"Alira kapan mau punya pacar?"
Pertanyaan dari mamanya membuat Alira hampir saja tersedak. Baru jam enam pagi tapi mamanya sudah memberikan pertanyaan yang mengerikan.
"Nggak usah alay. Mama tau kalo kamu pasti pengin punya pacar, kan?" sindir Bu Aryani sambil menata makanan di meja makan.
"Enggak kok, Ma. Mama jangan ngada-ngada deh," kata Alira.
"Sayang sama muka kamu loh," Bu Aryani kembali berucap.
"Apanya yang sayang, Ma? Sayang sama siapa?" tanya Alira bingung.
"Sayang sama muka kamu," jawab Bu Aryani.
Sayang muka? Makasud mama itu gimana? Sebentar-sebentar. Otak Alira masih berkelana dengan tokoh fiksi yang semalam baru saja berkencan dengan kekasihnya.
"Cantik cantik tapi masih sendiri," Bu Aryani melirik sekilas putrinya.
Kali ini Alira paham dengan arah dari pembicaraan mamanya. Namun dengan cepat Alira menggeleng.
"Pacaran nggak bakal ngebuat kita kaya, Ma. Cuma nambah beban doang," kata Alira sembari mengunyah makanannya.
"Belum pernah dicoba itu jangan sok tau," elak Bu Aryani menyodorkan segelas susu putih ke hadapan putrinya.
"Enggak mau nyoba dulu deh. Takut sakit hati," kata Alira terlampau jujur.
"Kebanyakan nulis cerita pasti, kan? Jadi pikirannya kemana-mana," tebak Bu Aryani.
"Nah, itu dia, Ma! Mending pacaran sama tokoh fiksi aja, nggak bakal ngebuat sakit hati Alira," seru Alira bersemangat.
"Iya, tidak bakal sakit hati. Tapi tidak bisa benar-benar dimiliki."
Alira tetap teguh dengan pendiriannya. "Kadang yang cuma jadi khayalan itu justru lebih bisa ngebuat kita nyaman, Ma"
Alira sendiri tidak tau kenapa sampai sekarang ia belum mau berpacaran. Rasanya, Alira sudah terlalu nyaman dengan kehidupannya saat ini. Alira tidak mau merusaknya dengan hal-hal yang tidak begitu penting. Seperti halnya pacaran.
***
"Eh gilak! Bakal seneng banget yang jadi pacarnya Alingga!"
"Bener. Tiap hari pasti dapat kata-kata manis terus!
"Di novel aja bisa semanis ini, apalagi di dunia nyata?!"
Alingga sudah tidak heran lagi mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut teman-temannya. Mungkin, awalnya Alingga merasa terharu atau apalah itu. Tapi semakin ke sini, Alingga merasa biasa-biasa saja mendengarnya.
"Tuh, Al. Disuruh pacaran sama para penggemar lo," tunjuk Denis pada ponselnya yang memperlihatkan komentar pada novel yang baru saja diunggah oleh Alingga.
"Sok banget emang," kata Oscar. "Pada minta Alingga taken, tapi entar kalo beneran Alingga punya cewek, baru deh terjadi patah hati sedunia."
Denis tertawa lepas mendengar ucapan Oscar. Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh temannya tersebut.
"Udah wakil Oscar aja yang pacaran. Guenya entar-entar aja," kata Alingga santai.
"Seganteng dan setajir Alingga aja lebih milih jomblo. Kenapa gue yang mukanya pas-pasan terus isi dompet kering kerontang, masih aja ngarep punya pacar?" heran Denis pada dirinya sendiri.
"Makanya sadar diri, Den. Lo sih suka kualat. Orang yang ganteng aja belum punya doi, apa kabar sama elu coba?" sindir Oscar mulai melontarkan ejekan pada temannya tersebut.
"Buruan cari cewek deh, Al. Siapa tau gue ketularan dapat cewek juga," suruh Denis pada Alingga.
"Mager," sahut Alingga.
"Gitu lah kalo kebanyakan fans. Jadi bingung, kan, mau pilih yang mana," Denis tampak menggelengkan kepalanya.
"Kadang takdir itu benar-benar diluar perkiraan kita," kata Oscar mulai memasukkan cimol ke dalam mulutnya.
