200
...
"Rei... makan siang dulu, Sayang" Suara ibu
menginterupsi kegiatanku mengerjakan skripsi.
Bukan. Tepatnya melamunkan kak Vanno. Ibu
menghampiri dan mengusap rambutku.
"lya, Bu. Rei turun bentar lagi. Tanggung, masih
ngerjain skripsi" timpalku. Aku tersenyum
sebisaku. Meski sejak ia' pergi, senyumku pun ikut
pergi bersamanya.
Alih-alih keluar dari kamar, ibu malah duduk di
pinggiran tempat tidurku. Memandangku yang
pura-pura sibuk dengan semua benda di
hadapanku. Aku bisa merasakan kekhawatiran
beliau terhadapku. Aku, anak tirinya yang ia
yangi sepenuh hati. Penyebab pecahnya
keluarga kecil yang bahagia ini.
Selama beberapa menit, kami hanya terdiam.
Hanya suara detak jam dinding kamarku yang
mengisi kesunyian di antara kami. Ibu masih tetap
memandangku dengan tatapan khas seorang ibu
yang khawatir dan takut. Dan aku masih pura-pura
sibuk membaca entah buku apa di tanganku.
Hingga akhirnya suara ibu yang terdengar lirih di
telingaku berkata,