"Bunda, aku mau beli susu biar sehat, kuat terus berantem sama teman-teman di sekolah," ucap bocah yang kini menginjak usia lima, Ardio duduk begitu tenang pada troli kosong yang didorong Calista, keduanya melangsungkan belanja di sebuah supermarket sore ini.
Calista mengernyit dengan kalimat terakhir yang diucapkan sang putra. "Lho, kok berantem? Dio suka berantem di sekolah? Dio mau bunda marah?"
Dio yang duduk menghadap sang ibu kini tampak memelas dan menggeleng. "Enggak, Dio nggak mau lihat Bunda nangis lagi. Dio janji nggak nakal, Bunda."
Calista tersenyum. "Dio nggak nakal, Dio anak baik. Bunda juga nggak nangisin ...." Calista tak melanjutkan ucapannya, untuk apa dijelaskan kalau Ardio sendiri juga tak akan paham, anak usia lima tak layak tahu apa itu sebuah perpisahan, apalagi sudah dua tahun Ardio terbiasa tanpa kehadiran sang ayah yang kini memiliki istri baru. Ardio hanya tahu kalau ayahnya terlalu sibuk sampai jarang pulang, Calista juga belum sanggup mengatakan kejujuran pada putranya.
"Aku mau susu yang itu, Bunda. Biar cepat tinggi kayak om basket yang di tivi itu," tunjuk Ardio pada susu yang terbungkus kardus biru di deretan merek susu khusus anak-anak.
"Coba bunda lihat." Calista mendorong trolinya lebih dekat ke area susu yang dimaksud Ardio, wanita itu meraih kardus dan mengecek usia serta beberapa hal yang perlu diperhatikan, Calista memang selektif jika memilih sesuatu yang harus dikonsumsi sang putra. "Jangan yang ini, Dio. Susu yang ini enggak boleh buat usia lima, kenapa nggak yang lama aja? Itu juga cokelat kesukaan Dio, kan?"
Ardio mengerucut, ia tak suka dengan penolakan sang bunda. "Kok nggak bisa? Semua susu kan sama, Bunda. Dari sapi!"
Calista tertawa kecil, kalau sudah marah begitu ekspresi Ardio lebih menggemaskan lagi. Calista letakan lagi kardus susu tadi di tempatnya, ia beralih meraih kardus susu kuning berperisa cokelat yang biasa dikonsumsi Ardio, Calista letakan sekitar empat kardus susu di troli.
"Masa ini lagi, Bunda? Dio bosen!" Ardio melipat tangan di dada, ia mengalihkan pandang saat Calista menatapnya.
"Susu yang tadi buat dua belas tahun ke atas, kalau Dio kan baru lima tahun, nanti ya tujuh tahun lagi Dio baru bisa minum susu yang tadi," jelas Calista, setiap anak memang perlu penjelasan secara rinci, tapi harus dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti mengingat batas usia mereka.
"Tujuh ya, Bunda?" Ardio menatap kesepuluh jemarinya, ia hitung semua dan hanya mendapatkan hasil sepuluh saja, bukan dua belas seperti yang Calista katakan tadi. "Nggak bisa, Bunda. Dio cuma punya sepuluh nih." Ardio mengangkat kedua tangannya seraya menunjukan sepuluh jemari mungil itu.
"Ditambah kaki, nanti jadi dua belas, Nak." Calista dorong troli ke arah lain, ia meraih dua kardus cereal yang sering Ardio konsumsi, wanita itu terus memilih banyak hal yang harus dibelinya hari ini seraya menanggapi ocehan Ardio yang terus mengomentari setiap barang di troli, meski cukup sesak oleh banyaknya barang, tapi Ardio enggan mengalah untuk turun dan melangkah di sisi sang bunda. Jika Agita—pengasuh Ardio—hari ini bekerja, pasti Calista takkan serepot itu. Agita hanya bekerja di hari Senin sampai Sabtu saja, sedangkan Minggu adalah masa quality time untuk Calista dan Ardio.
Terakhir, Calista dorong troli yang mulai penuh itu ke bagian sayur dan daging, ia suka menyimpan banyak bahan makanan di kulkas mengingat tak setiap hari bisa berbelanja pada tukang sayur yang biasanya lewat di depan rumah, mungkin untuk bahan-bahan tertentu saja Calista biasa menitipkan uang pada Agita.
"Bunda, aku mau wortel biar mataku tambah bulat, biar lucu kayak kelinci di rumah," celoteh Ardio saat Calista sibuk meraih beberapa sayuran. Wanita itu terkekeh mendengar celotehan anaknya.
"Besok Ardio mau dimasakin apa sama bunda?" tanya Calista seraya meletakan wortel serta brokoli ke troli, ia juga meraih sayuran lain sebelum dorong troli itu ke bagian daging yang letaknya tak jauh dari stand sayur.
"Bento nasi gulung daging, Bunda!" seru Ardio membuat beberapa pengunjung supermarket menoleh ke arahnya.
"Sst, jangan keras-keras dong, Nak. Nanti ganggu yang lain," tegur Calista lembut, "iya besok bunda buatkan bento nasi gulung daging kesukaan Dio."
Terlalu enerjik, kalimat itulah yang pantas disematkan untuk seorang Calista Evanya nan menyandang status sebagai seorang janda. Menjadi single parent bukan berarti tak bisa melakukan sesuatu yang biasa dilakukan seorang laki-laki, sebab Calista yang notabene seorang ibu pun merangkap menjadi tulang punggung untuk keluarganya yang tak lengkap itu. Beruntungnya saat masih bersama Ardan, memang Calista sudah bekerja dan terbiasa mempercayakan Ardio pada pengasuh di rumah, terkadang orangtua Calista juga datang ke rumah untuk menjenguk cucu mereka yang menggemaskan dan penuh akal itu.
Sebagai sosok seorang ibu, Calista melakukan perannya sebaik mungkin, ia menuruti apa saja yang diinginkan Ardio asalkan dalam batas wajar, gadget juga bukan masalah asalkan Ardio tak melewati batas waktu yang ditentukan Calista untuk memainkannya. Di rumah juga tersedia tempat bermain khusus untuk bocah laki-laki itu, atau halaman belakang rumah yang ditumbuhi rumput jepang dan aman digunakan bermain oleh anak-anak.
Calista memperhitungkan banyak hal demi tumbuh kembang anak semata wayangnya yang semakin beranjak dewasa itu, meski baru menginjak Taman Kanak-Kanak, tapi Ardio disiplin sekali untuk banyak hal. Bocah itu sudah bisa memakai seragamnya sendiri meski berantakan, dasi kupu-kupu juga kadang terbalik, dan resleting celana lupa dinaikan. Tak apa, setiap anak perlu belajar banyak hal sesuai porsi mereka, dan Calista terbiasa menanggapi segala ocehan Ardio yang memang rajin bertanya saat melihat sesuatu yang baru di matanya.
"Tapi, buatnya dua ya, Bunda," ujar Ardio saat Calista meletakan dua styrofoam berisi dada ayam fillet serta smooked beef di troli.
"Kenapa dua, Nak? Memang yang satu buat siapa?"
"Bu guru!"
Calista mengernyit. "Bu guru? Kenapa?"
"Bu guru nggak pernah makan kalau Dio sama teman-teman lagi makan. Kasihan, nanti kelaparan, Bunda. Nanti kalau bu guru sakit, nggak bisa ajar Dio lagi," sahut Ardio dengan polosnya, tapi Calista sangat kagum dengan pemikiran bocah itu meskipun tak mungkin juga gurunya di sekolah tak makan, setidaknya Ardio memiliki rasa belas kasih dan peduli sesama.
"Oh gitu, iya besok bunda buatkan dua ya. Sekarang terakhir, bunda mau ambil buah. Dio mau apa?"
"Apa aja, pisang jangan lupa, Bunda."
"Oke!"
Setelah troli benar-benar penuh sampai Ardio akhirnya mengalah dan turun berjalan di sisi Calista, mereka pergi ke kasir untuk membayar semua belanjaan yang cukup banyak itu. Calista gendong Ardio saat petugas kasir menghitung total belanjaannya, ia tak suka jika orang-orang menatap Ardio terlalu intens mengingat banyak kasus penculikan anak, Calista selalu berjaga jika hanya pergi berdua dengan anaknya.
"Mas, nanti bawakan kantung belanjaan saya ke mobil ya," ucap Calista pada karyawan laki-laki yang berdiri di sisi kasir perempuan, karyawan berseragam kuning itu telah memasukan semua belanjaan Calista yang berakhir di lima buah kantung besar. Calista memberikan kartu kreditnya untuk membayar, setelahnya ia bergegas menghampiri pintu keluar seraya menggendong Ardio dan membiarkan crew store tadi membawakan semua belanjaannya ke mobil.
"Turun, Bunda! Nanti capek gendong Dio terus," rengek bocah itu seraya menatap sang bunda yang tersenyum dan mengangguk, baru saja diturunkan—ternyata Ardio berlari begitu saja menghampiri pintu utama, hal itu membuat Calista panik bukan main.