"Nggak ada yang suka, ngerasa sedih karena nggak laku. Tapi kalo kebanyakan yang suka? Malah jadi bingung terus ujung-ujungnya kayak si Alingga. Berasa nggak ada minat buat punya hubungan sama cewek."
Memang aneh jika cowok setampan Alingga tidak memiliki pasangan. Padahal Alingga tidak bodoh soal cinta. Terbukti dengan buku-buku yang ditulis Alingga, sebagian besar bertema romantis.
Di SMA Starlight, ada dua jenis makhluk yang sangat sulit digapai oleh kaum wanita. Yang pertama Alingga. Cowok super care kayak dia, gampang bergaul dan pandai berkata-kata. Tapi Alingga memilih untuk tetap menyendiri dan enggan untuk berpacaran.
Terus yang kedua, ada Leo Samudera. Kata anak-anak Starlight, Alingga dan Leo adalah dua pangeran yang ada di sekolah ini. Sifat Leo memang jauh berbeda dengan Alingga. Leo terkesan lebih kaku dan irit bicara. Jika Alingga hobi mencari masalah, Leo memilih untuk menjadi anak baik-baik di sekolah.
"Udah tau yang Leo lakuin sama kelas kita belum?" tanya Denis.
"Yang kemarin dia datangin kelas kita, terus nyuruh temen-temen kita pada belajar, kan?" ucapan Oscar diangguki oleh Denis.
"Emang sok cari muka banget tuh orang. Udah dibilang jamkos, masih aja ngenyel. Orang gurunya aja nggak masalah kalo kelas kita rame, kenapa jadi dia yang ribut?" heran Denis.
"Namanya juga ketos," sahut Alingga membuat kedua temannya menoleh serempak.
Tumben sekali Alingga mau merespon topik soal Leo. Biasanya, Alingga sangat anti membahas hal semacam itu. Apalagi jika menyangkut Leo, Alingga akan memilih untuk diam.
"Jangan nyosor aja tuh mulut. Alingga lagi baik banget moodnya," Oscar buru-buru menutup mulut Denis.
"Habis kesambet apaan lo, Al?"
Alingga menggeleng. "Kesambet anaknya tuyul."
"Otaknya Alingga udah geser. Mana ada tuyul beranak. Orang tuyul aja masih anak kecil kok," ujar Denis.
"Gitu aja lo tanggepin, Den. Kayak anak kecil," heran Oscar pada temannya.
"Biarin sih. Sirik amat jadi orang," sahut Denis.
"Yee. Ogah banget gue sirik sama elo. Kayak nggak ada kerjaan lain aja," elak Oscar.
"Kita jadi ada field study apa enggak, Car?" tanya Alingga tiba-tiba membuka topik baru.
Kenapa Alingga tanya pada Oscar? Karena Oscar adalah ketua kelas di kelasnya. Otomatis kalau ada pengumuman apa-apa, Oscar adalah orang pertama yang akan tau.
"Jadi, Al" jawab Oscar seadanya.
"Ada apakah gerangan lo nanyain begituan?" tanya Denis penasaran.
"Nggak papa," balas Alingga. "Cuma pengin jalan-jalan aja."
"Halah. Duit lo kan bejibun, Al. Kalo mau jalan-jalan ke Bali, nggak perlu nunggu study tour kali," ujar Denis.
"Lo, kan, belum pernah megang duit banyak, Den. Jadi nggak bakal tau rasanya kayak gimana," sindir Oscar kembali memulai pertikaian dengan Denis.
"Maka dari itu gue sering minta traktiran ke elo sama ke Alingga. Biar seenggaknya gue ngerasain duit-duitnya anak holkay," kekeh Denis yang mengundang tawa kedua temannya.
Begitu seterusnya dan mereka akan terus mengobrol hingga bel masuk berbunyi. Tidak juga. Mereka tidak akan berhenti sampai di situ. Bahkan saat pelajaran sudah dimulai pun ketiganya akan tetap aktif mengobrol secara diam-diam.
***
"Bertemu denganmu adalah takdir. Dan mencintai kamu adalah satu hal yang mutlak dalam hidup aku."
Alira membuang napas kasar. Sejak tadi Gea terus saja membaca novel dengan suara yang keras. Membuat Alira tidak bisa fokus menulis novel yang harus ia kirim malam ini juga.
"Kecilin dikit suara lo, Ge" peringat Alira untuk yang kesekian kalinya.
"Nggak bisa loh, Al. Lagi seru-serunya tau," tolak Gea dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
Mau tidak mau Alira harus mengeraskan volume musik pada ponselnya. Berusaha untuk tetap fokus menyelesaikan pekerjaannya mumpung tugas yang diberikan oleh guru sudah ia selesaikan.
"SUMPAH GILAK! AKHIRNYA MEREKA PACARAN JUGAAA!!!"
Gea berseru heboh saat membaca bagian akhir cerita, dimana kedua tokoh utamanya resmi berpacaran.
"Gea kampret! Alay banget sih?!" kesal Alira karena Gea benar-benar mengganggunya.
"Ih, Al. Mereka beneran sweet banget," Gea menunjuk-nunjuk tulisan pada layar ponselnya.
Malas sekali Alira membaca tulisan yang ditunjuk Gea. Tahu siapa yang menulis cerita tersebut membuat Alira semakin muak.
"Alingga sweet banget sih di sini. Pacarable sekaliiii," ujar Gea kembali heboh.
"Bukan Alingga yang sweet. Tapi tokoh buatannya," ralat Alira.
"Kan yang ngebuat tetep Alingga, Al. Sama aja yang sweet juga Alingga dong," kata Gea.
"Mana ada Alingga serius sama cewek. Cuma di novelnya aja dia kelihatan oke," Alira masih tetap tidak setuju dengan pendapat Gea.
"Lagian lo ngapain sih baca novelnya dia di depan gue? Eneg tau nggak?"
Gea menyengir tanpa dosa. "Biar lo dapat inspirasi, Al. Biar buku lo bisa terbit kayak punya Alingga."
"Nggak harus Alingga juga yang lo jadikan acuan buat ngasih motivasi ke gue," timpal Alira.
"Jangan benci-benci banget loh Al sama Alingga. Entar malah jadinya elo yang suka sama dia," peringat Gea pada temannya tersebut.
Alira menggeleng. Mustahil Alira menyukai Alingga. Hubungan keduanya saja jauh dari kata akur, bagaimana cerita mereka bisa bersatu?
Tapi tunggu dulu. Alira tiba-tiba teringat dengan ucapan Alingga tempo hari. Semalaman Alira meyakinkan diri kalau ucapan Alingga hanya sebatas bualan saja.
"Lo ada ngerasa aneh sama cerita Alingga apa enggak, Al?" tanya Gea.
"Mana gue tau. Gue aja nggak pernah baca ceritanya dia," sahut Alira acuh tak acuh.
"Sini deh gue kasih tau," Gea memperlihatkan beberapa judul novel yang dibuat Alingga.
"Alingga kalo buat novel, pasti tokoh utama yang cowok itu dari keluarga yang broken home. Kayak entar jadinya si cowok itu kelihatan baik-baik aja di depan temennya, padahal aslinya dia lagi kesakitan," tutur Gea mulai menjelaskan pada Alira.
"Lo kan juga penulis ya, Al. Emang bener ya kalo ada penulis yang nulis cerita terus isinya itu kayak menceritakan dirinya sendiri. Ada apa enggak yang kayak gitu, Al?"
Alira terdiam beberapa saat. Ia sendiri tidak begitu paham. Karena kebanyakan penulis memiliki cara tersendiri untuk menemukan ide cerita. Dan hal semacam itu juga bisanya disembunyikan oleh masing-masing penulis.
"Lo tanya aja sama Alingga. Jangan tanya ke gue," ujar Alira.
"Mana tau lo punya jawaban gitu," kekeh Gea.
"Gue juga belum bisa ngasih jawaban yang memuaskan. Masih jadi amatiran," Alira kembali menjawab.
"Balik kelas yuk. Udah mau bel jam ketiga," ajak Alira sembari menutup laptopnya.
Gea mengangguk. Kemudian menyusul Alira yang sudah berdiri lalu berjalan bersama keluar perpustakaan.
***
03102021 (09.53 WIB)