Aku melihat pakaian seragam pelayan yang sudah dilipat rapi dan harum. Tidak bau apek, amis, dan lain sebagainya. Aku terus memandangi pakaian seragamku.
'Perasaan aku tadi mandi nggak lama-lama banget deh. Kenapa bisa kering dan harum instan begini? Sudah seperti mie instan saja.'
Aku kembali terfokus ke pakaian satu lagi di samping bajuku. Aku lebarkan dan gaun hitam sedikit abu-abu memperlihatkan keindahannya. Model ini sederhana, tetapi tetap mempertahankan keindahannya dengan bordiran bunga-bunga lily yang beredar di sudut bawah rok gaun. Apa ini yang dimaksud Nenek tadi?
Aku memang punya ketidaksukaan dengan pakaian yang berbentuk rok, tetapi semenjak aku ada di sini. Semua perempuan pasti memakai gaun yang roknya panjang. Seperti para bangsawan, mereka memakai rok yang panjang dan kadang lebar, sampai aku tidak tahu sebesar apa kakinya. Pinggang para wanita bangsawan itu jadi terlihat langsing dan besar pinggulnya mengundang para pria menebak-nebak.
Aku bersyukur tidak diberi gaun model seperti itu dan tidak akan pernah memakainya!
Aku memakai seragam pelayan cepat-cepat dan membawa gaun yang diberikan Nenek itu. Di luar bangunan aku menunduk hormat dan berlari kecil ke tempat yang aku anggap sudah seperti 'Penginapan' sementara.
Suasana hatiku sangat senang. Seperti aku akan tidur dengan nyenyak dan—
Entah mengapa pikiran dan harapanku tidak bisa terpenuhi. Sekarang dihadapanku ada wanita berbintik yang pernah menamparku.
Dia menatapku tajam dan tidak suka. "Hey, Pelayan Baru. Kamu jangan sok cantik yah!"
Rambutku yang masih basah ditarik—tangan baunya menempel di rambutku yang masih wangi?!
Plak!
Aku menangkis tangannya dari rambutku. "Maaf, tapi saya–aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Namun, menurutku ini tidak adil. Wahai, Pemimpin Para Pelayan." Aku mendekat ke wajahnya dengan tatapan mengancam.
"Kau seenaknya menarik rambutku. Jika aku berbuat salah, aku akan bersabar—tapi! Ini sudah kelewatan batas, loh." Aku memiringkan kepala dan tetap menatap tajam, "awalnya aku berpikir harus menghormatimu, tapi karena kejadian nggak jelas ini. Rasa hormatku berkurang drastis."
"I, i, tu ... A, aku han, hanya–"
"Hum? Apa yang kamu coba ucapkan? Kamu nggak bisa berbicara, yah? Pufft—Aduh ..! Kasihan banget deh." Aku memegang pundaknya yang bergetar, "lebih baik kamu beristirahat lebih cepat. Nanti malah jadi nggak bisa ngomong selamanya. Dah ya, selamat malam."
Melambaikan tangan dan langsung pergi dengan senyuman meremehkan. Aku seperti tokoh antagonis yang menghina protagonis—aku rasa perumpamaannya salah. Gadis berbintik itu bukanlah protagonis. Namun, pembully handal. Jika aku tidak melawannya seperti itu, dapat dipastikan hidupku tidak akan tenang.
Aku melewati lorong, banyak pelayan yang menyingkir dari jalanku dan mereka berbisik-bisik. Ada yang menatapku sama gemetar dengan gadis berbintik tadi, ada yang terbengong, dan macam-macam reaksi wajah yang nampaknya terkejut. Kuduga mereka melihat pemimpin mereka yang aku rendahkan.
Itu bukan salahku. Itu adalah hasil yang pantas dia dapatkan. Awal-awal saat aku di sini dia mengatakan bahwa ternyata aku bisa berbicara, lalu seenaknya menampar, dan menendang. Pada saat itu aku memang tidak bisa melawan karena tidak tahu apa-apa, tetapi sekarang aku harus menguatkan tekad dan kehormatan.
Manusia ada bukan untuk direndahkan, tetapi mereka ada dengan keyakinan masing-masing. Manusia setara—tidak, setiap makhluk yang hidup itu setara. Saling membantu dan melengkapi.
Sedangkan, keyakinanku adalah—orang jahat pasti akan mendapat pembalasan yang setimpal atau bisa lebih besar.
Sebelum masuk ke kamar berdebu itu. Aku melihat ke semua pelayan yang menatapku takut-takut. "Selamat malam, Semuanya."
Aku menunduk hormat sembari mencubit kecil rok dan langsung masuk. Tadi saat aku membuka pintu dan masuk, semua orang membelalakkan matanya. Ada apa ya? Aku hanya meniru hormat orang-orang di sini.
