertanya seraya berdehem kecil.

"Aku cuma mau pamit, Mas," ujar Andine seraya berpangku tangan.

"Ke mana?"

Andine menghela napas pendek, "Mau ke rumah temen, sekalian jalan-jalan juga. Daripada aku di rumah stress sendiri? Mending keluar." Wanita itu sedikit menyindir pria di hadapannya.

"Oke," jawab Andra singkat.

Andine sesungguhnya ingin mengumpat, tapi gadis itu menahannya. "Oke doang?"

"Ya, terus?" Andra bertanya bingung. Sungguh, dia adalah pria dingin yang tak peka pada istrinya sendiri.

"Nggak! Yaudah lupain aja, aku berangkat dulu," jawab Andine sambil bersiap untuk pergi.

"Silakan!" Andra tersenyum kecil.

Sambil bersungut-sungut, Andine berlalu begitu saja.

"Kalau aku pamit mau cari selingkuhan, mungkin dia bakal iya-iya, aja kali ya? Nyebelin banget sih!" Andine menggerutu dengan suara lirih.

Bersambung.


next chapter

Chapter 8: Kepanikan Andra

Sebuah taksi online berhenti di depan pagar rumah Andine dan Andra, seorang wanita tengah berjalan dengan bibir menggerutu. Ia adalah Andine.

Istri dari Andra tersebut langsung masuk ke dalam taksi, ia memerintahkan sang supir untuk menjalankan kendaraan roda empat tersebut.

Andine melipat tangan, tatapannya tertuju keluar jendela kaca. Gadis itu masih kesal atas sikap sang suami, betapa pria itu sungguh dingin dan ketus padanya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, jalan raya tampak lenggang pada hari ini. Sedangkan cuaca terlihat cukup cerah, awan putih menggantung di atas langit kebiruan di atas sana.

Andine mendengkus, ia merogoh isi tasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Ibu jarinya bergerak lincah mencari kontak seseorang. Saat Andine hendak menekan icon telepon, gadis itu tiba-tiba terdiam sejenak.

Beberapa detik berlalu, Andine menarik napas dalam kemudian membuangnya secara perlahan. Gadis itu tengah berusaha menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tak mau seseorang yang diteleponnya nanti curiga akan nada suara Andine yang terdengar tengah menahan kesal.

Akhirnya setelah merasa lebih baik, Andine segera menekan icon telepon pada kontak bernama 'Amira' tersebut.

"Halo?" Suara seorang wanita terdengar di telinga Andine.

"Halo, Mir."

"Ya? Kenapa, An?" tanya Amira dari seberang telepon sana.

Andine terdiam sejenak, ia tak mau sahabatnya tersebut sampai curiga. Hari Minggu seperti ini, apalagi Andine adalah sosok wanita yang baru mendapat status sebagai istri, apakah cocok bahwa dia memilih pergi dan meninggalkan sang suami? Bukankah lebih baik tinggal di rumah bersama suami tercinta? Andine bingung, ia mencoba mengarang cerita agar Amira percaya dan tidak menaruh curiga.

"Eng … kamu di rumah, Mir?" tanya Andine kemudian.

"Ya, aku di rumah. Kenapa, An?"

"Aku mau ke rumah kamu, Mir. Mau main aja," jawab Andine sambil menggigit bibir bawahnya.

"Loh? Suami kamu ke mana? Kenapa nggak main sama dia aja?" tanya Amira sambil tertawa, membuat Andine memutar bola mata malas.

"Dia sibuk, Mir." Kalimat itu terlontar begitu saja tanpa Andine duga. Ya … tapi memang seperti itu faktanya bukan?

"Masa sih? Ini 'kan hari Minggu, sibuk apaan emang?" Amira terdengar sangat penasaran.

Andine menghela napas, "Sibuk kerjaan lah, sibuk apalagi emang?"

Terdengar tawa di ujung telepon sana, "Ya, santai dong jawabnya. Duh, kasihan banget kamu, An, bukannya sayang-sayangan sama suami malah milih pergi cari kesenangan sendiri."

Andine menahan kekesalan dengan membuang napas panjang, temannya yang satu ini memang minus akhlak, dan Andine sudah tahu akan hal itu.

"Udah aku bilang dia sibuk, aku juga nggak mau ganggu," ucap Andine, "jadi, boleh nggak nih aku main ke rumah kamu? Kalau nggak boleh ya nggak apa-apa."

"Iya boleh! Sensi banget sih? Sini-sini dateng sini, kita main bareng kayak kamu gadis dulu. Ke mana? Mall? Atau ke mana?" Suara Amira terdengar sangat antusias, gadis periang itu sebenarnya sangat senang saat tahu Andine hendak datang mengunjunginya.

"Ntar dipikirin lagi mau ke mana, mending sekarang kamu siap-siap aja dulu, aku nggak mau nunggu lagi," jelas Andine.

