Download App
87.5% sekolah hantu / Chapter 14: Jawaban Pertama

Chapter 14: Jawaban Pertama

"Jangan buang sampah sembarangan!" Cowok tinggi itu memungut kaleng bir bintang, dan dia kembalikan pada Rahel. Ekspresi datarnya tidak berubah meskipun ada rasa kesal ketika melihat kaleng kosong di buang sembarangan.

Sementara Rahel memberikan ekspresi terkejut sambil menunjuk cowok asing dengan tangan kanannya. "Lo yang nolongin gue beberapa hari yang lalu kan? Ih, kok bisa sih kita ketemu di sini? Udah kaya takdir gak sih?"

Cowok bermata sipit itu menatap Rahel bingung, kedua alisnya sedikit bertaut sebelum dia kembali berjalan meninggalkan toko. Rahel tak mau menyianyiakan kesempatan emasnya, menyusul dewa penyelamatnya dengan senyum yang lumayan lebar.

"Nama gue rahel, kita satu sekolah tapi sayangnya gue gak pernah liat lo di sekolah," ucap Rahel yang sok kenal. "Gue juga anak baru sih, baru beberapa bulan di sekolah jadinya gak bisa tau semua temen satu angkatan. Make sense kan kalau gue gak pernah liat lo?"

"Kenapa ngikutin gue? Kita gak kenal, dan arah rumah lo emangnya lewat sini?"

Rahel menarik lengan kiri cowok di sampingnya ketika berhenti. Dia menggeleng ketika cowok itu memberikan ekspresi bingung. "Ada banyak pertanyaan di kepala gue dari kemarin. Gue butuh waktu lo sebentar aja buat pertanyaan ini."

"Ini subuh, lo gak tau?"

Rahel baru sadar ketika melihat jam tangannya yang menunjuk pada angka tiga pagi. Dia harus pulang, tapi tidak mungkin meninggalkan dewa penyelamatnya begitu saja. "Besok di sekolah, eh engga maksudnya nanti di sekolah bisa kita ketemu? Gue bener-bener harus nanyain banyak hal sama lo."

"Gue sibuk di sekolah."

"Sebentar aja, gak akan gue sita semua waktu itu lo. Cuman dua puluh menit, engga tapi lima belas menit aja udah cukup."

"Sepuluh menit."

Rahel cukup terkejut dengan jawaban cowok asing itu, tapi segera dia terima dengan anggukan penuh semangat. "Oke, pukul sepuluh pagi di kantin kosong."

"Kantin kosong?" keningnya bertaut tak mengerti.

"Kantin yang udah gak di pakai lagi, yang... yang udah gak operasi lagi lo tau kan?"

"Oh, itu gue tau. Oke, jam sepuluh pagi gue ke sana."

Rahel memberikan senyum sambil mengangguk sebelum akhirnya berlari pergi karena sebentar lagi sang mama akan bangun dari tidurnya. Kegiatan pertama yang dilakukan Febby selama ini adalah membuka pintu kamar sang anak dengan napas lega.

Rahel tidak mau mendengar omelan beserta ceramah pagi seperti dulu, sudah cukup untuknya mendengarkan siraman rohani yang tak pernah ada habisnya. Sekarang waktunya untuk dia bisa mengatur waktu dengan sebaik mungkin agar bisa memikirkan cara untuk memulangkan Vito ke akhirat.

****

Meja kayu itu dia pakai seperti alat musik gendang, ketukannya cukup berirama meskipun tidak semerdu gendang. Rahel terus mengetuk meja kayunya sambil memerhatikan pintu masuk kantin, tapi sampai saat ini cowok asing semalam masih belum datang.

Entah ada di mana dia sekarang, sedang apa, dan apakah dia lupa atau mungkin mengabaikan janjinya, Rahel tidak tahu pasti. Dia hanya bisa berharap semua pertanyaan yang ada di kepalanya sejak kemarin terjawab dengan mudah.

"Aduh, maaf banget gue telat."

Rahel tersenyum melihat dewa penyelamatnya berlari mendekat dengan ekspresi kewalahan. Dia tidak tahu pasti apa saja yang telah dilakukan cowok itu, tapi intinya dia lega karena janjinya benar-benar di tepati. "Gapapa kok, gue juga baru dateng. Jadi gak lama banget nunggunya, jadi santai aja!"

"Oh, syukur deh kalau kaya gitu." Dia mulai duduk tepat di depan Rahel dengan ekspresi yang masih sama seperti semalam. "Pertama-tama nama gue juna, gue juga kelas tiga di kelas IPS."

"Ouh, oke."

Juna mengernyit karena jawaban Rahel barusan, dan Rahel yang baru saja sadar tersenyum kikuk. "Kemarin gue gak sengaja liat lo di toilet sama arwah cewek itu. Dia mohon-mohon gitu ke elo, tapi yang jadi pertanyaan gue itu, kenapa dia mohon kaya gitu? Kalian ada bikin janji?"

"Lo... bisa liat dia?"

Rahel mengangguk pelan. "Kalau gak bisa sih jelasnya gue kemarin gak akan ngerasa tersiksa terus masuk rumah sakit."

"Engga, hampir semua orang yang dia ganggu kaya gitu. Pingsan karena gak tahan, masuk UKS, atau malahan gak sadarkan diri buat beberapa hari."

"Hah! Kok bisa?" Rahel mengernyit saking terkejutnya. "Kok bisa kaya gitu?"

"Gue gak tau pasti soalnya gue gak ngurusin korban, tapi arwah perempuan ini yang gue urus." Juna mengambil napas sebelum menoleh ke arah pintu keluar kantin. Memastikan tidak ada siapa pun selain mereka berdua. "Gue gak bisa cerita ke orang lain, tapi kayanya lo bisa bantuin gue karena lo penasaran sama hantu ini. Sebenernya gue bantuin dia buat pulang, tapi udah dua bulan ini dia masih gak tau tentang kematiannya, bahkan dia lupa sama namanya sendiri."

"Kenapa bisa kaya gitu?"

"Ada macam-macam arwah penasaran Rahel. Ada yang tahu kalau dia meninggal terus cari cara supaya bisa pulang, ada yang gak tahu kalau dia udah meninggal terus ngelakuin aksi waktu dia meninggal secara terus-menerus. Ada juga yang udah tau kalau dia meninggal, tapi dia lupa gimana caranya dia meninggal dulu."

"Banyak ya ternyata, gue baru tau soal ini." Rahel memendam bibirnya sambil memerhatikan kedua tangan Juna yang ada di atas meja. Keningnya bertaut sebelum kembali menatap kedua manik mata cowok itu. "Gue semalem mimpi aneh juga, selama ini gue selalu mimpi jadi pemeran utamanya atau masuk ke cerita orang lain yang gak bisa ngapa-ngapain. Tapi kali ini beda, gue mimpi cerita orang lain. Gue gak yakin sih sama ingatan gue sendiri, tapi... kalau gak salah sih mereka berdua pakai seragam sekolah yang ada nama sekolah kita."

"Sekolah kita?" kening Juna bertaut. "Siapa? Namanya siapa?"

"Ada cowok sama cewek di ruang UKS, seinget gue sih nama cowoknya ragil sementara si cewek namanya Ainun. Gue gak tau kenapa musti mimpiin mereka-"

"Tunggu!" ekspresi serius Juna membuat Rahel terdiam seketika. "Adegan apa aja yang ada di sana?"

"Mimpi pertama itu gue liat mereka selesai having sex di UKS, tapi abis itu ainun bilang ke ragil kalau dia hamil. Cuman si ragil gak percaya, akhirnya latar tempat berubah di toilet. Ainun beneran hamil terus ragil nyiksa ainun kaya orang kesetanan di toilet paling pojok, dia masukin kepala ainun ke dalam air sebelum akhirnya si rambut di kasih banyak shampo."

"Shampo?" kedua netra Juna membulat sempurna, ciri-ciri kematiannya hampir sama dengan arwah perempuan yang ingin dia tolong. "Wajahnya kaya gini gak?" Juna menyentuh tangan kanan Rahel, dan berkata, "Tutup mata lo buat liat orang yang gue maksud!"

"Emang bisa?"

"Bisa." Juna mengangguk serius, begitu meyakinkan hingga Rahel mau melakukannya.


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C14
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login