Arumi terkejut dengan adanya suara yang sangat ia kenal berteriak memekik ke dalam telinga. Laba-laba itu?
Arumi menoleh, tapi tak ada. Yang tampak di sana hanya papanya tersenyum sambil membuka tangan. Suara yang menurut orang lain terdengar normal baginya justru sangat memekikan.
Ini terkait ketidak normalan yang Arumi alami. Ia merasa jengah dengan itu. Bahkan terkadang merasa paranoid dengan setiap rentetan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
"Papa ...."
Ragu, tapi akhirnya Pak Wali Kota itu memeluk putri kesayangannya. Memang sejak awal lelaki itu menangkap ada yang tidak biasa dari putrinya. Ia kerap melihat pancaran cahaya ketika Arumi masih bayi setiap kali hujan itu menyisakan pelangi.
Air mata gadis itu luruh dengan sendirinya. Sudah lama ia memendam kerinduan. Merasa jika papanya tidak pernah perduli dan tak mendukung keinginannya itulah yang membuat Arumi selalu ragu untuk saling bertegur sapa.
Alasan Tuan Bakhtiar tidak ingin melepas Arumi sebenarnya karena ia pernah bermimpi jika putri semata wayangnya itu kerap terancam bahaya dalam menjalani kehidupannya. Maka dari itu secara tersembunyi menyewakan beberapa pengawal di belakang Arumi tanpa ia tahu.
Kehadiran Elang seolah menjadi alasan bagi Tuan Bakhtiar untuk menjadikan pengawalan terdepan dalam bentuk seorang teman karena ketampanan pemuda itu.
Memang pada awalnya pun Elang sengaja masuk ke dalam jajaran pasukan pengawal Wali Kota demi mendapat kepercayaan langsung untuk mengawal Dewi Aurora dalam wujud lain.
Orang mungkin memang memandang antara Arumi baik pun Elang adalah manusia biasa saja. Namun, dalam sudut pandang lain mereka adalah makhluk langit, penghuni yang kini harus mengasingkan diri di bumi atas dasar dosa seseorang yang menyebabkan bencana dalam waktu beberapa tahun yang lalu.
Kelahiran Arumi seolah menjadi sumber kedamaian yang kelak akan menyebabkan bencana yang lebih besar lagi.
"Papa," ujar Arumi menatap wajah yang penuh kerinduan itu.
"Kenapa selalu menghindar? Apa dosa Papa terhadapmu sebesar itu, nak? Jika memang Papa banyak salah, mohon maafkan Papa."
Pak Wali Kota mengatupkan kedua tangannya sambil menunduk penuh penyesalan.
"Papa, tidak perlu seperti ini. Justru saya menghindar karena selama ini merasa malu pada Papa. Arumi belum bisa menjadi kebanggaan yang sesungguhnya."
"Bicara apa kamu? Selama ini kamu selalu menjadi kebanggaan kami. Semua karya itu, popularitas itu pula. Papa yakin tadi kamu ada di sana kan? Kenapa tidak temui Papa? Papa sangat panik dengan kebakaran itu, mencari kamu tapi tidak ketemu. Sampai pada akhirnya, Elang mengatakan kamu akan baik-baik saja."
"Elang?"
"Ya, pengawal yang Papa jadikan dia sebagai teman baru kamu. Dia pula yang menyelamatkan Papa. Membiarkan tubuhnya sebagai pelindung Papa dari kobaran api."
Tak masuk akal. Itulah yang Arumi rasakan saat ini. Melindungi tubuh dari kobaran api? Dia juga yang ....
Ah, ingat betul ia sebelum mimpi itu terjadi. Bahkan Elang sempat membuat takut seorang wanita yang pada waktu itu nyaris menyerangnya. Apa dia ..? Ah, masa iya Elang seorang siluman, vampir atau semacamnya. Makhluk seperti itu kan cenderung takut terhadap matahari. Tapi dia ....
"Arumi." Suara itu mengejutkannya dari lamunan yang mendalam. "Apa yang kamu pikirkan, nak?"
"Hem? Tidak, tidak ada."
"Lekaslah masuk. Kamu mau selamanya berdiri di sini?"
"Emh." Arumi tersenyum.
...
Alam Langit ....
Dewa Astro berdiri menghadap lingkar zodiak pada saat seorang wanita bermahkota kecil menandakan posisi yang tidak terlalu tinggi itu berjalan dengan tergesa menghadapnya.
"Kau! Kenapa justru mengutus orang untuk melindungi gadis itu?!"
Masih membelakangi, seolah tidak perduli akan kedatangan selir kesayangan Raja. Dewa Astro tenang mengelus janggutnya dan tetap memperhatikan dua bintang itu tidak lagi bersamaan.
"Biarkan saja dia terbunuh di bumi tanpa ada yang menyelamatkan. Kau tahu sendiri aku mempunyai tujuan dan dendam pribadi. Saudara macam apa kau ini?"
Wanita itu mendelik, terlebih merasa kesal karena Dewa Astro tak juga menoleh padanya.
Segan rasanya jika ia harus menghampiri dengan cara melangkah pada susunan labirin api dan es. Salah melangkah sedikit saja ia bisa celaka.
"Astro, kenapa kau masih terdiam saja?"
Perlahan, Dewa Astro membalikan tubuhnya menghadap ke arah wanita berstatus bangsawan itu dengan tatapan teduh
Ada raut kekecewaan dari garis wajah yang tak sedikit pun menampakan kemarahan ataupun ambisi yang mendalam.
"Hhmm ...." Ia mengaitkan kedua tangan itu persis di belakang punggungnya. "Apa hakku untuk itu? Kewajibanku di sini hanya sekedar untuk mengatur kestabilan bumi dan langit."
"Omong kosong!" Wanita itu berlaku dengan angkuh berpaling ke arah lain. "Kau sengaja kan ingin menyingkirkanku dari posisiku yang sekarang? Apa kau pun berniat ingin menguasai alam langit?"
Dewa Astro tersenyum miris. Selangkah kakinya berpindah secara halus atau bahkan mungkin orang yang tidak teliti akan menyangkan ia tidak melangkah sama sekali.
"Aku sudah tua ... tubuhku pun sudah renta. Mana sanggup aku menjadi bagian dari penguasa langit."
"Hem! Kau berpura-pura baik! Munafik!" Tak ada teriakan dalam ungkapan itu selain nada dingin mencekam. "Sejak dulu kau memang tidak pernah mendukung setiap langkahku. Padahal aku adalah saudaramu."
"Justru karena kau saudaraku ... aku harus mencegahmu, Namia."
"Kenapa? Apa karena aku menjadi ancaman bagimu?"
Dewa Astro menghela nafas. "Kau berparas cantik seperti mawar, tapi sayang, kepalamu penuh dengan duri."
"Tidak usah berbasa-basa denganku!"
"Aku mencegahmu, justru karena tak ingin kau terkena ancaman hukum langit."
"Persetan dengan hukum langit!"
Wanita yang dipanggil Namia itu menarik pedangnya melayang ke atas labirin menembus segala keraguan dengan menodongkan langsung senjata itu ke arah tenggorokan Dewa Astro.
Sigap dengan lincah berkilah hingga meleset si pedang tak mengenai sasaran. Sekali lagi Namia mengibas ke kiri dan kanan, kian membabi buta hingga tubuhnya melompat dalam layang yang begitu ringan ia tak gentar menyerang.
"Kurang ajar!"
Sesaat menarik tangannya mengawasi setiap gerak-gerik Dewa Astro yang sedikit pun tidak bernajak dari tempatnya. Bahkan tak ada sedikit pun tanda-tanda jika kakinya bergeser meski hanya satu titik.
Namia terbang mengepakkan sayapnya, pedang itu siap meluncur ke arah ujung kepala dan ....
TRANG!
Terpental jauh pada saat Raja Petir menyentilkan kerikil menghempas jauh pedang itu terjatuh.
"Paduka." Segera Namia turun dan rengkuh menarik kembali sayapnya.
"Paduka." Dewa Astro memberi hormat.
"Apa yang kalian perebutkan sebenarnya?" tanya Raja Petir dengan suara yang bengis.
"Ampun, paduka. Hamba mendengar sendiri jika Dewa Astro mengutus seseorang untuk melindungi Aurora di bumi."
"Hhmmm ... Namia. Apa kau sudah tidak sayang lagi pada klanmu?"
"Maksud paduka?"
"Kau menyerang Dewa Astro, sedikit banyaknya telah membuat alam langit tidak stabil dan bisa saja mengalami kehancuran. Makan yang pertama akan kuhancurkan adalah dirimu dan klanmu." Mengancam selir yang berasal dari klan burung itu
"Ampun, paduka. Hamba hanya bertanya, tapi orang ini terlalu bertele-tele."
"Kenapa kau tidak tanyakan saja padaku?"
"Apa hubungannya dengan Paduka?"
"Karena Elang turun ke bumi berdasarkan dekrit yang aku buat."
"Paduka, apa maksud anda? Bukankah anda tahu sendiri jika Aurora adalah satu-satunya ...."
"Tidak akan menjadi masalah apa-apa. Justru aku ingin melenyapkan Guntur terlebih dahulu, baru setelah itu membiarkan gadis itu mati lebih mengenaskan lagi."
Dewa Astro yang semula menunduk itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ia baru tahu jika laki-laki berjubah emas serta mahkota di hadapannya ini tak serta merta dengan tulus melindungi Aurora dari ancaman. Sulit diterka memang, pemikiran terlalu dalam itu sering kali mengecoh perkiraan.
***
Next....