Aku begitu saja menghempaskan badanku di kasir. Walaupun pegalnya sudah hilang karena mandi, tapi beban pikiranku masih. Belum keanehan yang terjadi padaku, ini sudah bertambah lagi masalah dengan orang sekitar. "Apa aku terlalu merendahkannya, ya? Padahal aku hanya ingin dia tidak mengganguku, karena tadi auranya kelihatan banget pengen bully aku sih ... Hum? Tapi kenapa mau bully yah? Perasaan dari tadi pagi kerjaanku hanya masak di dapur. Apa dia iri dengan pekerjaan dapur? Ah, mana mungkin!"
"Hah ..." Menghela napas, lalu kutatap gaun pemberian Nenek tadi.
"Cantik, tapi ribet pakainya," gumamku dan mengelus-elus gaunnya.
Ketika hampir memejamkan mata, aku sadar masih memakai seragam pelayan. Aku mengedarkan pandangan mencari baju untuk tidur. "Oiya, ada di lemari."
Aku beranjak dan membuka lemari. "Ugh–bau banget."
Mungkin pengaruh lemarinya yang sudah menjadi tempat bersarangnya laba-laba dan juga sudah jamuran. Gaun tidur putih polos, pakaian yang pertama kali aku bangun di sini, menjadi tambah bau. Aku sangat yakin, ini adalah baju tidur satu-satunya.
Aku ingin membeli lemari baru, tetapi uangnya dari mana. Lalu, ini juga bukan tempat tinggalku yang sebenarnya, jadi tidak terlalu penting juga. Pilihanku adalah meninggalkan tempat ini atau tetap di sini. Sulit juga pilihan yang tersisa.
Aku sangat ingin pergi dari sini. Akan tetapi, aku tidak tahu bentuk dunia luar seperti apa. Bisa saja akan ada makhluk selain manusia—membunuh atau lebih parahnya lagi pelecehan. Setelah melihat kejadian di taman tadi, rasa takut ingin ke luarku melonjak.
Badanku mendadak gemetar dan menggigil kedinginan. Apa ini? Aku tahu gemetar berasal dari rasa takut, tetapi menggigil kedinginan bukan berasal dari internal diriku. Namun, udara di sekitarku seketika berubah dingin.
"Uh, dingin. Selimut, selimut–"
Ingin aku mengambil selimut, tetapi badanku terbelenggu oleh bayangan hitam yang melingkari pinggangku.
"...!" Aku terdiam menahan napas. Gemetarku semakin menjadi-jadi, es besar seperti ada di belakangku persis.
"—akhirnya." Suara serak tak jelas terdengar merinding. Aku tidak bisa mengeluarkan suara.
Dingin sangat menyerangku. Ah ... Aku takut, sangat takut. Detak jantungku seiring waktu bertambah cepat dan tak teratur. Badanku kaku, tetapi masih saja gemetaran.
Kucoba membalikkan badan sekuat tenaga. Aku tidak boleh mati dulu. Tujuan masih belum tercapai!
Ketika aku berbalik, semuanya kembali semula. Suhu dingin tadi pun menghilang, menyisakan gemetar di tubuhku.
"A, apa tadi. Apa si gadis berbintik itu balas dendam—bukan, bukan dia. Tadi itu bukan manusia. Apa itu?" Segunung pertanyaan bertambah.
Nampaknya, memang aku harus pergi ke luar dan mencari petunjuk. Lebih baik mencari jawaban dari orang asing yang baru pertama kali bertemu, daripada kepada orang asing yang sudah lama mengenal dan melihat.
Aku melupakan memakai baju tidur itu dan langsung menuju kasur tetap pakai seragam pelayan. Aku harus bangun pagi dengan energi yang cukup. Mencari informasi adalah pekerjaan sulit, apalagi di tempat asing. Aku berterima kasih kepada Tuan Muda atau apalah itu yang memberikan libur satu hari full. Kesempatan bisa keluar dari sini adalah besok. Ya, besok!
Aku merapikan kasur dan langsung merebahkan diri. Walaupun tercium bau apek, tetapi tidak terlalu parah—atau akunya yang sudah terbiasa.
Aku di sini sendirian. Tidak ada siapa-siapa yang dapat dipercaya. Aku harus bertahan hidup sampai mencapai kebenaran dan kembali pulang ke rumahku berasal—tidak mencapai kebenaran dan langsung pulang pun tidak masalah. Keinginan satu-satunya aku saat ini hanyalah 'pulang ke rumah'.
Jika, jika ada Dewa di dunia ini. Seperti perkataan Nenek tadi. Aku harap bisa pulang ke rumah sebenarnya sehingga aku dapat tidur, belajar dan bersosialisasi seperti biasa. Hanya itu keinginanku.