Hesa mengerutkan kening. Napas ia tarik dalam-dalam untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Setelah beberapa saat, tangannya bergerak lembut dan menutup laptop. Ia menoleh sedikit tuk melirik Andre yang tengah berdiri di belakangnya.
"Kau tahu?" tanya Hesa santai sambil mengetuk permukaan laptop. Mukanya seperti tak ingin tahu, tapi kilat di matanya berbeda. Dia jelas memiliki dorongan kuat untuk mengetahui lebih banyak tentang anak yang Andre katakan.
Si Cepak menelan ludahnya melihat reaksi ini.
Hesa tertarik.
Dan untuk seorang Hesa yang biasanya apatis, tak punya ketertarikan selain pada uang bisa begini berarti .....
Andre menggeleng. Dia menepis pikiran buruk dan berusaha meredam mereka kuat-kuat. Karena sambil terkekeh, dia mengatakan, "Lu tahu Hes … Si Sean ini getol sekali mencari 'kakak mahasiswa univ B yang meninggalkan almamaternya' di dunia maya. Bahkan saking gencarnya, sampai ada tagar stmxmahasiswa di dumay dan dia mengikuti tren itu untuk nyariin lu," si pemilik suara terkekeh. "Gemes nggak sih?" kata Andre hambar meski dia tertawa.
Rasanya bibir Andre ngilu untuk membicarakan potensi hadirnya seseorang di antara mereka. Tapi … Tapi ....
Berusaha menahan ketakutannya yang berjubal semenjak dia melihat seseorang di bawah tadi, Andre matap bergerak. Dia ambil satu kursi dan menyeretnya ke arah Hesa. Seraya menata kursi tempat dia duduk, Andre berkata lagi, nadanya seperti melempar jokes, "tahu nggak sih … lu diposisikan sebagai bot, bang. Stm x mahasiswa. Lu tau maksudnya, kan? STM top, mahasiswa bot. Cie ngangkang~ Hahaha."
Hesa mengerutkan kening. "Enak aja," gerutunya kesal sambil mendengus kasar.
Andre tertawa mendengar protes terdiam Hesa, ya sebenarnya dia juga tak bisa membayangkan temannya ini melebarkan kaki untuk ditusuk sambil mendesah, "aaahnn~ y-yamete~ iiyada~" Iyuuuh. Cringey abis.
Dan Tuhan … sakit rasanya memikirkan Hesa ada di dalam pelukan lelaki lain!
Berusaha menahan tubuhnya terlalap bayangannya sendiri, Andre duduk di kursi dan menghadap ke arah Hesa; di berada di sisi kiri Hesa kini. Lalu lurus dia memandang kawannya itu, seseorang yang lebih tua dan sosok yang sudah seperti kakaknya sendiri. Awalnya ada setitik kilat canda di manik Andre, Hesa masih menangkap hal ini. Namun perlahan … cahaya itu memudar dan hilang. Manik abu itu penuh kemelut tak bertepi. Hesa bisa menangkap beberapa emosi di sana, ada bingung, tak yakin, tak rela, dan gelisah.
Semua itu memaksa Hesa membuka mulutnya. Tanya, "Kenapa?" meluncur dari bibir. Apa pun yang Andre lakukan, dia tak pernah berhenti untuk tak mengkhawatirkan anak yang … secara harfiah sudah bersamanya sejak bayi.
"Bang ..." Andre memanggil Hesa, nadanya panjang. Tampak pada cengkok suara jika lelaki berambut cepak itu dihantui sesuatu—sesuatu yang berat.
Hesa merubah posisi duduknya. Kini dua pemuda saling berhadapan. Dua alis Hesa tertaut, matanya berusaha menyelidik ke mimik muka Andre. "Katakan jika ada sesuatu yang mengganggumu," dia membuka kaki, memposisikan diri untuk condong ke arah Andre. Keseriusan terlukis di muka Hesa, kentara sekali dia akan melakukan sesuatu sekuat yang ia mampu jika Andre membutuhkan bantuannya.
Dan sikap Hesa yang begini, membuat hati Andre terlilit.
Tanpa sadar, Andre menggigit bibirnya. Dia selalu begini ketika pikirannya penuh dan hatinya gelisah. Tapi serius, si cepak sedang dilema setengah mampus. Dari apa yang terjadi pagi tadi … dia tahu benar jika apa yang pernah ia lakukan dulu kala pada Hesa, tak akan menutup luka yang ada meski dia mendapatkan maafnya.