"Hey! Jangan lari, Nak!" pekik Calista seraya berlari, tapi bocah kecilnya enggan memedulikan teriakan sang bunda yang ketakutan itu, sampai akhirnya Ardio menubruk seorang pria yang baru saja keluar dari mobilnya di area parkir.
"Aduh! Sakit, Bunda," rengek Ardio saat dirinya terjerembab di selasar seraya mengusap keningnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya pria dewasa yang tadi ditubruk Ardio, ia terlihat berjongkok dan membantu bocah itu berdiri, ia mengusapi kening Ardio dan merapikan rambutnya. "Ibu kamu mana? Kenapa anak kecil lari-lari sendirian di tempat seramai ini?"
"Ardio!" bentak Calista yang baru sampai di lokasi kejadian, ia meraih Ardio dan menggendongnya. "Bunda nggak suka ya kalau Dio lari-lari kayak tadi. Bahaya, Nak."
"Maaf, Bunda." Ardio memeluk leher sang ibu dan membenamkan kepalanya di caruk leher Calista yang tertutup hijab, jika sudah begitu artinya Ardio menyesali perbuatan jahilnya. "Jangan marah, Bunda."
"Enggak."
"Saya pikir dia memang dibiarkan lari sendirian di tempat seramai ini," ujar pria yang masih berdiri di dekat mobilnya, ia memperhatikan interaksi ibu dan anak di depannya.
Calista menatap pria itu. "Maaf ya, Ardio memang suka begitu, saya juga nggak mungkin biarkan dia lari-lari di tempat seperti ini. Sekali lagi maafkan anak saya." Calista melihat sebuah kalung dengan bandul salib yang melingkari leher pria itu, Calista tersenyum tipis. "Saya permisi."
"Eh ...." Pria itu menghela napas panjang, ia membiarkan Calista pergi menghampiri mobilnya bersama bocah kecil tadi, ia tersenyum kecil. "Anak sama ibu yang kompak."
***
Pukul sepuluh malam, jemari Calista masih menari di permukaan keyboard laptop, wanita itu masih sibuk mengerjakan tugas kantornya sekalipun rasa kantuk mendesak agar Calista berhenti, selama pikirannya masih terpaut dengan urusan kantor, maka ia tak bisa tidur tenang. Sedangkan makhluk kecil nan tampan terlelap begitu nyenyak di belakang sang ibu beserta selimut yang membelit tubuhnya, Calista menyediakan kamar sendiri untuk Ardio, tapi bocah kecil itu memang lebih suka tidur dengan sang ibu setelah parno hanya karena teman di sekolahnya menakuti Ardio dengan sosok hantu kertas ala Spongebob yang suka muncul di jendela kamar.
Ponsel yang tergeletak di nakas terus menampilkan layar yang menyala saat sebuah panggilan masuk terjadi, tapi tak mengusik Calista sama sekali—setelah silent mode diaktifkan, ia tak tahu kalau nama Ardan tertera di layar ponselnya malam-malam begitu.
Calista kembali menguap lebar, ia menoleh pada gelas berisikan kopi yang sempat dibuatnya sebelum masuk kamar setengah jam lalu, pasti kopi yang tergeletak di laci sebelah kanan ranjang itu sudah dingin setelah dilupakan oleh pembuatnya.
Calista beranjak turun, ia meraih gelas kopi itu dan meneguk isinya hingga sisa setengah, Calista mengusap sisa air kopi dengan ibu jarinya sebelum mengalihkan tatapan pada ponsel di nakas yang masih saja menyala terang.
"Kenapa itu?" Calista meraih ponselnya, saat ia hendak mengangkat panggilan itu, ternyata sudah lebih dulu diakhiri oleh nomor Ardan. "Kenapa dia malam-malam telepon?" Kali ini terdengar suara klakson mobil di luar rumah Calista, buru-buru wanita itu beranjak keluar kamar dan menghampiri pintu utama yang terkunci rapat, Calista sampai pontang-panting menyalakan lampu rumah hingga semuanya terang-benderang.
Calista memutar kunci hingga pintu utama dapat dibuka, wanita itu keluar dan mendapati mobil hitam menepi di dekat gerbang rumahnya. Calista familier dengan mobil itu—mobil sama yang sering ia tumpangi dulu—dua tahun lalu sebelum perpisahan mereka benar-benar terjadi.
Calista mengembuskan napas panjang seraya melangkah menghampiri gerbang, sosok Ardan tampak berdiri menunggu di balik gerbang.
"Buat apa Ardan malam-malam ke sini," gumam Calista yang hanya mengenakan piyama panjang serta hijab simple.
Wanita itu membuka gerbang dan mendorongnya sedikit hingga tubuh mungilnya bisa keluar. Ia bersidekap menatap Ardan yang kini tersenyum simpul.
"Maaf, hape saya silent, jadi nggak tahu kalau kamu telepon," ucap Calista membuka percakapan, sikapnya selalu biasa saja, dan Calista tak pernah menyimpan dendam sedikit pun pada Ardan meski sakit hati pernah begitu mengganggu hidupnya.
"Nggak apa-apa, saya juga yang salah malam-malam hubungi kamu, ganggu istirahat kamu."
"Oh, enggak kok. Saya lagi kerjakan tugas kantor, ada apa memangnya malam-malam ke sini? Istri kamu memang izinkan suaminya pergi selarut ini?" Calista melihat ke arah mobil dan tak menemukan siapa-siapa, Ardan memang sendirian.
"Saya belum pulang ke rumah kok, ini baru lembur juga di kantor. Saya mau ketemu Dio, udah tidur ya?"
Calista mengangguk. "Besok lagi aja, sekarang juga udah malam. Kalau ada tetangga tahu, nggak enak di saya, nanti mereka mikir macam-macam ada laki-laki masuk rumah saya malam begini."
"Tapikan saya—"
"Bukan siapa-siapa lagi sekalipun kamu ayahnya Ardio, paham?" Calista memperingatkan posisi Ardan sekarang, yang jelas bukan di sampingnya lagi, tapi sangat jauh di belakang dan tak mungkin dijangkau Calista.
Ardan menghela napas panjang, ia kembali dihadapkan pada kenyataan kalau mereka hanyalah sebatas mantan suami istri, bukan lagi sepasang, apalagi sekarang Ardan sudah memiliki istri baru sesuai keinginan Maya, sesuai skenario yang Maya siapkan sejak lama.
"Iya, saya paham. Maaf kalau ganggu malam kamu, kalau begitu ... saya langsung pulang sekarang."
"Silakan." Calista menatap keadaan sekitar, komplek tempat tinggalnya memang sudah sepi jika menemui jam-jam tersebut, sebab kebanyakan dari mereka yang tinggal di tempat ini adalah pekerja kantoran seperti Calista, jika sudah pulang—maka istirahat adalah sesuatu yang paling diutamakan. Hanya saja, Calista memang bukan wanita yang suka meninggalkan tugasnya, apalagi besok deadline.
"Oh ya, lain kali jangan mengandalkan satpam komplek yang cuma keliling sebentar. Kamu cuma berdua sama Ardio, mending sewa satpam khusus buat di rumah," ujar Ardan tampak tenang, tapi tak mengurangi rasa khawatirnya.
"Iya, nanti saya pikirkan lagi."
Mantan suaminya itu bergerak masuk ke mobil dan duduk di balik kemudi, setelahnya lampu sen menyala sebelum kendaraan roda empat tersebut melaju meninggalkan kediaman Calista.
***
Calista turun dari mobilnya tepat di parkiran kantor tempatnya bekerja, Calista adalah wanita karier di bidang public relation yang mengurus segala hal terkait komunikasi, baik dalam atau luar perusahaan. Tugas seorang public relation adalah memastikan kalau citra perusahaan di mata masyarakat tidak buruk.
Wanita itu menghampiri beranda kantor, Pak Bagas—satpam kantor yang bertugas shift pagi membukakan pintu kaca tebal untuk Calista.
"Selamat pagi, Bu Calista," sapa Pak Bagas seraya menyungging senyum, melihat Calista yang selalu berhijab membuat arah pandang Pak Bagas enggan beralih dari wanita itu, look dari seorang Calista memang begitu meneduhkan, siapa pun yang melihatnya—selalu merasa tenang, inner beauty yang muncul dari diri Calista memang cukup kuat.
"Pagi, Pak Bagas. Teman-teman saya udah datang semua belum ya?" Wanita itu mengedarkan pandang ke area lobi, beberapa orang berlalu-lalang, tapi tak ada teman-temannya di antara mereka.
Pak Bagas menerawang. "Kalau Mbak Aulia sih udah masuk tadi, Bu. Mungkin udah di kubikelnya."
"Oh gitu, saya permisi dulu."
"Silakan."
Calista melangkah menghampiri lift, ruang kerjanya ada di lantai tujuh, tapi kali ini ia menekan tombol nomor lima—lantai tempat kubikel Aulia berada. Wanita itu membawa dua tote bag berisikan bekal yang dibuatnya sendiri saat di rumah, Calista memang jarang sekali memesan makanan siap saji atau di kafetaria kantor.
