Download App
24% Sebuah Mimpi yang Melebihi Langit / Chapter 6: Bab 6 : Kelulusan Bukanlah Akhir

Chapter 6: Bab 6 : Kelulusan Bukanlah Akhir

24 Mei, Hari Kelulusan

Pada akhirnya, hari ini tiba. Tibalah, sebuah momen dimana diriku terlepas dari masa remajaku... dan meninggalkan masa sekolah menengah atas. Setelah 3 tahun yang tak terlupakan. Melalui hari-hari yang indah, buruk, menyenangkan, maupun menyedihkan. Akhirnya tiba, saat untuk melangkah melewati kenangan-kenangan tersebut untuk melewati hidup baru. Apakah itu memasuki perkuliahan, mendaftar pekerjaan, atau mungkin saja hidup bersama pasangan hidupnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nantinya.

"Bapak mengucapkan terimakasih banyak atas 3 tahun kalian..."

Duduk pada kursi merah yang empuk, aku berada di aula besar yang dipenuhi oleh semua murid kelas 3 dengan wajah serius mereka. Perpisahan kami diadakan pada aula hotel ternama di kota, sekolah bekerjasama dengan hotel tersebut untuk mempersiapkan upacara kelulusan yang begitu bagus dibandingkan sekolah lain. Jujur, ini pun pertama kalinya aku memasuki hotel bintang lima mengenakan jas bagiku. Semua murid laki-laki diwajibkan memakai jas hitam mereka sedangkan perempuan mengenakan gaun batik untuk menghadiri perpisahan.

"Benar-benar panas ya pakai jas, aku tidak terlalu menyukainya."

Yuda yang ada di kursi sebelah kananku mengajakku berbicara ketika kepala sekolah tengah berpidato di panggung. Sebenarnya berbicara sendiri ketika ada yang tengah menyampaikan pidatonya itu kurang etis, tapi aku juga merasa bosan mendengarkan pidato yang lama tersebut.

"Benar, apalagi orangnya sebanyak ini. Aku takjub aulanya bisa menampung semua murid, guru, dan juga para orang tua."

"Pastilah, kualitas hotel bintang lima memang berbeda. Beruntunglah kita tidak melaksanakan upacaranya di aula sekolah, bisa-bisa lebih panas lagi."

Aku tertawa kecil mendengar candaannya. Tak terasa, kami pun nanti akan berpisah kembali. Agak sedih memang, mengingat aku mengenal Yuda semenjak SMP. Kini kami akan pergi mengejar tujuan masing-masing.

"Setelahnya, pembagian ijazah kelulusan dari tiap jurusan."

Sejujurnya, aku merasakan banyak perasaan yang bercampur aduk. Dari rasa takut, yang menyadari sejak bangun tidur tadi pagi bahwa aku akan lulus pada hari ini... menghadiri upacara kelulusan dengan namaku dipanggil untuk naik pada panggung. Rasa kegembiraan karena aku akhirnya dapat lulus dari 3 tahun masa belajarku, tidak sabar untuk menunjukkan ijazah kelulusan pada orang tuaku dan melihat wajah bangga mereka dari atas panggung. Hingga, rasa sedih saat mengetahui bahwa hari ini adalah hari terakhir aku dapat bertemu dengan teman-teman semasa SMK, saling membicarakan tentang bagaimana ini akan menjadi terakhir kalinya bersama... atau akan pergi kemana nantinya. Namun, perasaan paling dominan yang kurasakan adalah... perasaan bahwa semuanya berlalu terlalu cepat.

"Theo Lasmana, dari Software Engineering."

Aku pun berdiri dari kursiku, berjalan pada lantai berkarpet merah dengan tepuk tangan dari berbagai orang.

