"Ini kamarmu." Ecatarina membuka sebuah pintu berbahan kayu yang dicat putih krem dan cahaya lampu segera merembes keluar dari arah dalam.
Mata Mihai berbinar-binar melihat isi ruang kamar.
Senada dengan warna pintunya, dinding di dalam kamar juga berwarna putih krem polos dengan list berwarna sama yang terukir dengan motif melengkung-lengkung. Mihai tidak paham motif apa itu karena ia tidak memiliki sense seni. Yang bisa ia katakan hanyalah, motif itu terlihat indah.
Di dalam kamar yang diterangi oleh sebuah bola lampu itu, terdapat sebuah tempat tidur king size yang dibaluti oleh seprai berwarna coklat gelap dan bed cover berwarna krem dengan bahan mengkilap. Di samping tempat tidur, terdapat sebuah nakas berbahan kayu yang dilengkapi dengan lampu tidur di atasnya. Di seberang tempat tidur, terdapat sebuah lemari pakaian besar dan di samping lemari itu terdapat sebuah pintu yang terhubung ke kamar mandi pribadi. Tidak hanya itu, tepat di seberang pintu masuk kamar, terdapat sebuah pintu kaca tinggi serta jendela yang tertutup gorden transparan serta gorden tebal berwarna coklat gelap di atasnya. Jika pintunya dibuka, sebuah beranda dengan pagar berwarna putih berukir lengkungan-lengkungan indah akan terpampang di depan mata. Di tengah beranda tersebut terdapat sebuah meja bulat dan dua kursi yang berhadap-hadapan bercat putih dan dililit dedaunan dan bunga palsu di beberapa bagiannya sebagai hiasan.
Kamar itu sangat luas dan jika Mihai tidak salah, luas ini sudah mencakup hampir setengah dari rumah keluarganya.
Ia tidak terlalu memperhatikannya ketika ia menyelinap ke dalam kamar Luca, tapi seharusnya kamar Luca hampir dua kali lipat lebih besar dari kamar ini.
'Orang kaya memang berbeda!' Pikirnya setengah kagum setengah kesal karena hidup pria menyebalkan itu jauh lebih baik dibandingkan dirinya dan keluarganya yang baik hati.
Liviu sendiri juga sudah kehilangan seluruh kesedihannya dan ikut terkagum-kagum melihat sekelilingnya, berwajah sama dengan sang papa.
"Pfft...." Ecatarina tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil.
'Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya,' batinnya.
"Mihai, aku akan membawakan baju ganti untukmu dan Tuan Muda Liviu. Baju seperti apa yang kalian inginkan?"
Mihai masih terlalu terpana oleh kamar ini sehingga tidak terusik oleh cara Ecatarina dalam pemanggilan dirinya dan anaknya yang begitu berbeda. "Bawa pakaian mirip seperti yang kami pakai saja!" ujarnya sambil berjalan mendekati beberapa perabotan dan mulai mengeksplornya.
Ecatarina melihat papa dan anak yang sejak pertama kali muncul di kediaman itu selalu mengenakan kaos putih polos dan celana hitam.
"Baiklah," ujarnya setelah beberapa saat lalu berjalan pergi.
Sebelum pergi, ia meletakkan sebuah kunci dan memesan bahwa kamarnya tidak akan bisa terbuka tanpa kunci jadi Mihai harus selalu ingat untuk membawanya.
Mihai mengangguk dan terus mengamati perabotan yang ada. Semuanya ia ambil dan ia selidiki dengan seksama, bahkan rak nakas sekalipun.
'Bahannya, teksturnya!' Semuanya sangatlah berbeda dengan yang ada di rumah. Bahkan melalui penglihatannya saja, Mihai dapat merasakan perbedaannya.
Ia berjalan menuju lemari pakaian dan bermaksud mengeksplor bagian dalamnya. Namun....
"??"
Tangan Mihai berusaha menarik pintunya tapi pintu itu sama sekali tidak terbuka.
"? Apa tersangkut?"
"Da?"