"Oke!"

Setelah mendengar jawaban sahabatnya, Andine segera mematikan sambungan telepon. Gadis itu kembali membuang pandangan ke luar jendela kaca, ia menyandarkan punggung dan mengamati suasana jalanan kota Jakarta yang ramai tersebut.

Tak berselang lama, mobil yang membawa Andine akhirnya tiba di depan rumah Amira. Gadis berhidung mancung itu segera turun dari kendaraan roda empat tersebut, ia berdiri di depan pagar dan beberapa kali menekan bel rumah.

Sepersekian detik kemudian, pagar besi di hadapan Andine tersebut akhirnya terbuka. Seorang gadis berambut hitam sebahu muncul sambil tersenyum lebar menyambut kedatangan Andine.

"Hai! Sebentar ya, aku mau ambil mobil dulu, tunggu sini, An." Amira berbalik dari hadapan Andine setelah mendapat anggukan dari sahabatnya itu.

Andine menunggu di luar pagar, sedangkan Amira tengah mengambil mobil pribadinya, sebagai kendaraan untuk mereka pergi bersama-sama.

"Yuk!" ajak Amira, wanita yang duduk di balik kemudi itu menghentikan mobilnya di sebelah Andine berdiri. Andine pun segera melangkah dan masuk ke mobil sahabatnya.

"Kita mau ke mana nih?" tanya Amira seraya menoleh ke arah Andine.

Andine tak langsung menjawab, dengan raut wajah datar tanpa ekspresi, gadis itu malah balik menoleh dan melihat Amira tengah memperhatikannya.

"Eng … ke resto baru yang kemarin kita lihat aja gimana? Penasaran sama makanannya." Andine akhirnya menjawab meski ia mati-matian menyembunyikan rasa tak menyenangkan di dalam hatinya.

Amira mengangguk sambil tersenyum lebar, "Oke! Berangkat!" Gadis itu segera melajukan kendaraan roda empatnya tersebut.

***

Di rumah, Andra tinggal seorang diri. Pria itu masih berada di ruang kerjanya. Duduk di balik meja, dengan tatap tertuju ke arah layar laptop.

Ponsel Andra yang berada di atas meja tiba-tiba bergetar. Pemuda itu segera mengambilnya.

"Mama?" gumam Andra dengan dahi mengernyit heran.

"Halo, Ma?" jawab Andra akhirnya.

"Halo, Sayang …!" Suara Wulan--ibu kandung Andra--terdengar sangat bahagia.

"Iya, Ma, ada apa?" Andra malas-malasan merespon wanita di seberang sana itu.

"Andra, kamu dan Andine di rumah 'kan? Mama dan papa lagi di perjalanan mau ke rumah kalian nih, sebentar lagi sampe."

Andra tersentak kaget, di tempat duduknya pria itu membeku. Panik, dan bingung, Andra dilanda kecemasan secara tiba-tiba. Orang tuanya akan datang berkunjung ke rumahnya, sedangkan saat ini istrinya sedang tidak ada di rumah. Apa yang harus dilakukannya?

"Eng … ma-mama beneran udah di jalan?" Andra kembali memastikan, walau ia tahu jawaban mamanya tetap sama.

"Iya, Sayang. Ya udah kalau gitu sampai ketemu nanti ya? Jangan lupa sampaikan ke Andine juga." Wulan langsung mematikan sambungan telepon, bahkan tak memberikan kesempatan untuk sang putra kembali bicara.

"Halo? Ma? Halo, Ma? Yah, langsung dimatiin," Andra mengusap wajahnya, frustasi.

"Aduh … aku harus bilang apa kalau, mama sama papa tanya? Andine ke mana sih tadi? Aduh …!" Pria itu tampak gusar, Andra segera menelepon sang istri untuk memberitahu kabar mendadak ini, sekaligus memintanya untuk segera pulang.

Panggilan pertama.

Panggilan kedua.

Panggilan ketiga.

Sang istri tak kunjung menjawab teleponnya. Sebab memang, gadis itu sedang menikmati waktu kebersamaan dengan sahabatnya tanpa ingin diganggu oleh suaminya.

"Parah banget kamu, An! Angkat lah!" Andra menggerutu, ia tak kunjung mendapat jawaban dari teleponnya, Andra sampai mengirimi sang istri pesan panjang dan berharap gadis itu akan membaca kemudian bergegas pulang ke rumah.

"Duh!" Andra mengusap wajahnya.

Ting! Bel rumah terdengar, Andra terkejut bukan kepalang. Lagi-lagi kepanikan melanda, apa yang harus dikatakannya saat papa dan mamanya bertanya tentang keberadaan Andine? Andra belum punya jawaban apa-apa, dan mereka sudah tiba tanpa Andra duga.

Bersambung.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C7
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT