Download App
88% Terjebak di Dunia Albheit / Chapter 43: Gluttony Backstory Part 2

Chapter 43: Gluttony Backstory Part 2

By: AojinSuzaku

"Imperial ... Arkness?"

Wajah Rick semakin pucat pasi. "Jangan-jangan ..., jangan-jangan ...."

"Ya, itu adalah mereka," sahut Brave.

"Tapi, bagaimana mereka bisa menembus Dual Promised Aegis?!" Rick menoleh ke arah Brave.

"Aku bisa membaca pikiran kalian ...," ucap pria yang menunggangi makhluk bersayap tadi, seolah dia benar-benar bisa membaca pikiran Rick dan Brave. "Kalian pasti penasaran tentang bagaimana cara kami menembus kubah kembar itu, 'kan?"

"Kubah bagian luar, yang membuat pulau ini menjadi tidak bisa dilihat, sudah ditembus dengan mudah oleh kemampuan mata elang kami. Kemudian, kubah bagian dalam sudah tua dan rapuh. Tentu kami bisa menembusnya dengan mudah. Berdasarkan hasil pengamatan kami, kubah itu sudah berumur ribuan tahun. Penyihir yang menciptakannya pasti sudah meninggal sekarang. Kalian pikir bisa bersembunyi di balik pintu kayu yang sudah lapuk, hah? Menggelikan."

"Kita harus panggil pasukan militer!!" seru Brave. "Kekuatan mereka di luar akal sehat!! Dual Promised Aegis saja bisa ditemukan dan dihancurkan dengan mudah. Jika kita diam saja, kota Victoria .... Tidak, seluruh Atlantis akan menjadi rata dengan tanah dalam sekejap!!!"

"Tidak perlu. Lihat!!" ucap Rick sambil menunjuk kendaraan-kendaraan sihir dan hewan-hewan tunggangan yang sedang terbang menghampiri sekumpulan orang yang menyebut diri mereka sebagai Imperial Arkness itu.

"Wah, respon mereka cepat sekali."

Sementara itu, para tentara militer yang datang sedang berkomunikasi satu sama lain. Meski lawannya bukan penyihir sembarangan, mereka tetap bergerak maju, menembus kabut hitam legam yang menghalangi pandangan. Mereka terlihat tidak peduli walaupun harus kehilangan nyawa dalam pertempuran ini. Tampak jelas bahwa mereka berani mati.

"Maju!!! Kalahkan mereka semua!!" Sebuah suara terdengar dari layar hologram di kendaraan sihir yang menghubungkan para tentara dengan atasan mereka di markas pusat kemiliteran. "Kota kita, Victoria, adalah pintu gerbang menuju Atlantis!! Jika kita tidak menghentikan para penjahat itu di sini, ibukota Caellum dan kota-kota lainnya akan jatuh ke tangan mereka!!"

"Dimengerti!!!" seru seluruh anggota pasukan militer dengan nada tegas dan formal khas ketentaraan.

Pria tadi menyeringai bengis. "Dengan mainan-mainan dan burung-burung kecil peliharaan kalian itu ... KALIAN PIKIR BISA BISA MENGALAHKAN KAMI?!" serunya diiringi oleh keluarnya gelombang ultrasonik yang amat mengganggu pendengaran dari tenggorokan makhluk bersayap yang ditungganginya. Saking kuatnya gelombang itu, para tentara sampai merasa mereka akan tuli.

"Sial!!" gerutu Kepala Prajurit. Dia mengarahkan tangannya dengan susah payah ke depan di tengah badai gelombang ultrasonik, lalu memanggil sebuah lingkaran sihir berwarna hijau bercampur biru di hadapannya. "Stabilizer!!!"

Namun, sihir yang dirapalkan oleh Kepala Prajurit sama sekali tidak ada efeknya. Tidak ada apa pun yang terjadi. Serangan gelombang ultrasonik dari makhluk bersayap tadi tidak terhenti.

"Ke-Kenapa tidak bekerja?!" Kepala Prajurit tersebut terperanjat. "Biasanya sihir Stabilizer bisa mengatasi semua efek debuff, termasuk efek pain dan nausea yang disebabkan oleh gelombang ultrasonik itu!!"

Kepala Prajurit bergegas menoleh ke belakang. "Semuanya!!! Rapalkan sihir Stabilizer dan Giga Defense Barrier bersamaan!!"

"Baik!!"

"Baik!!"

"Dimengerti!!"

Semua anggota pasukan merapalkan Stabilizer secara bersamaan dan membentuk barrier raksasa untuk melindungi diri dari gelombang ultrasonik, tapi sia-sia saja. Gelombang itu menembus perisai yang mereka ciptakan.

"Percuma, Pak!! Tidak bekerja." Salah seorang tentara angkat bicara.

"Sial!!!" Saking kesalnya, Kepala Prajurit menghantam kendaraan sihir yang dia naiki menggunakan tinjunya. "Apa kita benar-benar tidak punya cara untuk mengalahkan mereka?!"

"Yang seperti itu kalian sebut sihir? Menggelikan." Pria tadi terkekeh. "Apa perlu Jenderal Titanus ini turun tangan?"

"Lion's Roar!!!" Pria yang bernama Jenderal Titanus itu mengangkat kedua tangannya dan membentuk segel sihir hitam dengan simbol wajah singa di atas kepalanya. "INILAH SIHIR YANG SEBENARNYA!!!"

Auman singa yang nyaring bergegas keluar dari lingkaran sihir dan menguasai udara. Mendadak, hewan-hewan tunggangan milik para tentara berteriak dan terbang tak terkendali sehingga tentara-tentara yang ada di atasnya terguncang-guncang dan akhirnya jatuh. Jeritan ngeri dari orang-orang mengiringi jatuhnya para anggota pasukan militer dari ketinggian. Beruntung, mereka sempat menciptakan Magi Barrium Sphere (sebuah perisai berbentuk bola seukuran tubuh manusia) untuk melindungi diri sehingga luka-luka yang mereka derita tidak begitu parah.

Entah mengapa, ketakutan menyelimuti hati mereka dan hawa di sekitar tiba-tiba menjadi berkali-kali lipat lebih dingin dari sebelumnya. Baik pasukan militer yang ada di atas maupun di bawah kembali merapalkan sihir, tapi tidak bekerja. Mereka mencari-cari hewan tunggangan mereka, tapi sia-sia. Hewan-hewan tersebut sudah kabur karena ketakutan.

"Kenapa?! Kenapa?!" seru Kepala Prajurit dengan gusar sembari berusaha merapalkan sihir berkali-kali. Dia juga mencoba menggunakan senjata di kendaraan sihir, tapi gagal juga. "KENAPA SIHIRKU TIDAK MAU KELUAR?!"

"Perasaan ... apa ini? Kenapa ketakutan menguasaiku? Kenapa? Kenapa?!"

Sekujur tubuh semua anggota pasukan gemetar. Jantung mereka berdegup kencang seolah-olah mereka sedang melihat hantu. Bahkan untuk berdiri saja mereka tidak sanggup. Mereka jatuh berlutut. Bahkan kendaraan-kendaraan sihir kehilangan kekuatan untuk terbang dan turun perlahan ke permukaan tanah, seakan-akan mereka juga makhluk hidup yang bisa merasakan takut.

"Percuma saja." Jenderal Titanus kembali menyeringai bengis melihat pasukan militer yang tak berdaya di bawah dampak sihir Lion's Roar. "Mana hanya akan mengalir di dalam tubuh kalian ketika kalian memiliki will of fire atau semangat juang. Ketika ketakutan menguasai kalian, aliran mana akan terhenti. Kalian sekarang tak ada bedanya dengan tikus yang sedang terpojok dan siap dimangsa oleh kucing. Tidak punya keberanian, tidak punya kekuatan, dan tidak mampu untuk bertarung."

Dengan tangan yang gemetaran, Kepala Prajurit memunculkan hologram dan menghubungi atasannya di markas pusat.

"La-Lapor, Jenderal!! Situasi darurat!!! Musuh kami terlalu kuat!! Mohon kirimkan bantuan!! Sekali lagi, mohon kirimkan bantuan!!!"

"Dimengerti. Bala bantuan akan segera datang."

"Bala bantuan?! Hahahahahahahahahahahaha!!!" Jenderal Titanus tertawa terbahak-bahak. "Kalian pikir atasan-atasan kalian yang payah itu bisa menang melawan kami, padahal kalian sendiri kewalahan melawan diriku yang tidak dibantu oleh pasukanku?! Menggelikan!!!"

"Jenderal, bala bantuan musuh sudah mendekat," ucap Adlar memberi informasi. "Jarak 500 meter, jumlahnya lima kali lipat lebih banyak dari jumlah pasukan yang ini."

"Menarik." Jenderal Titanus mengaktifkan sihir Hawkeye dan menerawang bala bantuan di kejauhan. Dia membentuk sebuah lingkaran sihir hitam, lalu mulai merapal. "Black Hole."

————————————————————————

Rick PoV

Yang terjadi selanjutnya ... benar-benar seperti mimpi buruk. Aku tak pernah menyangka ... bahwa kehidupanku yang tenang dan menyenangkan akan menjadi seperti ini. Pasukan militer tidak mampu mengalahkan orang-orang jahat tersebut. Sebaliknya, merekalah yang dikalahkan dengan telak. Jenderal-jenderal, bahkan Paduka Raja beserta seluruh anggota keluarga kerajaan dijadikan tawanan.

Victoria, Caellum, satu-persatu kota-kota di Atlantis jatuh ke tangan Imperial Arkness. Mereka merampas semua komoditas alam dan teknologi yang maju di Atlantis. Kemajuan peradaban Atlantis terhenti, digantikan oleh penjajahan. Rakyat dipaksa untuk bekerja seperti budak. Membangun benteng pertahanan, membuat senjata, mengumpulkan persediaan makanan bagi Imperial Arkness, menanam tanaman penyembuh, dan sebagainya.

Kami dipaksa bekerja 24 jam penuh dan tidak diberi upah maupun makanan. Semua keuntungan yang diperoleh dari komoditas alam kami selalu digunakan untuk keperluan perang. Tidak hanya itu, mereka juga menggunakan penduduk Atlantis sebagai kelinci percobaan dalam eksperimen transplantasi kekuatan sihir mengerikan. Sebagian dari rakyat kami mati karena tubuh mereka tidak kuat untuk menanggung kekuatan dahsyat tersebut. Yang berhasil menerima dan beradaptasi dengan kekuatan itu digunakan sebagai alat perang dan berakhir tewas di medan pertempuran.

Tentu saja kami tak bisa diam saja, dan mengumpulkan kekuatan untuk menggulingkan Imperial Arkness dari pemerintahan ....

"Jadi, ketika pasukan mereka keluar dari istana untuk menangani kerusuhan yang ditimbulkan, kita masuk lewat celah kosong itu. Kalian semua mengerti?" ucapku memberi informasi tentang strategi yang akan digunakan.

"Mengerti!!"

Kami menggulingkan Imperial Arkness dari pemerintahan dan mengembalikan kedamaian di Atlantis ....

Setidaknya, itulah yang kami kira telah berhasil kami lakukan.

Tapi, sayangnya, realita ternyata tak seindah fiksi. Kami pikir rencana ini akan berjalan dengan lancar, tapi ....

—————————————————————————

Back to Normal PoV

"Sialan ...." Brave menggerutu sambil berjalan dengan langkah kaki yang gontai dan tubuh yang dipenuhi oleh luka. Dia menuntun Rick yang berada dalam kondisi serupa, melintasi lorong bawah tanah istana yang panjang.

"Aku lupa ... kalau mereka punya kemampuan untuk menerawang. Mereka sudah tahu bahwa kita sedang menyiapkan pasukan bahkan sejak malam sebelum kita melancarkan serangan, makanya mereka bisa punya waktu untuk menyiapkan pasukan dalam jumlah besar. Mereka berhasil membaca strategi kita. Rencana yang kita buat gagal total."

"Seharusnya ... kita mengecek keadaan di dalam istana dulu, tidak langsung maju dan menyerang seperti tadi. Untung saja kita berhasil menyelamatkan diri dan menyusup lewat jalan belakang ...."

"Tapi tidak bisa dibilang untung. Pasukan kita dibantai habis oleh mereka," ujar Rick. "Pasukan pengumpan yang kita kirim untuk mengalihkan perhatian para prajurit Imperial Arkness juga sedari tadi belum datang membantu. Jangan-jangan mereka semua juga sudah dihabisi."

"Kau merasa aneh, tidak, sih? Imperial Arkness sadar bahwa dua pemimpin pasukan musuh berhasil kabur, lalu kenapa mereka tidak memperketat penjagaan? Dari tadi kita tidak menemui satupun prajurit."

"Kau ada benarnya juga."

"Kurasa sebaiknya kita berhenti berbicara. Pintu menuju ruang atas sudah dekat. Kau tidak mau ketahuan, 'kan?"

"Tentu saja."

Brave dan Rick menaiki tangga, lalu mendorong pelan pintu menuju ruang atas dengan pelan dan hati-hati. Sangat pelan, hingga sama sekali tak terdengar suara derit. Tampak para penjaga sedang berkumpul di lorong di depan ruang takhta.

"Pantas saja tadi sepi. Mereka memang tidak tahu kita kabur ke mana, tapi mereka sudah tahu kalau kita akan mengincar ruang takhta, makanya mereka memusatkan pasukan penjaga di sini." Rick tersenyum. "Cerdas juga mereka."

Pemuda berambut kecoklatan itu kemudian menoleh ke arah rekannya yang sedang menuntunnya. "Aku akan mengalihkan perhatian mereka, kau cepatlah masuk ke ruang takhta dan kalahkan Jenderal Titanus."

"Kau gila, ya? Untuk berjalan saja kau tidak sanggup, bagaimana bisa kau menahan mereka?" sahut Brave.

"Kalau menggunakan Mana Boost Mode, kondisi tubuhku akan jadi prima lagi seperti semula!!"

"Tapi, mode itu memakan terlalu banyak mana!! Efek sampingnya terlalu parah. Kau mau mati?"

"Mati?" Rick terkekeh. "Kalau cuma mati, sih, aku tidak keberatan."

"Apa maksudmu? Kau ingin perjuangan kita menjadi sia-sia?"

"Tidak ada perjuangan yang sia-sia ...," ucap Rick. "Tidak, tepatnya ... tidak ada satu hal pun di dunia ini yang ditakdirkan untuk menjadi sia-sia ...."

Kali ini, giliran Brave yang tersenyum. "Kau itu keras kepala sekali, sih. Kalau begitu, apa boleh buat. Aku tidak bisa melarangmu. Ayo, nanti keburu ketahuan."

"Oh, ya, Brave," panggil Rick. "Ini mungkin akan menjadi pertarungan terakhir kita, 'kan? Entah kita akan menang atau kalah, tapi yang jelas jika kalah maka kita akan mati."

"Benar. Lalu kenapa?"

"Apa kau tidak ingin membuat perjanjian?"

"Kau ini kenapa, sih? Ini, 'kan, bukan drama." Brave terkekeh geli. "Eh, tunggu. Biasanya dalam drama, jika ada yang membuat perjanjian sebelum berangkat perang, maka orang itu akan ...."

"Itu, 'kan, dalam drama." Rick terdiam dengan bulir keringat mengaliri kening. "Bukan di dunia nyata. Tidak perlu pesimis begitu."

"Baiklah ... kalau begitu ...." Brave menempelkan jari telunjuknya pada dagunya, terlihat sedang berpikir. "Bagaimana kalau daging panggang ukuran besar?"

"Ka-Kau serius? Kau akan bertarung mati-matian dalam pertempuran cuma demi makanan?!" Rick terkejut. "Biasanya orang akan menjanjikan sesuatu yang sedikit lebih istimewa, seperti menjadi pahlawan, menjadi raja, atau yang lainnya, gitu."

"Memangnya kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa, sih."

"Baiklah. Kalau begitu, setelah penjajahan ini selesai, kita akan makan daging panggang bersama-sama di kedai biasa. Kau yang traktir, ya, Rick."

"Eh?!"

(Note: Kenapa bisa ada istana di kota Victoria? Karena sebelum menjadi satu negara, Atlantis adalah kumpulan kerajaan-kerajaan kecil yang berada di pulau yang sama. Mirip-mirip dengan Indonesia. Bedanya di Indonesia ketika sudah menjadi negara sistem kerajaannya diganti menjadi republik, sedangkan di Atlantis menjadi sistem federal versi kerajaan, di mana kerajaan Atlantis terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh rajanya masing-masing. Pemimpin Atlantis mendapat gelar King of the Kings.)

————————————————————————

Suara dobrakan yang keras terdengar dari pintu menuju ruang bawah tanah, membuat para prajurit menoleh ke arah datangnya suara. Pintu itu terbuka dan dua orang pemuda melompat keluar dari baliknya. Rick dan Brave. Rick tampak tengah berada dalam kondisi prima, bahkan energi mana menyelimuti tubuhnya.

"Hai, prajurit-prajurit," sapanya dengan wajah seolah mengejek.

Melihat musuh di depan mata, pemimpin dari para penjaga tersebut pun berseru:

"TANGKAP MEREKA BERDUA!!!"

"Tidak semudah itu." Rick tersenyum nakal. "Paralysium."

Seketika, para prajurit menjadi tidak bisa bergerak. Namun, ada sebagian dari mereka yang sama sekali tidak terkena efeknya. Mungkin sihir itu tidak bekerja bagi para prajurit tingkat tinggi.

"Wah, wah, merepotkan juga," ucap Rick.

Pertempuran pun dimulai. Dengan bakat penyihirnya, Rick mampu menahan prajurit-prajurit yang tidak terkena sihir pelumpuh itu seorang diri saja. Suara rapalan sihir, ledakan, dan suara dari berbagai elemen sihir memenuhi suasana.

"Brave, pergilah. Aku akan melindungimu dengan Invisium," ucap Rick tanpa menoleh, fokus melawan para musuh di depannya.

"Kau serius mau menggunakan dua teknik dalam waktu bersamaan? Mana-mu sudah termakan banyak oleh Mana Boost Mode, lho." Brave kelihatan khawatir.

"Tenang saja, aku tidak akan mati," ujar Rick. "Daripada mengkhawatirkan soal diriku, lebih baik cepat pergi dan kalahkan pemimpin Imperial Arkness."

"Baik," ucap Brave sebelum akhirnya menghilang tanpa jejak. Dia memasuki ruang takhta tanpa diketahui oleh para prajurit penjaga yang tengah sibuk bertarung.

"Kemampuan kau dan temanmu itu hebat juga." Sebuah suara pria terdengar dari kursi takhta. Sosok yang sedang duduk di sana bangkit berdiri, mengeluarkan aura yang mencekam, Seorang pria berambut seputih salju yang mengenakan kacamata. Kedua matanya berwarna merah menyala.

"Aku sengaja menempatkan prajurit yang tidak mendapat mana Hawkeye di posisi penjaga supaya aku bisa melihat kemampuan bertarung kalian, dan hasilnya cukup memuaskan."

"Sekarang, biarkan aku menyelesaikan kisah kalian dengan ending yang bagus." Sosok tersebut menyibakkan jubah hitamnya. "Perkenalkan, aku adalah pemimpin penjajahan Imperial Arkness di kota Victoria, Jenderal Amuto."

"Jendera Amuto, ya? Aku akan mengalahkanmu!!" seru Brave, tidak peduli dengan aura mencekam yang menyelimuti udara di sekitar.

"Keberanianmu lumayan juga ...." Jenderal Amuto tampak tertarik. "Aku jadi ingin mengujinya .... Yah, sihir Lion's Roar-ku memang tidak sekuat milik Jenderal Titanus, sih ..., tapi mari kita coba!!" Dia membentuk sebuah lingkaran sihir hitam bergambar singa di udara.

"Lion's Roar!!!"

*Degg!!*

Brave yang mulanya bersikap masa bodoh terhadap Jenderal Amuto kini terlihat ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan jantungnya berdetak sangat kencang. Dia memaksakan diri untuk menyunggingkan senyum supaya ketakutannya tersembunyi. "Ja-Jadi ini Lion's Roar? Sayangnya, itu takkan mempan terhadapku!!"

"Benarkah? Bagaimana kalau kutingkatkan energi intimidasinya?" Pria tersebut menciptakan satu lagi lingkaran sihir Lion's Roar di sebelah lingkaran sihir tadi. "Kita lihat, apa kau masih bisa berkata seperti itu."

"Aku tidak akan kalah!!" seru Brave. "Mana Boost Mode!! Bangkitlah dan- Eh?!" Pemuda berambut kemerahan itu terperanjat ketika ia mendapati bahwa Mana Boost Mode-nya tidak aktif. "Ke-Kenapa?!"

"Bodoh," ucap Jenderal Amuto. "Jika ada rasa takut di dalam hatimu, walau hanya sedikit saja, maka aliran mana-mu akan terhenti. Jika kau memaksa untuk tetap menggunakan Mana Boost Mode, sirkuit mana-mu akan pecah dan kau akan mati."

"Kau bercanda, 'kan?!" Brave menatap tak percaya.

"Aku serius." Jenderal Amuto tertawa licik. "Kapan aku pernah bercanda?"

"A-Apa itu artinya ...." Tubuh Brave menjadi lemas. Dia jatuh berlutut. Matanya melebar. "Apa itu artinya ... tak peduli berapa kali aku berjuang ... aku tak akan bisa mengalahkanmu?"

"Benar sekali," ujar Jenderal Amuto sambil mencabut pedang miliknya dari sarungnya, lalu menempatkannya di leher Brave yang sedang membeku ketakutan. "Sekarang, waktunya menyelesaikan cerita ini. Seorang pemuda pejuang mati dipenggal dalam keadaan ketakutan dan kehilangan semangat juang ..., benar-benar ending yang bagus ...."

Brave tak mampu menjawab, hanya mampu diam terpaku. Permukaan mata pedang yang dingin mulai menyentuh lehernya.

"Kau ... bercanda, 'kan?!"

"Apa ini artinya ... semua perjuangan kami selama ini sia-sia?!"

"Apa ini artinya mustahil bagi kami untuk mengembalikan kedamaian di Atlantis?"

Kepala Brave perlahan tertunduk. Melihat itu, Jenderal Amuto tersenyum layaknya psikopat. "Ekspresi wajahmu itu ..., aku sangat menyukainya. Ekspresi wajah pejuang yang kehilangan semangat juangnya. Benar-benar ekspresi yang bagus. Mana semangat juangmu tadi? Belum setengah jam sejak kau bilang bahwa kau akan mengalahkanku, lho."

"Apa aku ... akan mati?"

"Apa aku tidak akan bisa menjadi pahlawan yang sebenarnya?"

"Tidak ..., aku tidak boleh mati dalam keadaan tidak cool begini ...."

"Seorang pahlawan tidak pantas mati seperti ini ...."

"Ini bukan ending yang kuinginkan ...."

"Aku tidak mau mati!!"

Air mata ketakutan mulai mengaliri wajah Brave.

"Aku ... tidak ingin mati!!"

"Masih banyak impianku yang belum tercapai!!"

"Aku bahkan belum menjadi seorang pahlawan ...."

"Siapapun ... tolong aku ...."

"Aku tidak mau mati!!"

"Ayah!! Ibu!! Tolong aku!!"

"Aku mau hidup!!"

"Aku tidak mau kisahku berakhir seperti ini ...."

"Rick ...."

"Siapapun ... tolong aku ...," ucap Brave dengan suara lemah dan parau sambil menangis. "Aku tidak mau mati ...."

"Aku ingin terus hidup dan meraih cita-citaku ...."

"Bodoh," sahut Jenderal Amuto. "Kalau seorang prajurit sudah maju ke medan perang, maka dia harus siap untuk mati. Kau bahkan tidak pantas untuk menjadi seorang prajurit ...." Pria berambut putih itu mengangkat pedangnya, bersiap menebas leher Brave.

"Sekarang ..., mimpi indahmu itu sudah berakhir. Hadapilah realita dan matilah seperti pengecut!!!" Ia berseru seraya mengayunkan pedangnya.

Brave mendongak, menatap pedang yang sudah siap memenggal kepalanya. "Aku ... belum mau mati ...."

"Mati?"

Mendadak, Brave teringat akan pembicaraan terakhirnya dengan teman baiknya, Rick.

"Kalau cuma mati, sih, aku tidak keberatan."

"Apa maksudmu? Kau ingin perjuangan kita menjadi sia-sia?"

"Tidak ada perjuangan yang sia-sia .... Tidak, tepatnya ... tidak ada satu hal pun di dunia ini yang ditakdirkan untuk menjadi sia-sia ...."

Senyum tersungging di wajah Brave. "Benar juga."

*craaasshh!!!*

Pedang yang tadinya diayunkan untuk memenggal Brave, malah mengiris tangannya yang diposisikan untuk melindungi leher. Darah segar mengalir deras, membasahi mata pedang.

"Ada apa?" ucap Jenderal Amuto. "Kenapa kau masih saja melawanku? Kau tahu, 'kan? Itu sia-sia saja!! Terima saja ending-mu yang menyedihkan itu!!"

"Kau ini bodoh, ya?" ucap Brave. "Kau bukan Tuhan .... Tidak ada satupun manusia yang berhak untuk menentukan ending dari kisah hidup manusia lainnya sembarangan."

"Hahahahahaha!! Bodoh!!!" Jenderal Amuto tertawa terbahak-bahak. "Yang berhak untuk menentukan ending dari kisah hidup seseorang ... adalah orang yang lebih kuat darinya!! Kalian para makhluk lemah sebaiknya duduk diam saja dan menerima ending yang telah kami buat!!! Sekuat-kuatnya karakter dari suatu novel, dia takkan bisa menang melawan kehendak penulis novel tersebut!!!"

"Salah!!" seru Brave. "Kau salah. Kau tidak berhak menentukan takdir orang lain. Kau hanya makhluk mortal yang meninggikan diri sendiri dan menganggap dirimu sebagai Tuhan. Yang berhak menentukan ending dari kisah hidup seseorang hanyalah Sang Pencipta dan ...."

Brave memunculkan sebuah bola api di tangan kirinya, lalu menghantamkannya ke tubuh Jenderal Amuto sembari menyelesaikan kalimatnya.

"... orang itu sendiri!!!"

Sang Jenderal terdorong mundur ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya. "Bagaimana bisa aliran mana-mu menjadi lancar lagi?! Bukankah seharusnya kau masih berada di bawah pengaruh Lion's Roar?!"

"Ah, sudahlah. Aku masih punya banyak cara untuk membunuhmu!!" Jenderal itu memunculkan ribuan pedang di belakangnya. "Fisimora."

"Flare Aegis!!!" seru Brave seraya memunculkan perisai api berbentuk segel sihir untuk melindunginya, tapi perisai itu segera pecah dan pedang-pedang milik Jenderal Amuto menusuk tubuhnya. Darah segar membanjiri lantai ruang takhta.

"Kau sudah paham sekarang, 'kan?" ucap Jenderal. "Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku!!!"

"Aku ... masih belum mati, tahu." Dengan tubuh yang dipenuhi oleh pedang, Brave terus melangkah maju. "Kau ... belum menang. Kau harus melangkahi mayatku terlebih dahulu."

"Baiklah kalau itu keinginanmu." Jenderal Amuto menjentikkan tangan, dan sekali lagi ribuan pedang muncul di belakangnya. "Fisimora."

Sekali lagi, tubuh Brave dihujani oleh ribuan pedang. Kali ini, dia tidak bisa bergerak. Namun, pemuda berambut kemerahan itu tetap berusaha menggerak-gerakkan tubuhnya yang kaku dan dipenuhi oleh darah. Tubuhnya mulai lemas dan nyaris terjatuh ke lantai.

"Tidak ...."

"Masih belum selesai ...."

"Rick sudah mengorbankan banyak stamina untuk memberiku waktu."

"Aku harus tetap berdiri di sini sampai akhir!!!"

"Aku harus ... menepati janji itu ...."

Akhirnya, ia bisa bergerak lagi. Meski dengan langkah gontai, pemuda tersebut terus bergerak maju.

"Sial, rasanya sakit sekali ...."

"Sakit sekali ...."

"Tapi, entah kenapa aku malah semakin ingin untuk terus bergerak maju."

"Sepertinya memang benar. Manusia menjalani dan menghargai hidupnya lewat rasa sakit. Jika rasa sakit bisa memberi penderitaan, maka rasa sakit juga bisa ...."

"Memberi kekuatan!!"

"Luka-luka inilah ... yang memberiku semangat untuk bertarung ...."

"Luka-luka inilah yang selalu melindungiku!!!"

"Untuk apa kau terus berjuang?! Sia-sia saja!!!" seru Jenderal Amuto. "Kenapa kau bersikeras untuk terus bertarung?! Kau bukan pahlawan dalam cerita fiksi!!!"

"Memang benar." Brave menyunggingkan senyum yang menghiasi wajahnya yang berlumuran darah. "Aku hanyalah seorang penakut yang berpura-pura menjadi pahlawan. Aku bahkan tidak punya sesuatu untuk dilindungi ..., tapi itu dulu ...."

"Sekarang ... orang-orang yang berharap padaku ... jumlahnya sudah tak bisa kuhitung lagi, bahkan sudah melebihi jumlah pasir di pantai!!"

Langkah kaki Brave perlahan terhenti. Pandangannya mulai menggelap. Ajalnya telah menjemput. Namun, bukan ketakutan yang tampak di wajahnya, melainkan senyum penuh kedamaian.

"Kau tidak bisa melangkahi mayatku, 'kan? Itu artinya aku menang ...."

"Aku ... tidak terkalahkan sampai akhir ...."

"Aku adalah seorang pahlawan sejati ...."

Pandangan Brave semakin menggelap, dan akhirnya digantikan oleh warna hitam sempurna.

"Sial .... Sekarang aku jadi tak bisa memakannya bersama Rick ...."

"Daging panggang yang kami janjikan itu ...."

"Setidaknya aku tak perlu merasakan sakit ini lagi ...."


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C43
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login