Padahal aku merasa baru masuk SMK tidak begitu lama, tapi tahu-tahu telah duduk di kursi kelulusan sekarang, menunggu namaku dipanggil. Baru kemarin-kemarin aku magang selama 3 bulan... mengerjakan tugas akhir, mengerjakan UN, dan mengikuti beberapa tes lainnya. Aku sadar, semuanya berlalu sangat cepat karena aku tidak menikmati masa mudaku. Terlalu fokus pada impianku hingga lupa untuk menikmati masa-masa remajaku dengan menghabiskannya untuk bekerja serta belajar. Meski... aku tidak begitu menyesalinya, karena ada hasilnya, sekarang aku bisa berdiri dengan bangganya di sini. Melihat ke setiap penjuru aula untuk menemukan ibuku. Hingga kutemukan ibuku yang tengah tersenyum padaku. Kujunjung gulungan ijazahku ke atas dan melambai-lambaikan gulungan tersebut padanya. Kupersembahkan ijazahku ini untuk ibuku, yang telah mengawasiku, membimbingku, dan memastikan diriku dapat lulus selama 3 tahun terakhir. Aku sangat berterimakasih padamu, Ibu.

Lalu, semuanya berakhir. Upacara kelulusan pun berakhir setelah semua siswa maju pada panggung. Aku melangkahkan kaki ke luar aula untuk mengambil beberapa udara segar. Yang sebenarnya, aku tidak terlalu suka berada di dalam aula karena banyak siswa yang saling berpelukan dan menangis satu sama lain. Beberapa dari mereka pun mengambil foto kenangan atau sekedar ingin bercerita saja.

"Theo, kucari-cari rupanya dah keluar." Yuda tiba-tiba saja menepuk pundakku dari belakang.

"Aku cuma mau cari udara saja. Ada apa memangnya, Yud ?"

"Aku mau pamit duluan."

"Pamit ? Pulang maksudnya ?"

Mendengar dirinya hendak pulang duluan membuatku kaget. Tidak seperti biasanya Yuda langsung pulang, dia selama ini termasuk dalam jajaran orang yang pulang di akhiran karena suka mengobrol dengan yang lainnya.

"Ya, karena besok ada UTBK. Jadi aku harus persiapan terlebih dulu."

UTBK... ternyata dia sudah memutuskannya kah. Untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi tersebut. Selama ini aku juga melihat dirinya yang terkadang belajar ketika ada jam kosong.

"Setelah ini, mungkin kita akan jarang ketemu."

"Kamu... mendaftar universitas mana, Yud ?"

"Aku masih belum yakin bakal diterima, mungkin kucoba Universitas di Bandung. Mengingat nenekku juga tinggal di sana."

"Bandung kah..."

Bandung sendiri berjarak cukup jauh dari Purwokerto, kota yang kami tinggali sekarang. Aku cukup sedih mendengarnya, tapi jika dia memang telah memutuskannya, mau bagaimana lagi. Ini saatnya bagi kami untuk memulai hidup kami masing-masing, seiring berjalannya waktu juga... perpisahan ini pasti akan terjadi.

"Semoga berhasil Yud. Aku mendoakanmu."

"Kau juga, sahabatku."

Kami pun saling bertukar salaman satu sama lain, menggenggam tangan kami dengan begitu eratnya. Ingatan-ingatan bersamanya terputar kembali, dari sahabatku, Yuda yang selalu mendukungku. Meski dia termasuk dalam deretan siswa paling populer sejak SMP karena paras tampannya, ia mau berteman denganku yang biasa-biasa saja. Bahkan, beberapa kali ia membelaku saat dibully oleh siswa lainnya. Aku masih mengingat saat ia bertengkar dengan teman sekelas kami sewaktu SMP karena dia mengejek nilai matematikaku yang begitu kecil, hingga gaduh ke kelas lain dan membuat banyak siswa mendatangi kelas kami untuk melihat pertengkarannya.

"Duluan ya, Theo. Jangan lupa bawakan aku oleh-oleh sepulang dari Jepang !"

"Tentu saja, kawanku !"

Aku juga perlu untuk melepaskan diri darinya. Aku harus bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Terdapat sedikit harapan agar ia terus melanjutkan belajarnya di sini, karena di Purwokerto juga terdapat Universitas Negeri ternama. Tapi, ya, sudahlah. Perpisahan juga hal yang penting dalam persahabatan.

"Dan sekarang... apa yang akan kulakukan."

Sekarang aku bingung setelah Yuda telah pergi dari hadapanku. Kembali masuk ke dalam... aku tidak tahu akan melakukan apa setelahnya. Urusanku telah selesai di sini, ijazah sudah ada di tanganku, ibu juga telah pulang duluan tadi. Tapi... aku masih belum berterimakasih pada Eri. Dia telah membantuku belajar belakangan ini, berkatnya pula aku dapat nilai memuaskan pada UN.

"Dia begitu cantik hari ini..."

Aku masih mengingatnya, ketika ia naik pada podium. Eri memakai gaun one-piece berwarna coklat dengan motif batiknya, serta rambut panjangnya yang ia biarkan terurai. Melihatnya berjalan dengan begitu tenang serta pakaiannya yang begitu elegan, bagai putri solo.

"Siapa yang kamu bilang cantik itu, Theo ?"

"Itu loh, si E—"

Tiba-tiba saja orang yang tengah kubayangkan tadi muncul tepat di sebelahku. Dia berdiri di sana, mendongakkan wajahnya mendekat padaku yang tengah panik sekarang. Aku berusaha untuk mengalihkan pandanganku padanya, malu, jikalau ia mendengarkan kata-kataku barusan.

"Ngomong-ngomong, kamu ngapain berdiri sendirian di sini ? Gk ada teman ?"

"Kamu juga. Kenapa keluar dari aula."

Entah bagaimana, mungkin karena suasananya yang ramai, dia sepertinya tidak mendengar kata-kataku barusan. Atau dia sengaja membiarkannya.

"Aku tidak terlalu suka ditanyai macam-macam oleh orang tua. Di dalam juga sangat ramai. Aku tidak suka tempat ramai."

"Ternyata sama juga denganku."

Dia kemudian berjalan ke sampingku, sama-sama bersandar pada tembok seperti yang tengah kulakukan sekarang. Walau tadi aku telah melihatnya di atas podium, jika dilihat dari dekat, aku paham mengapa Eri menjadi perhatian semua orang.

"Kamu ngapain liat aku terus ?"

"Ah— nggak, anu—"

Ternyata ia menyadarinya, saat diriku melihatnya semenjak tadi. Aku hanya... tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Siapapun juga pasti lebih memilih memandangi mawar yang lebih indah dan sulit dijangkau daripada bunga-bunga lainnya bukan. Ah, kesampingkan hal itu. Ini saat yang tepat untukku mengatakan terimakasihku padanya ! Apalagi sekarang tengah sepi di luar sini.

"Anu, Eri. Aku ingin berbicara padamu."

"Ada apa memangnya ? Kenapa wajahmu menjadi serius ?"

"Se-Sebenarnya... Aku-Aku—"

BRAK

Pintu besar yang ada di samping kami terbuka begitu kerasnya. Kemudian beberapa orang berjalan keluar dari ruangan, membuat suasana yang tadi sepi menjadi ramai karena orang-orang yang saling berbicara. Aku pun menghentikan perkataanku barusan, akan memalukan bagiku untuk mengatakannya dengan orang sebanyak ini di sekitar kami.

"Cih, terlalu ramai di sini. Ikuti aku, Theo."

"Eh ? Eri. Kamu mau kemana ?"

"Ikuti saja aku."

Pada akhirnya, aku menyerah dan mengikutinya ke arah yang ia tuju. Seperti apa yang kulihat sekarang, kerumunan orang telah memenuhi lantai kedua dari hotel, dengan hiruk-pikuknya. Melihat banyaknya orang dari siswa, guru, dan orang dewasa berada di satu tempat saja membuatku kebingungan. Tetapi gadis ini, dia sama sekali tidak takut maupun gentar. Menerobos orang satu persatu tanpa keraguan.

Setelah menyingkirkan beberapa orang dari jalannya, dia terus melaju dan melaju, melalui gelombang orang tiada hentinya. Aku pun terus menjaga mataku darinya, agar tidak hilang dari pandanganku. Kami mulai sampai pada daerah yang terdapat sedikit kerumunannya. Baru pada saat itulah ia membuka maksudnya membawaku ke sana. Tempat tersebut merupakan pintu masuk menuju lift hotel.

"Ki-kita mau naik lift ?"

Dia menghiraukan pertanyaanku, memencet tombol lift hingga muncul tanda dari lift tersebut yang mulai menaik ke atas.

"Kita tidak boleh pakai fasilitas hotelnya bukan... apa boleh naik ke lantai lainnya ?"

"Ikuti saja aku Theo."

Pintu lift terbuka, menampakkan padaku isinya yang kosong tanpa ada orang satupun. Eri memasukinya ke dalam, sambil memberikan gestur tangannya padaku untuk segera masuk ke dalam. Aku melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada orang yang melihat kami, setelahnya langsung melompat masuk ke dalam lift.

Begitu masuk ke dalam, tanpa basa-basi dia memencet lantai teratas yang ada pada tombol lift. Lantai teratas sendiri merupakan lantai 15. Entah mau kemana aku akan dibawa olehnya, diriku pun hanya dapat diam mengikutinya.

"Memangnya di lantai 15 ada apa ?" tanyaku pada Eri.

"Kamu nanti akan tahu."

"He-He... kamu sudah pernah ke hotel ini sebelumnya kah ? Sampai tahu tempat liftnya segala."

"Memang. Waktu pertama kalinya aku sampai di kota Purwokerto, aku menginap semalam di hotel ini."

Seperti yang kuduga dari putri seorang CEO ! Padahal pertanyaanku tadi hanya bercanda saja.

Lift pun membawa kami naik perlahan dari lantai 2, menaiki lantai demi lantai hingga berhentilah di lantai paling tinggi. Pintu lift terbuka, menunjukkan kami tempat yang begitu terangnya, sampai menyilaukan mataku.

"Kita sudah sampai."

Begitu aku melangkahkan kaki dari lift, yang kudapati adalah kolam renang terbuka yang ada di atap hotel. Kolam renang tersebut begitu lebar, serta bersih hingga aku dapat melihat keramik berwarna biru muda di dasar kolamnya. Di pinggiran kolam terdapat beberapa kursi kayu dengan payung lebar, serta meja kecil.

"Indahnya..." kataku dengan perlahan.

Aku terus berjalan mengikuti Eri yang tengah mengitari kolam. Ia mendekat pada pinggiran menuju ke tembok pembatas yang terbuat dari kaca transparan. Di atas sini angin begitu kencangnya, namun tidak membuat Eri berhenti dari langkahnya. Setelahnya, ia berkata kepadaku.

"Pemandangannya masih sama... begitu menakjubkan."

Pada tembok kaca setinggi dadaku, aku melihat jauh ke depan sana. Mataku terbuka lebar, saat melihat apa yang ada di atas sini. Sebuah pemandangan kota Purwokerto terlihat begitu jelasnya, dengan gedung-gedung berkacanya, rumah-rumah kecil yang berada di penjuru arah, serta jalanan yang ramai oleh kendaraan. Tidak hanya itu, di belakang pemandangan kota tersebut nampak Gunung Slamet yang begitu indahnya. Cuacanya sedang cerah sekarang sehingga bentuknya yang mengerucut bisa terlihat dengan jelas, dari lerengnya yang berwarna hijau tua hingga puncaknya yang berwarna coklat muda.

"Pada malam hari itu aku tidak bisa tidur karena ini pertama kalinya bagiku untuk pergi ke kota lain tanpa kedua orang tuaku. Aku sangat khawatir dan takut bagaimanakah diriku ke depannya di kota ini, memutuskan untuk pergi ke lantai teratas karena penasaran."

"Namun yang kudapati... pemandangan yang jauh lebih indah daripada yang kuduga. Pemandangan inilah yang menemaniku pada saat itu, yang tengah merindukan orang tuaku. Sama seperti sekarang juga."

Matanya bergeser ke samping, mengalihkan pandangannya dariku, aku dapat melihat air mata melapisinya. Ketika dia berkedip, air matanya menetes dari kelopak matanya dan meluncur ke pipinya. Eri menggigit bibirnya dengan keras, berusaha menahan suara yang hendak keluar dari tangisnya.

"Mereka... lagi-lagi tidak datang..."

Bersamaan dengan suaranya yang bergetar tersebut, rasanya sedihnya terbawa bersama angin yang berhembus. Aku baru teringat akan suatu hal. Sewaktu Eri mendapat penghargaan murid dengan nilai tertinggi paralel, saat nama orang tuanya dipanggil, tidak ada satupun dari mereka yang naik ke panggung. Hingga aku melihat Eri berbisik pada pembicara dan mereka berhenti memanggilnya. Kedua orang tuanya... tidak datang pada upacara kelulusannya, dia sendirian, sejak awal upacara hingga semuanya berakhir.

"Kesampingkan hal itu... kau ingin membicarakan apa sewaktu di bawah tadi ?"

Lagi, dia menyeka air matanya. Seakan tidak mau memperlihatkan sisi tersebut pada orang lain. Aku kembali melihat wajahnya, air matanya telah menghilang pada kedua pipinya. Senyumnya yang ia tunjukkan kepadaku semakin menyamarkan perasaan sedihnya ketika ia berdiri di sampingku.

"Aku... ingin mengucapkan terimakasih banyak kepadamu, Eri. Karena telah membantuku selama ini, berkatmu nilai UNku mampu melebihi 75. Untuk pertama kalinya juga, di SMK, aku mendapatkan nilai matematika lebih dari 50."

"Benarkah ? Syukurlah aku bisa membantumu. Dengan itu, kamu bisa lolos persyaratannya kan ?"

Bagai tak memiliki masalah sama sekali, Eri berbicara seolah-olah apa yang terjadi barusan telah hilang terbawa oleh angin. Itu justru membuatku tidak enak untuk meneruskan percakapan kami. Aku tahu bahwa ia sedih, namun tidak mau membiarkan orang lain mengetahui kesedihannya juga. Sama seperti saat kami pertama kali bertemu.

"Theo ? Kenapa kamu diam saja ?"

Aku mengangkat kepalaku menanggapi suaranya, menghadap Eri yang syok saat aku tiba-tiba saja mengangkat kepalaku. Mungkin, aku tidak tahu apa-apa soal permasalahan yang ia hadapi. Namun, sebagai seorang pria, aku tidak bisa membiarkannya menghadapi masalah itu sendirian setelah ia mengatakannya kepadaku. Apalagi, hari ini seharusnya adalah hari paling bahagianya karena di hari inilah ia lulus dari masa sekolahnya. Menghabiskannya dengan menangis sendirian itu terlalu menyedihkan.

"Eri, apa kau setelah ini punya waktu luang ?"

"Aku tidak memiliki kegiatan penting hari ini, memangnya kenapa ?"

"Maukah kau ikut denganku, ke kota."

"Maksudmu... membonceng motormu ? Tapi aku tidak membawa helm."

"Tidak perlu khawatir, aku membawa dua helm."

"Tapi... apa kamu tidak apa-apa pergi denganku ? Tidakkah kamu ingin menghabiskan waktu dengan teman-teman lainmu juga ?"

Aku terkikik mendengar jawabannya tersebut.

"Kalau aku mempunyainya, kenapa aku malahan berdiri sendirian di luar aula ?"

Setelah aku berkata barusan, ia terdiam, berpikir selama sekitar satu menit dan memberikan jawaban singkat. "Benar juga ya." Kepadaku.

"Kamu juga belum pernah berkeliling ke pusat kota kan ?"

Ia menggelengkan kepalanya. Mengingat sekolah kami berada di jauh selatan kota yang jauh dari hiruk pikuk, aku telah menduganya kalau ia belum pernah pergi ke pusat kota. Sebuah kesempatan yang bagus juga untuk mengenalkan bagusnya kotaku padanya.

"Pergi sekarang ?" tanyaku kembali padanya.

Eri menatapku dengan tatapan kuatnya sebelum menjawab pertanyaanku dengan anggukannya. Diriku langsung dipenuhi oleh semangat begitu melihatnya.


next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C6
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login