Liviu dan Mihai saling bertatapan dengan bingung.
'Sayang sekali kalau barang mahal seperti ini memiliki bagian yang rusak,' pikir Mihai yang masih terus berusaha menarik pintu itu.
Di saat yang sama, Ecatarina kembali masuk dengan membawa beberapa set pakaian baru. Ketika ia melihat apa yang sedang Mihai lakukan, ia hendak angkat bicara....
Kriet....
"Ah! Akhirnya terbuka!"
Ecatarina terbelalak melihat apa yang terjadi di hadapannya. 'Apa aku berhalusinasi?'
Namun, Mihai yang ada di hadapannya sudah sibuk mengeksplor isi lemari yang akhirnya berhasil terbuka.
Tidak butuh waktu lama untuk Ecatarina kembali tenang dan berekspresi seperti biasa. Ia berjalan menuju tempat tidur dan meletakkan pakaian-pakaian baru itu.
"Mihai dan Tuan Muda Liviu, silakan pakaiannya. Ambillah masing-masing satu set untuk malam ini dan aku akan memasukkan sisanya ke dalam lemari," ujar Ecatarina, menarik kembali perhatian anak dan papa itu kepadanya.
"Oh, ok!"
Mihai memilih satu set pakaian terdiri dari kaos oblong tipis dan celana kain yang tidak cocok dengan musim dingin tapi merupakan pakaian yang biasa digunakan Mihai. Lantaran, keluarganya miskin dan akibat darahnya yang memang panas, ia tidak gampang kedinginan.
Setelah memilih pakaiannya, ia beralih ke tumpukan pakaian anak kecil dan tertegun.
Tumpukan itu terdiri dari pakaian imut dan manis khas anak-anak yang terbuat dari bahan berkualitas tinggi sehingga nyaman untuk dipakai. Mihai bahkan tidak pernah memegang satu pun pakaian dengan bahan selembut dan senyaman itu!
Ia kembali melirik tumpukan kaos dan celana yang disiapkan untuknya. Merasakan kainnya, Mihai yakin itu adalah tumpukan pakaian murah yang dijual di pasar para half-beast.
'Perbedaan apa ini yang aku rasakan?'
Seperti dapat memahami pikirannya, Ecatarina ber-fufufu lembut sebelum berkata, "Terserah kau mau berpakaian seperti apa tapi aku tidak bisa membiarkan Tuan Muda memakai pakaian murahan seperti itu."
"Eh? Kau tidak bisa membawakanku pakaian dengan kualitas yang lebih bagus?" Baru pertama kali, Mihai ingin bertukar posisi dengan Liviu saja.
"Kami tidak punya begitu banyak uang untuk membelikanmu pakaian, fufufu...."
'Perbedaan apa ini yang aku rasakan?!'
Tidak perlu dipertanyakan lagi! Jelas-jelas ia tidak dihargai di sini!
Urat-urat bermunculan di dahi Mihai.
Ecatarina sendiri tidak peduli dengan hal itu dan sudah berlenggak-lenggok keluar kamar sambil masih tertawa lembut.
"Sialan!! Aku juga istri Tuanmu! Hargailah aku sedikit!" Mihai langsung mengeluarkan kekesalannya tepat saat Ecatarina menutup pintu kamar.
"Da!" Liviu berseru seperti menyetujui pernyataannya.
Mihai mendengus kesal. Ia tidak tahu apa kesalahannya sampai harus diperlakukan seperti ini. Bahkan....
Mihai melirik putra kecilnya.
"Daa?" Liviu menatapnya dengan tatapan bingung yang polos.
"Hah...." Mihai menghela napas panjang.
'Posisiku bahkan lebih rendah dari anakku sendiri....'
"Daa?"
*****
"Ini kamar Vasile!" Daniela membuka pintu dan langsung berseru dengan riang seperti sedang memperkenalkan mainan barunya.
Toma berjalan masuk ke dalam kamar luas yang penuh dengan buku dan kertas-kertas. Bahkan terdapat sebuah meja kerja yang lengkap dengan alat tulis, amplop, dan segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengurus urusan persuratan.