Tepat setelah keluar dari lift, tatapannya bertemu sejenak dengan sosok yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu ketika berbelanja dengan Ardio, sosok sama yang sempat ditubruk Ardio saat bocah itu berlarian sendiri sampai membuat Calista kesal.
Calista melangkah melewati pintu lift, tatapan mereka masih sama-sama menghunjam, pria berjas abu-abu tersebut mengamati Calista dari ujung kaki hingga kepala, apa yang menempel di tubuh Calista beserta inner beauty wanita itu terpancar jelas, membuat orang lain piawai terpaku dan enggan mengalihkan pandang.
"Pagi, Pak Anton," sapa Calista pada atasannya yang berdiri di sisi pria berjas abu-abu tadi.
"Pagi, Calista. Mau ke tempat siapa? Kok di lantai lima?" tanya Anton basa-basi, sejujurnya ia juga menaruh rasa pada Calista meski memiliki seorang istri sekalipun, mata laki-laki memang tak bisa menipu, sekali lihat yang bening-bening langsung terhanyut seolah serangga yang masuk kantong semar dan terus terjebak di sana.
Calista mengangkat tote bag di tangannya. "Ini, saya mau antar satu bekal saya buat Aulia, dia tadi pagi whatsapp minta dibawakan bekal buatan saya, Pak. Kalau begitu, permisi ...." Calista melenggang pergi seraya tersenyum tipis, ia tak memedulikan sosok yang masih bergeming menatapnya tanpa kedip.
"Woy! Kesurupan lo!" Anton terkekeh setelah menepuk bahu Dylan yang sejak tadi masih menatap kepergian Calista, aroma parfum lembut wanita itu terus membaui indra penciuman Dylan.
"Dia siapa? Kerja di sini?" tanya Dylan to the point.
"Yang tadi? Calista, iya dia public relation perusahaan ini. Mantap, kan? Langsung naksir ya."
Dylan menoyor kepala Anton. "Biasa aja, cuma ... pernah ketemu beberapa hari lalu, pas dia sama anaknya keluar supermarket."
"Oh gitu, dia janda, Bro."
"Jan-da?" Dylan mengulang dialog Anton tadi.
"Iya, janda paling cantik di kantor ini, udah dua tahun jadi janda sejak cerai sama Ardan. Kalau si Ardan dulu rekan bisnis gue juga, cuma udah pindah kantor."
"Oh gitu, tapi ... menarik juga sih." Dylan tersenyum sendiri mengingat tatapan Calista tadi yang teramat meneduhkan.
"Naksir ya, nggak cocok lo sama dia, kalian beda banget, Bro." Mestinya Dylan memahami maksud perkataan Anton tentang apa itu 'perbedaan'.
Dylan mengangguk, ia tahu ke mana arah percakapan Anton barusan. "Gue langsung pergi ya sekarang." Dylan menekan tombol lift hingga pintu terbuka, laki-laki itu masuk dan meninggalkan Anton yang melambai tangan padanya.
Siapa tadi? Calista, Calista, Calista. Dylan sibuk merapal nama Calista dalam benaknya, ia kembali tersenyum penuh arti.
Melihat wanita itu lagi membuat memori Dylan tentang pertemuan pertama kali mereka di area parkir supermarket tempo hari bak ombak nan bergulung cepat menghampiri, tak disangka pertemuan singkat mereka ternyata belum berakhir, dan hari pertamanya datang ke kantor sang ayah justru mendapat reward nan begitu menarik.
Pintu lift terbuka di lantai utama, langkah kaki Dylan membawa raganya keluar dari sana, pintu tertutup otomatis. Namun, baru beberapa langkah ia maju—tubuhnya kembali memutar menatap pintu lift, ia seperti kebingungan. "Gue mau ngapain ya?"
Ia berpikir sejenak, tapi setelahnya mendesah karena merasa isi pikirannya mulai kacau hanya karena mengingat nama seseorang tiada henti. "Itu si Calista kenapa sih, kok gue jadi bingung." Senyum kecilnya terbit, ia mendesah merasa konyol atas sikap semrawutnya saat ini. Dylan berusaha menekannya pergi.
Hanya saja sikap anehnya kembali muncul saat Dylan hendak keluar dari lobi, tanpa ia pikir lebih dulu laki-laki 28 tahun tersebut memutar tubuh dan bergerak menghampiri lift kembali seraya mengarahkan ponsel ke telinga usai mendial nomor Anton, padahal mereka sudah bertemu tadi. "Oh ya, gue ada yang kelupaan, boleh gue ke ruangan lo lagi kan?"
***
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT