Download App
88.88% Terjebak Di Dunia Novel Terkenal / Chapter 8: Prolog (8)

Chapter 8: Prolog (8)

Menuruni bukit, pemandangan pohon yang sama di sepanjang jalan tanah kering dan berbatu. Aku menikmati semilir angin pagi yang segar dan sinar matahari yang belum terik. Setelah beberapa menit berjalan santai, aku tiba di pemukiman yang tadi aku lihat di bukit.

Aku berbalik dan melihat Mansion tempatku berasal. Besar dan dikelilingi oleh tembok yang lumayan tinggi. Jika dilihat dari sudut pandang di sini, Mansion itu sangat berdiri tegap dan megah.

"Aku nggak nyangka habis dari sana deh ..."

Tanpa kusadari, sesuatu dengan kecepatan tinggi melintasi di samping wajahku. "Uwaa! Apa itu?!"

Siulan burung melengking di atas langit biru cerah. Ternyata burung. Aku menghela napas lega.

Semenjak Nenek menjelaskan tentang Orc. Kekhawatiranku terhadap tempat ini meningkat. Aku tidak tahu ada kebenaran apa yang menanti.

Aku kembali berjalan sembari menengok ke kanan dan ke kiri. Matahari terbit baru saja beberapa menit yang lalu, tetapi pemukiman ini sudah ramai dengan warganya yang bekerja.

Rumah bergaya klasik, berbahan campuran batu dan kayu yang tersusun rapi. Orang-orang sekitar juga ada yang memakai pakaian ala pelaut, kaos dengan panduan rompi, ada juga yang memakai topi jerami. Begitu pun dengan para wanita, memakai gaun panjang sembari membawa bakul di atas kepala atau di pinggangnya.

"Hey! Nona Muda, apa kau ingin sate?" panggil suara wanita setengah baya. Dia mengibaskan asap dari panggangan satenya kepadaku.

Aroma sedap mengusik perutku yang sama sekali belum sarapan. "Uhmm ..."

Dengan segala pertimbangan, aku mendekatinya. "Kamu kenapa memanggilku? Apa kamu yakin aku bisa membeli satemu itu?"

"Bukannya kau itu anak orang kaya yang sedang kabur dan tidak sempat sarapan? Jangan meremehkan penilaian dan firasatku terhadap orang-orang yah! Aku ini sangat tepat bila menebak status orang-orang yang berlalu-lalang," ujarnya dengan bangga.

"Alah, Bibi. Pasti kamu hanya menilai dari pakaian yang dipakainya, 'kan? Kalau hanya itu aku juga bisa dan tebakanmu terhadapku salah besar. Aku hanyalah pelayan biasa yang tidak membawa sepeser pun uang. Jadi, jangan berharap."

"A–apa?! Bibi katamu?!" Dia tersentak cukup dalam.

Kakiku melangkah meninggalkan kios pinggir jalannya yang sangat menggoda itu. Perutku sangat ingin sate yang dijual Bibi itu masuk ke dalam. Sabar, sabar!! Aku harus menahan rasa lapar ini sampai kembali ke dapur.

"Ah, tunggu dulu!" teriaknya membuatku menoleh lagi pada Bibi itu.

"Ada apa? Sudah aku bilang, aku tidak punya uang–"

"Nih!" Tangannya ke depanku dengan menggegam satu tusuk sate, "anggap saja seperti minta maaf padamu karena salah menilai. Tapi yah, aku sangat beranggapan kamu itu orang kelas atas, loh! Auramu mengatakan seperti itu jika saja tudungmu dilepas."

"Bagaimana Bibi bisa bilang gitu? Jelas-jelas aku hanya seorang pelayan yang direndahkan oleh teman—lebih tepatnya orang yang sama sepertiku? Ha, hidup jangan asal menilai sampul seseorang, Bi!" Aku secepatnya mengambil sate dari tangan Bibi itu dan memasukkan ke dalam mulut. Ah ... Bumbu gurihnya sangat enak dan menyatu ke dalam dagingnya empuk dan lembut.

"Yah ... Kamu ngomongnya sih bener. Tapi yah, Nak." Dia melepaskan ikat kepalanya dan berbicara ke nada yang lebih lembut, "aku ini bisa dibilang penilai aura. Kamu tahu Kekaisaran? Aku pernah bekerja di sana dan mengabdi kepada sang Kaisar."

Saat dibilang mengenai Kekaisaran, suaranya lebih diperkecil.

"Kamu tahu, 'kan? Kekaisaran itu banyak orang-orang yang mau jadi benalu di sana. Tapi! Berkat ada diriku ini (dulu) aku bisa mengusir mereka lewat menilai aura!"

"Ha?" ketusku kesal. Dia terus bercerita tak masuk akal dari tadi. Padahal waktu untuk di luar hanya seharian!

"Kamu masih tidak percaya?! Yah, sudahlah. Nak, tapi ya. Aku bisa menilaimu, bahwa kamu adalah—seorang yang status tinggi. Tatapan matamu memang terlihat sayu, tapi memancarkan hasrat yang membuat orang di sekitar takut. Apa benar orang-orang di sekitarmu meremehkanmu? Aku rasa tidak deh."

Aku merinding saat dia mengatakan itu. Akan tetapi, ucapannya itu membuat sedikit mengingat ingatan tentang tadi malam. Di mana saat aku melawan si cewek berbintik itu. Dia sangat ketakutan, padahal aku sama sekali tidak memukulnya.

"Mungkin, itu benar, tapi! Aku tidak percaya dengan takhayul seperti itu. Terima kasih satenya!" jawabku dan berjalan lagi meninggalkan tempatnya, "oiya, Bi. Toko buku ada di mana yah?"

"Eh? Takhayul? Ah, toko buku ada di belokan kiri sana, ada papan bentuk buku di depan pintunya jadi kamu bisa mengenalnya langsung," jawabnya langsung meskipun sedikit bingung.

"Baiklah, sampai jumpa, Bi! Sehat selalu."

Bibi itu menghela napas, "Dasar anak yang aneh. Kamu juga, jaga dirimu dan pastikan tudungmu tidak melorot!"

Aku membalas perkataannya hanya dengan anggukan dan langsung benar-benar pergi dari penglihatannya ke dalam kerumunan orang-orang. Tudung yang menutupi rambut dan setengah gaunku, aku eratkan lagi memastikan tidak lepas begitu saja. Entah mengapa perkataan Bibi itu membuatku lebih waspada lagi.

"Kekaisaran kah ..." gumamku menatap langit-langit yang semakin cerah. Aku jadi semakin yakin ini abad pertengahan. Menghela napas panjang dan staminaku mendadak lemas, "males banget, deh ... Tambah bingung aku nih–"

"Minggir-minggir!! Kereta kuda mau lewat! Cepat menyingkir semua dari tengah jalan!!" teriak memperingati dan semua orang menjadi panik menepi berdesakan. Tubuh kecilku pun terbawa arus dan otomatis sudah ada di pinggir jalan. Kereta kuda? Apa maksudnya? Bukankah ini jalan khusus pejalan kaki?

Suara derap kaki kuda semakin keras, debunya juga mengepul hebat dan tiba-tiba berhenti di jarak 10 kaki di samping kananku. Pintu kereta kuda itu terbuka kasar dan keluar seorang anak kecil laki-laki.

"Dasar kamu tidak berguna!!"

Buk!

Pria gendut dan berkumis tebal itu ikut keluar dan menginjak, menendang anak kecil tak berdaya berkali-kali.

'Siapa dia? Berani-beraninya dia memukul anak kecil sekejam itu?!' Aku mengepalkan tangan dan menyentakan gigi. Dilihat dari pakaian yang berkelas dan berbahan tinggi penuh aksesoris, dipastikan dia seorang yang kaya raya.

Saat kakiku hampir melangkah, dua orang membawa pedang di pinggang melindungi pemandangan kejam itu dengan tubuh besar dan kekarnya.

Apa yang mereka lakukan? Diam saja dan tidak menghentikan pria tua itu?!

"Dasar! Dasar! Tidak berguna!" Pria itu terus memukul dan menendang anak kecil itu tanpa henti.

'Tidak ... Jangan ...' Kakiku sama sekali tidak bergerak. Tatapan orang membawa pedang itu sangat membuatku tidak bisa bergerak. Mereka mengintimidasi suasana sekitar menjadikan semua orang diam tanpa bersuara dan hanya bisa melihat penganiayaan itu.

Kepalaku mendadak pusing dan pandangan kabur. Aku memasang kuda-kuda supaya tidak jatuh begitu saja. Sakit nyeri aneh tiba-tiba membuatku melihat gambaran—ingatan pemilik tubuh ini. Meskipun hanya sekilas, aku melihat sekeliling tempat yang terbakar oleh api dan seseorang menendang perut pemilik tubuh ini seperti anak kecil itu.

"Apa kau (pemilik tubuh ini) merasa deja vu?" gumamku tak jelas dan berusaha sadar tetap berdiri melihat anak kecil itu.

'Aku harus menyelamatkannya, kalau tidak anak kecil itu bisa mati.'

Darah mulai terlihat di tubuh anak kecil itu. Luka lebam tertera di sekujur tubuhnya juga. Aku sekuat mungkin menyiapkan tekad, bisa saja aku juga dipukuli—

—satu keajaiban yang terlihat di mataku adalah ... Anak kecil itu tidak menyerah dan langsung bangkit berlari menjauh dari pria yang memukulinya. Lalu, satu lagi. Anak kecil itu berlari ke arahku dan langsung memelukku. "Kak! Tolong saya!!"

"Dasar anak tidak tahu diri!!" teriak pria tua itu dan jarinya menunjuk ke arahku.

"...!" Aku terbelalak melihat cahaya kehidupan yang terpancar dari mata penuh air matanya.

Orang yang membawa pedang di pinggang mereka berlari kecil ke arahku dengan tenang. "Berikan anak itu."

"..." Aku tetap diam melihatnya, tentu aku sedikit menyembunyikan mataku dengan tudung.

"Pilihlah," ucapan orang ini tegas dan menggelegar membuat orang-orang di sekitar terlihat panik. Pengaruhnya sangat menakutkan. "Mati atau serahkan anak itu."

"Kalau aku menolak?" tanyaku. Namun, tindakan orang sekitar sangat kaget tak bisa berkata-kata melihatku—heran dan ketakutan.

"Kau akan mati. Jadi, kalau tidak ingin mati. Cepat. Serahkan anak itu," jawabnya dengan tenang.

"..."

Aku mengiring anak kecil yang sedang memelukku gemetar ke dalam jubah hitam yang kupakai dan memeluknya juga.

"Jadi itu jawabanmu? Baiklah kamu akan mati." Tangannya bersiap memegang sarung pedangnya.


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C8
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login