"Ini adalah kunci kamarnya. Jangan lupa untuk membawanya kalau kau keluar dari kamar!" pesan Daniel yang sama riangnya.
"Oh ... ba—baiklah...." Toma ragu-ragu mengambil kunci itu dari tangan Daniel. Entah mengapa, ia merasa kedua anak ini bukanlah anak-anak biasa sehingga ia tidak bisa menurunkan pengawasannya.
Daniela dan Daniel berputar kecil lalu menyatukan kedua tangan mereka. "Kami akan membawakan makan malam dan pakaian baru! Apa ada request?" tanya mereka dengan nada, intonasi, dan kecepatan suara yang sama persis.
Toma berpikir sejenak sebelum menggeleng kecil.
"Baiklah!" seru keduanya lagi lalu menutup pintu dan pergi.
Ditinggal sendiri di dalam kamar, Toma tidak bisa merasa lega.
Matanya langsung menelusuri kamar yang walaupun luas tapi sesak karena banyaknya barang. Ia memastikan tidak ada kamera atau apapun yang membuat Vasile atau siapapun di rumah ini bisa melihat pergerakannya sekarang.
Namun, walaupun ia tidak menemukan kamera, ia tetap tidak bisa tenang karena incubus bisa menggunakan sihir. Bisa saja ada sihir pengintai yang tak kasatmata di dalamnya.
Setelah berpikir untuk beberapa saat, akhirnya, Toma memutuskan untuk menyelidiki barang-barang Vasile.
Vasile Mocanu adalah asisten satu-satunya yang dimiliki oleh Luca Mocanu selama masa hidupnya. Posisi ini tidak pernah tergantikan oleh orang lain memperlihatkan betapa percayanya Luca Mocanu kepada asistennya itu.
Itulah mengapa Toma memutuskan untuk mendekati Vasile karena tidak hanya berharap untuk bisa berada lebih dekat dengan Luca Mocanu, ia juga bisa mendapatkan informasi-informasi mengenai pemerintahan Kota Rumbel. Jika ada informasi yang penting dan mengancam kaumnya, ia akan segera mengirimkan informasi itu kepada organisasi GOHABI.
Dengan hati-hati, ia berjalan menuju sebuah lemari besar dengan pintu kaca yang tertutup rapat. Di dalamnya terdapat kertas-kertas yang dijilid menjadi beberapa ribu buku dan disusun rapi. Dibagian paling atas, kertas-kertasnya sudah menguning dan tampak lapuk sementara yang dibagian agak bawah masih terlihat putih memperlihatkan bahwa susunannya dibuat sesuai waktu dokumen itu diterbitkan.
Penasaran dengan isinya, Toma menarik pintu lemari itu. Akan tetapi, pintu itu tidak bergerak sama sekali.
"Aneh...."
Toma sudah mengecek pintunya dan tidak menemukan lubang kunci di pintu tersebut jadi tidak mungkin pintu lemari itu dikunci. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik pintu lemari itu tapi pintu itu tidak terlihat akan bergerak semili pun.
'Mengapa tidak bisa terbuka?!'
Toma berpindah ke lemari lain yang juga tidak memiliki lubang kunci dan berusaha menariknya. Namun, hal yang sama terjadi. Pintunya tetap tidak mau terbuka! Berpindah lagi ke lemari lain hingga kelima lemari di dalam kamar telah ia coba pun, tidak ada pintu yang bergerak.
"Apa semua ini rusak? Tapi seharusnya tidak mungkin—"
"Kau tidak akan bisa membukanya tanpa sihir dan tanda dari Tuan Luca."
"Wuah!" Toma meloncat tinggi saking terkejutnya. Tiba-tiba, sebuah suara menggema tepat di telinganya.
Dari sumber suara itu, Vasile – entah sejak kapan – sudah berdiri tegap di sana sambil tersenyum lembut. Tangannya memegang setumpuk pakaian baru.
"Mandilah dan berganti pakaian," ujar Vasile yang meletakkan tumpukan pakaian itu pada rak tak berpintu yang ada di samping tempat tidur.
'A—apa dia melihat apa yang kulakukan dari tadi? Apa dia akan menyadari alasan mengapa aku berusaha membuka lemarinya?'
Toma tidak bisa tenang. Dengan was-was ia mendekati Vasile. Matanya menatap lekat-lekat pada pria itu, berusaha mencari tahu apa yang pria itu pikirkan. Tentunya, Toma tidak menemukan apa-apa. Incubus di kediaman ini sepertinya sangat pandai menutupi pemikiran mereka.
"Kau tidak ingin mandi?" tanya Vasile lagi setelah selesai merapikan pakaian untuk Toma.
"A—aku ... mau." Melihat wajah Vasile dalam jarak dekat, bayangan ciuman yang terjadi tadi siang kembali muncul, membuatnya sedikit salah tingkah.
'Dasar! Apa yang kau pikirkan?!' Toma langsung mengusir bayangan itu.
"Mandilah dan istirahatlah. Kau pasti capek hari ini." Vasile menyerahkan handuk dan peralatan mandi baru untuknya.
Ragu-ragu, Toma menerimanya. Namun, tangannya tanpa sengaja menyentuh kulit Vasile membuatnya kaget dan menjatuhkan barang-barang itu.
"Ah ... hati-hati." Dengan sigap, Vasile menahan benda-benda itu dan meletakkannya ke dalam genggaman Toma. "Apa kau punya tenaga untuk mandi?" tanyanya sedikit cemas. Ia salah paham, mengira perilaku Toma tadi merupakan akibat dari kelelahannya.
Toma langsung mengangguk. "A—aku mandi dulu!" serunya agak sedikit tergagap. Tanpa sadar, wajahnya sudah panas dan jantungnya berdegup kencang.
'Aku tidak suka ini!' Ia tidak pernah suka saat jantungnya berdegup kencang karena banyak hal yang menakutkan terjadi di saat itu.
'Tapi ... kali ini rasanya beda....' Ini bukan rasa takut. Perasaan ini baru baginya sehingga ia tidak bisa menamainya.
Toma menutup pintu kamar mandi dan langsung menghela napas lega. Berangsur-angsur, degupan jantungnya kembali normal.
"Aneh...."
*****
Mendengar bunyi shower dinyalakan dari dalam kamar mandi, senyum di wajah Vasile luntur, tergantikan dengan ekspresi yang rumit.
Ia mendekati salah satu lemari dan membukanya dengan mudah. Tangannya memasukkan sebuah buku pada salah satu raknya.
"Hah...." Helaan napas tidak bisa ia tahan untuk tidak kabur dari mulutnya.
Melihat apa yang dilakukan Toma, ia semakin yakin bahwa pria serigala itu mencari sesuatu mengenai tuannya. Bisa saja ia masih mengincar nyawa Luca.
Memikirkan itu membuat hatinya semakin berat.
Ketika seseorang bergerak untuk mengambil nyawa orang lain, itu pastinya dikarenakan alasan yang kuat, yang sudah berbekas begitu lama di dalam hati. Semua orang yang berada di dekatnya juga seperti itu dan sulit untuk menghilangkan 'bekas' itu.
"Hah ... bagaimanapun juga, aku tetap harus berusaha mengubah pemikirannya."
Demi rasa cinta yang sudah begitu lama tidak muncul di dalam hatinya dan demi kebersamaannya dengan orang-orang terdekat sepanjang hidupnya.
Helaan napas kembali kabur dari mulutnya.
'Mengapa aku selalu memilih jalan yang sulit ... apa aku seorang masokis?'
Vasile hanya bisa menertawakan kebodohannya ini. Padahal lebih mudah mengorbankan salah satunya, tapi ia tidak mau.
"Apa yang harus kulakukan sekarang untuk mengubah pemikirannya?" Vasile menggaruk kepalanya yang pusing tujuh keliling.
Terima kasih sudah membaca dan dukungannya :)