Dan itu membuatnya berkeinginan melepas Hesa. Mendorongnya agar membuka hati untuk yang lain. Namun pada saat yang bersamaan, Andre tak menginginkan itu. Tuhaaaan! Orang waras mana yang bisa ikhlas melihat orang yang ia puja bersanding dengan orang lain?! Napsunya sih ingin mengunci Hesa dan membuat dia tak merasakan cinta dari siapa saja! Tapi … tapi …
Tapi Andre tak ingin … karena egonya, mengorbankan Hesa untuk kesekian kali.
Tapi … tapi … tapi … tapi dia tak siap.
Tuhan! Andre tak tahu harus apa! Dia harus bagaimana?!
Maju? Menyatakan rasanya? Atau sudah di sini saja, stay menjadi adik dan sahabat bagi Hesa? Atau bagaimana?! Haruskah dia maju? Tapi trauma Hesa ...
Pikiran yang bergelut di benak lelaki berbadan bidang itu membuat tubuhnya bergetar. Napasnya memburu. Entah bagaimana muka sang pemuda memucat, mata membelalak dan berkali bibirnya terbuka dan tertutup secara cepat.
Hesa yang melihat hal ini langsung berdiri. Ia menekuk kakinya, menangkup muka Andre dan mengamatinya lekat. Dia bisa melihat mata temannya ini tak fokus. Dia bergetar, bergerak gusar. "Andre ..." panggilnya lirih berusaha menenangkan. Namun tak berhasil, entah dia sedang berpikir apa, pikiran itu melalap Andre bulat-bulat. Bahkan tepukan Hesa di pipinya tak membawa hasil.
Hesa menarik napas dalam melihat hal ini. Dia menggaruk kepalanya, memandang ke ruangan VIP ini sebelum tiba-tiba BUAAAAK! dia memukul perut Andre kuat.
KKKHHHH!! Andre merasakan sakit yang tak terperi di area perutnya. Mata membelalak dengan mulut terbuka. Detik berikutnya dia merasakan tubuhnya melayang—membuat kursi jatuh bergelimpang—sebelum menggelundung di lantai.
Andre mengerang, badannya sakit semua. Namun pandangannya … kian lama mencerah. Pikirannya yang semula terbebat kemelut, perlahan terurai. Dalam engahan napas tak beraturannya, Andre melihat cahaya dalam gelap. Tiba-tiba di matanya, lampu di atas sana menjadi sangat cerah.
Lampu yang sangat jauh di atas sana …
Lampu yang selalu menerangi tapi tak akan mampu ia raih jika dia diam di sini.
Ya. Hati Andre mantap meyakini satu hal: Jika dia diam, tak akan dia menghasilkan sesuatu. Dia harus bergerak, melakukan inisiasi dengan apa pun konsekuensinya.
"Bang, lu tahu ..." Andre memanggil Hesa. Hesa yang masih di tempatnya hanya berdiri dan membersihkan debu, ia tak beranjak mendekat. Namun Andre tahu dia mendengarkan apa yang tengah ia bicarakan. Karena itu … menghirup napas dalam-dalam, meski sambil terkapar tak elegan di lantai, Andre penuh keyakinan menyatakan rasanya yang terpendam, "dari kecil gua cinta banget sama lu!"
Hanya saja di saat bersamaan, sebuah suara menggelegar di pintu masuk ruangan VIP. "Hesa! Gua bawain tamu agung buat lu~"
Andre membelalak. Ia buru-buru duduk dan seketika petir besar serasa menyambar dirinya. Dia kaku di tempat.
Di depannya, dia melihat Hesa menoleh ke arah pintu masuk ruang VIP dan memandang lurus seseorang di sana … ke arah seorang remaja berambut coklat dengan mata biru indah menyala yang tengah berdiri di belakang ketua EM mereka.
Andre merasa dunianya hancur. Dia mengira … dia bisa menyatakan rasanya sebelum mereka bertemu. Sebelum Hesa melihat siapa yang diundang oleh Haris Wijaya jauh-jauh dari Jakarta, tapi sekarang … kesempatannya hilang.
"Sean … Dwiki Ardanta?"
Andre hanya bisa memejamkan mata ketika nama itu meluncur dari bibir Hesa. Ada setitik rasa terkejut di sana, pun dengan ketak percayaan. Ada pula … rindu.
Senyum simpul merekah di bibir Andre. Tak perlu melihat mimik Hesa, dia tahu bagaimana raut saudaranya itu.
Sudah. Berakhir sudah.
Dia sudah kalah.
Andre hanya mampu menunduk. Sebening air mengalir dari manik abu-abunya. Mereka turun meluncur dan menggores pipi sebelum menetes jatuh ke lantai.
[]
Kasihan nggak sih sama Andre? Atau Herma? Hngggghhh~