Julian Marvel adalah seorang pelajar kelas sebelas SMA dan berusia enam belas tahun. Ia adalah seorang cowok yang introvert. Kiki pernah bilang kalau ia sebenarnya ganteng. Cuma kurang pintar menarik cewek karena ia cupu—katanya juga Julian itu; pintar, cuek, kalem dan minim pergaulan. Dan itu info yang tidak penting. By the way, Kiki adalah sahabat Julian dari kecil, mereka sudah saling mengenal sejak Taman Kanak-Kanak. Mungkin Kiki adalah satu-satunya orang dari sekian warga sekolah yang dekat dengannya. Oh, memang, Julian tidak suka dekat dengan orang lain yang tidak begitu penting.
Akan tetapi, harapannya untuk menjadi cowok goa yang apatis pada negeri tampaknya harus berhenti ketika kejadian yang sulit dipercaya telah dialaminya. Berkat hal itu, nasib mengirimnya pada kehidupan seseorang bernama Adrian Hazel dengan semua kekacauan. Di mana keduanya yang tak saling mengenal baru menyadari bahwa mereka berada dalam satu lingkungan sekolah yang sama. Serta merupakan senior dan junior di sekolah tersebut.
Hal-hal di atas adalah catatan penting yang Hazel rangkum ketika sekitar seminggu ia berada pada tubuh Julian Marvel—adik kelasnya. Well, untuk memperjelas, Julian Marvel adalah tubuh yang ia huni sejak kecelakaan yang terjadi pada keduanya seminggu silam. Ruh mereka tertukar. Dengan kata lain, tubuhnya juga dihuni oleh orang lain, orang itu adalah Julian Marvel. Hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah pasca kecelakaan—hari pertama di tubuh barunya. Konyol, pikirnya.
"Julian!" panggil seorang cowok jangkung dengan seragam basket lengkap membalut tubuhnya. Ini dia yang namanya Kiki. Hazel berjengit ketika tangan Kiki melilit lehernya. "Gue abis latih tanding, belum ngerjain PR. Bagi PR Matematika lo dong."
Hazel menyingkirkan tangan Kiki dari bahunya. "Gue juga belom ngerjain."
Kiki menatapnya kaget. "Seriusan? Bohong banget!"
Hazel mengangkat bahu tak acuh. Diliriknya Kiki yang menatapnya dengan pandangan aneh. Cowok ini lumayan tinggi, bahkan lebih tinggi dari tubuh Julian. Kulitnya yang langsat berkeringat di bagian lengan. Wow, cukup atletis untuk pemain basket remaja. Jadi inilah sahabat pemilik tubuh yang dihuninya.
"Jul, lo marah sama gue? Kalau masalah gue ingkar janji buat nemenin lo ke toko buku, oke, gue minta maaf."
"Apaan sih? Jangan ganggu gue!"
Hazel melihat kebingungan Kiki yang memuncak. Tapi kemudian ia meninggalkannya di depan kelas dan langsung menuju ke bangkunya—ia sempat bertanya di mana kursinya, tapi tempatnya berada cukup untuk dilirik para guru, jadi ia memutuskan untuk pindah ke belakang dekat jendela.
"Jul ...." Kiki mengejar dan merangkul pundak sahabatnya itu lagi.
"Lepasin nggak!"
"Wow, biasa aja keles."
Hazel memelototinya dan melipat tangan di meja, lalu tertidur.
Sementara di tempat lain seorang cowok tengah membuka buku pelajaran Matematikanya. Wajahnya yang tampan fokus pada deretan logaritma yang terpampang di satu lembar buku. Sesekali ia mengetukkan pulpennya ke dahi sambil mendengar penjelasan guru di depan. Ia memang bukan kelas dua belas, tapi keadaan memaksanya melakukan itu.
Namanya Adrian Hazel—atau semua orang memanggilnya seperti itu; yang berarti itu bukan namanya. Keadaan di luar logika membuatnya terjebak dalam tubuh orang lain dan membuatnya melakukan sandiwara tidak berencana ini agar tidak menimbulkan kekacauan. Semuanya terjadi sejak kecelakaan itu, kejadian setelah ia pulang belajar kelompok bersama di rumah Nisa, temannya. Bersama Kiki juga.
Cowok itu menghela napas, enggan mengingat kejadian itu. Punggungnya menyandar pada bangku dan penjelasan gurunya selesai. Setelah bel berbunyi ia akan menjalankan sandiwaranya lagi menjadi Hazel dan membaur bersama teman-teman pemilik tubuh ini. Dengan bosan ia memasukkan buku pelajaran ke dalam tas lalu perhatiannya segera beralih ketika cowok yang bernama Adam, menghampirinya. "Zel, cewek lo nyariin tuh," katanya.
Matanya langsung mengarah pada jari Adam yang menunjuk ke arah pintu. "Siapa ya? Gue lupa namanya?"
Adam mengernyit sambil memegang dahi temannya itu. Untuk memastikan suhu badannya di sana. "Lo pura-pura lupa apa emang bego?"
Cowok itu membuat ekspresi yang sulit dijelaskan. "Emang dia nyariin gue?"
Adam menggaruk hidungnya, nada yang dilontarkan temannya itu sangat aneh dan kaku. Yang dilakukan 'Hazel' setelahnya adalah menghampiri cewek yang 'katanya' pacarnya itu. Sekali-kali meladeninya mungkin tidak apa-apa. Mengingat beberapa hari yang lalu ia selalu menghindar.
Cewek berambut ikal sebahu itu langsung merangkul lengannya. "Kantin, yuk, sayang."
"Aduh, gue mau ke perpus nih," jawabnya cepat-cepat, dan langsung membuat Aneshka bingung.
"Sejak kapan kamu ngomong 'Gue-Lo' sama aku? Sejak kapan kamu ke perpustakaan? Bukannya kamu nggak suka ke perpus, ya? Kantin aja yuk," rajuk Aneshka yang membuatnya kehabisan kata-kata.
"A-aku lupa ada janji sama Kiki," jawabnya cepat sambil membaca jahitan nama di baju perempuan itu. "Nanti aja kita ngomong lagi ya, Aneshka. Bye."
Belum sempat Aneshka berbicara, 'Hazel' berlari cepat menuju ke lantai dua. Sampainya di sana, ia langsung menuju ke kelas XI IPS 1—kelas yang seharusnya ia tempati. Begitu ia sampai di ambang pintu. Seseorang yang sangat amat dikenalinya luar dalam tengah menatapnya di pojok kelas—itu Julian—itu tubuh aslinya.
"K-Kiki!"
Yang dipanggil menoleh lalu berlari dengan bingung mendapati kakak kelas memanggilnya. Kiki terlihat kebingungan. Seingatnya ia tidak pernah mencari masalah atau merebut pacar kakak kelasnya itu. Tentu saja, siapa yang tak mengenal Adrian Hazel, anak XII IPS 3, cowok yang terkenal slengekan dan playboy.
"Ada apa ya?" tanya Kiki ragu, tapi melihat gesturnya yang nampak tak mengajak berkelahi, ia sedikit lega. Apalagi setelah melihat senyum lebar sang kakak kelas.
"Kantin, yuk."
"Hah?"
Selama di kantin, mereka tak memesan apa-apa, hanya duduk sambil minum es teh manis. Wajah salah satu dari mereka berdua menunjukkan ekspresi tertawa.
"Ki, gue serius. Gue Julian!"
"Kakak senior yang ganteng, sorry ya. Becanda lo sumpah nggak lucu!" Kiki masih tertawa sementara kakak kelasnya itu berdecak kesal. Ia kelelahan meyakinkan Kiki—sahabatnya—bahwa ia adalah Julian.
"Gimana lagi ngeyakinin lo kalau gue ini Julian?!"
"Monyet kejepit juga nggak akan percaya!"
"Ki, please. Gue serius!"
Kiki menghentikan tawanya. "Oke. Kalau lo Julian, lo pasti tau hobi gue."
"Hm. Nonton bokep, ngintipin cewek-cewek ganti baju di kelas kalau pelajaran olahraga, bayangin hal-hal mesum, ngayal punya cewek yang punya dada besar—"
"Kenapa yang jelek semua yang lo sebutin?!" Kiki memijit kulit di antara kedua matanya. Kemudian menatap cowok itu intens. Matanya menyipit seolah-olah menerawang jiwa Julian yang memang berada di dalam tubuh kakak kelasnya ini. "Lo beneran Julian?"
"Bener!"
"Tapi ini nggak masuk akal." Kiki memutar otak sembari mengumpulkan semua pertanyaan demi meyakinkan bahwa sosok di depannya ini adalah Julian—sahabatnya. "Siapa nama bokap gue?"
"Kurniawan."
"Siapa nama lengkap gue?"
"Rizky Aksal Kurniawan."
"Gue punya berapa kucing?"
'Hazel' memutar bola mata. "Lo alergi kucing."
"Sial! Siapa nama pacar gue?"
"Lo jomblo sehidup semati yang nggak akan melepas keperjakaannya sampe nemuin cewek semok dada besar yang bakal jadi cewek lo!"
Kiki mengedip beberapa kali. "Untuk seorang stalker, lo cukup hebat!" Lalu ia bangkit dari bangku terburu-buru dengan wajah ngeri. 'Hazel' menahan tangannya.
"Kiki, ayolah."
"Oke. Sekarang gini ya, err, Orang Yang Mengaku Julian. Gue sampe detik ini nggak ngerti setan apa yang ngerasukin tubuh kakak kelas playboy ini dan ngebuat dia ngaku sebagai Julian, introvert kekal yang pernah gue kenal."
"Ceritanya panjang, Ki."
Kiki bersiap mendengarkan sampai bel pembawa sial bagi siswa yang bosan belajar itu berbunyi. Kiki bangkit dari kursi dan melempar gelas plastik es tehnya ke tong sampah. "Temuin gue pulang sekolah nanti, gue butuh penjelasan lengkapnya."
***
Pelajaran Sejarah yang seperti dongeng itu berakhir setelah bel pulang berbunyi. Seperti di tendang dari alam mimpi, Hazel bangun dengan gestur kaget. Matanya masih lengket ketika melihat teman-teman sekelasnya memasukkan peralatan mereka ke tas. Sepertinya ia tertidur seperti mayat sepanjang pelajaran Sejarah. Untung saja ia terbangun saat bel, ia tak mau ambil resiko ketiduran di kelas itu sampai malam jika misalnya saja tidak ada yang membangunkannya. Matanya benar-benar terbuka dan kini ia tengah memerhatikan sosok Kiki yang berada di depannya. Sejak bel istirahat berakhir Kiki bersikap aneh dan melontarkan pertanyaan yang aneh juga.
Si Julian palsu itu hanya bisa menjawab semua pertanyaan Kiki yang merujuk pada keingintahuan yang hebat itu dengan ketus, "Emang gue emak lo, yang tau tentang betapa nggak pentingnya diri lo di dunia ini?!"
Dan obrolan 'hebat' itu berhenti karena salah satu pihak benar-benar menyadari sesuatu; bahwa ini memang tidak beres.
"Kiki!"
Suara itu membuat keduanya menoleh ke arah pintu. Sosok laki-laki yang amat sangat dikenalnya masuk ke dalam kelasnya dan menghampiri makhluk absurd yang tadi menanyainya aneh-aneh.
"Buruan!" katanya.
"Iya, sabar!"
"Julian, gue duluan!" pamit Kiki yang tentunya mengarah pada Julian palsu yang kini tubuhnya dihuni orang lain. Ia lantas melambaikan tangannya sok akrab. Sementara Hazel yang sedari tadi bergeming itu hanya menoleh tak acuh. Tapi ketika tubuh mereka menghilang keluar kelas, ia mengacak-acak rambutnya kesal.
***
Jadi cerita sebenarnya begini; kejadiaannya waktu itu Rabu malam, tepat seminggu yang lalu. Julian bersama beberapa teman yang lain termasuk Kiki, tergabung dalam satu kelompok belajar yang dipilih guru Bahasa Indonesianya. Mereka mendapatkan tugas membuat cerpen—yang kalau tak salah ingat temanya tentang perjalan ke luar negeri—dan mereka diminta mengumpulkan tugasnya tepat hari Jumat, saat pelajaran itu tercatat di jadwal mereka.
Malam itu waktu menunjukkan pukul sembilan, Julian dan yang lain memutuskan pulang dari rumah Nisa ketika belajar kelompok selesai. Julian dan Kiki berpisah karena rumah mereka berlawanan arah—jika dari arah rumah Nisa. Julian sendiri mengendarai sepedanya untuk pulang. Sampai di tengah jalan hujan tiba-tiba turun. Mumpung belum terlalu deras, Julian tak berpikir untuk meneduh, justru ia ngebut meskipun pandangannya minim karena rintik hujan mengenai matanya.
Ketika itu, dari arah berlawanan suara motor terdengar. Julian mendengar itu dengan jelas. Ia merapat ke trotoar kiri jalan mempersilakan motor tersebut menggunakan space yang luas di tengah dan ia tetap mengayuh sepedanya cepat di tepi. Namun, tidak sesuai dugaan, motor itu justru membelok dan menukik tajam ke arahnya. Kecelakaan tak bisa dihindari, baik Julian atau pengendara itu sama-sama ngebut dan tak menyadari apa pun sampai mereka terbangun di rumah sakit dengan ranjang yang bersebelahan. Ketika mereka sadar, dari situlah mereka tahu telah terjadi satu hal yang fatal.
"Terus, ruh kalian ketuker gitu? Kok sinetron banget, ya?! Itu putri yang tertukar," seru Kiki salah fokus, ketika ia dan 'Hazel' kini sudah berada di ruang tamu rumah Kiki untuk menceritakan detailnya. Rumah itu tak terlalu besar dan terlihat sederhana.
Oke, mulai sekarang Kiki akan menganggap kakak kelasnya itu Julian—bukan Hazel dan di tubuh Hazel sekarang ini memang Julian.
"Gue yakin banget kejadiannya pas kecelakaan malem itu, Ki. Gue udah coba ngomong ke Hazel yang sekarang di badan gue. Tapi dia nggak terlalu peduli," jelas Julian. Kini Kiki benar-benar akan menganggap Hazel ini Julian. Ya—Julian. Benar-benar Julian. "Lo masih nggak percaya?"
Kiki menggaruk pipinya. "Emang aneh sih, Julian seminggu ini," katanya.
Julian mendesah lega. Setidaknya Kiki mempercayainya, hanya itu yang ia butuhkan sekarang.
"Lo udah coba ngomong, 'kan?"
Julian mengangguk. "Udah, tapi gue dicuekin. Gue capek pura-pura kenal sama temen-temennya. Mereka ngajak gue ngerokok, nongkrong, ngajakin balapan, ngajakin goda-godain adek kelas."
Kiki tertawa prihatin. "Trus lo sekarang tinggal di mana?"
"Di rumahnya Hazel."
"Lo tau rumahnya?"
Julian mengangguk. "Waktu pulang dari rumah sakit, nyokapnya jemput, ngajak gue pulang ke sana. Tapi nyokapnya nggak pernah di rumah. Bokapnya juga nggak pernah kelihatan."
"Dia nggak punya kakak atau adek gitu?"
"Dia anak tunggal, kayaknya orangtuanya udah cerai."
"Hm. Bingung juga. Kenapa juga lo baru cerita?" ujar Kiki sebelum menyeruput air di gelasnya. "Main game aja, yuk. Gue ambil Nintendo gue dulu," ujarnya lagi sambil berlari ke arah kamar.
Julian menggaruk kepala. "Udah gue duga percuma ngomong sama itu bocah."
***
Pagi harinya, dengan berbekal saran dari Kiki untuk menemui Hazel, akhirnya Julian datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Ia menyandar di balkon kelas palsunya melihat ke arah lapangan upacara yang masih sepi. Beberapa murid baru berdatangan beberapa menit setelahnya. Matanya menyipit melihat siswa siswi yang baru datang, dari lantai tiga ke bawah bukan jarak yang dekat. Tapi matanya tak pernah salah untuk melihat bagaimana tubuhnya berjalan di lapangan itu. Setelah berdiskusi dengan Kiki sampai larut malam kemarin, Kiki menyarankan Julian untuk menemui Hazel lagi dan mencari jalan keluar untuk masalah mereka. Kiki bilang ia akan memberikan bantuan jika dibutuhkan.
Dari sekian banyak siswa yang datang, Julian akhirnya melihat tubuhnya yang dihuni Hazel itu masuk sambil bermain bola di kakinya. Ia berdecak melihat tas berwarna abu-abu yang baru ia beli beberapa minggu lalu dipakai oleh Hazel, pasalnya tas itu akan ia pakai saat ia kelas dua belas nanti. Baru delapan hari di dalam tubuhnya, Hazel sudah semena-mena terhadap barangnya.
Seolah saling bertelepati, saat itu juga Hazel melempar pandangan ke atas dan mereka saling tatap tanpa berkedip. Beberapa detik hiruk pikuk siswa seakan-akan melaju dengan cepat, akan tetapi tidak untuk keduanya. Baru saja Julian berniat turun untuk menemui Hazel, tapi cowok itu sudah menghilang di bawah tangga. Julian berdecih dan melesat ke lantai dua.
Belum sampai Julian menjejaki tangga, Hazel juga berlari dari bawah tangga. Mereka terdiam saling menatap.
"Gimana? Enak jadi gue?" tanya Hazel yang membuatnya menautkan alis. "Setidaknya biar kayak gini dulu sampe gue puas."
"Maksudnya?"
"Gue mau kita tetep kayak gini sampe gue puas. Abis itu kita cari cara untuk balik ke badan masing-masing." Hazel berjalan mendekati Julian dan merangkul bahunya. Julian mendadak asing mendengar suaranya sendiri dan bicaranya itu sama sekali bukan dirinya. "Lo setuju, 'kan?"
Julian berniat memukul Hazel tapi segera sadar bahwa itu hanya akan menyakiti tubuhnya sendiri. "Gue nggak suka ngulur-ngulur waktu."
"Lo belom ngerasain jadi populer, 'kan?"
Julian bergumam, "Populer apanya?!"
Belum sempat mulut Julian kering setelah mengatakan hal negatif tentang kepopuleran Hazel. Beberapa siswi menegurnya, "Kak Hazel, permisi ya."
Julian tersenyum kaku ke arah cewek-cewek genit itu. Beberapa orang dari mereka melewatinya dan menuju ke lantai teratas gedung ini, ia ingat kalau di sana adalah ruang lab komputer. Perhatiannya kembali mengarah pada Hazel.
"Nggak perlu shock gitu."
Mendengus, Julian kembali membuang muka. Ia melihat Aneshka naik ke tangga di bawahnya. Lalu melesat ke arah yang berlawanan dengan cewek itu.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Aneshka yang melihatnya bingung.
"Nggak. Nggak apa-apa."
Saat bel istirahat berbunyi, Julian keluar dari kelas dua belasnya dan tak membuang-buang waktu 'berbicaranya' dengan Hazel sia-sia seperti tadi. Bahkan ia mengabaikan Adam yang berteriak mengatakan Aneshka menunggunya di kantin. Julian berlari sambil melihat-lihat keadaan luar yang ramai. Beberapa anak menuju ke kantin. Siapa tahu saja ia menemukan Hazel. Benar saja, ia melihat cowok itu menuju lapangan futsal yang berada dekat tribun di sebelah gudang peralatan. Kali ini ia tak mau menyia-nyiakannya.
Tapi belum sempat ia sampai ke lantai satu, kakinya tersandung dan beruntung tak sempat jatuh karena berpegangan pada pegangan tangga. Terdapat tiga anak laki-laki menghadangnya dengan wajah yang tak bersahabat. Ia tidak mengenal mereka, tapi melihat badge di lengan seragamnya, Julian yakin anak itu berasal dari gedung SMK di sekolahnya. Yang gedungnya ada di seberang tribun.
"Ikut gue!" katanya, Julian mengikuti tanpa terlalu menaruh firasat buruk.
"Aduh!" Julian mengusap bokongnya yang mendarat di tanah. Ia diseret oleh ketiga cowok itu ke gudang peralatan sekolah. Awalnya ia tak mengerti, sampai akhirnya sadar ia sedang berada di tubuh Hazel. Pasti ketiga anak itu punya masalah dengan pemilik tubuh ini.
Salah satu dari mereka menarik kerah baju Julian dan menonjok pipinya. Julian tak sempat melawan. "Tunggu, salah gue apa?"
"Mau belaga tolol? Apa emang tolol? Abis macarin adek gue, lo ninggalin dia gitu aja sampe nangis-nangis. Sepet gue ngeliat kelakuan lo!" ujarnya pedas.
Julian berusaha melepas cengkeraman di kerah bajunya. Mulai dapat pencerahan tentang maksud dan tujuan ketiga cowok ini. Yang tengah berbicara kasar padanya pasti ketua mereka.
"Hajar, Fan. Hajar!" seru salah seorang di antara mereka yang bertubuh lebih tinggi dengan rambut spike-nya. Ia sama sekali tak melerai meski Julian jelas terpojok.
"Apa yang diliat Indri coba dari cowok nggak guna kayak lo gini?!"
Julian mulai tahu nama cowok itu adalah Irfan, dari badge namanya di seragam. Irfan menonjok pipinya hingga sudut bibirnya berdarah. Julian terjatuh ketika Irfan mendorongnya ke tanah. Tak sampai disitu, Irfan kemudian jongkok dan mencengkeram kerah baju Julian lagi, seolah itu adalah pertahanannya. Mukanya kesal luar biasa.
"Sekali lagi lo bikin adek gue nangis, abis idup lo!"
Irfan berniat melayangkan tinjunya lagi ke pipi Julian. Julian yang melihat itu segera menutup matanya. Alih-alih merasa sakit, ia justru mendengar bunyi pukulan yang keras dan tubuh Irfan yang jatuh bersamaan dengan lepasnya cengkeraman di kerahnya.
Julian segera membuka mata. Seseorang memunggunginya.
"Gue udah panggil guru BK ke sini, lo mau kabur atau berurusan sama pihak sekolah?" katanya. Irfan bangkit, ingin balas menonjok, tapi ditahan dua temannya yang lain.
"Udah, yuk. Pergi!" kata salah satu temannya sambil menarik tubuh Irfan yang tangannya mengepal meninju-ninju udara. Setelah itu Julian melihat tubuh yang memunggunginya itu berbalik.
"Lo nggak apa-apa?"
Julian mendengus setelah tahu siapa pahlawan kesiangan yang baru saja menolongnya. Orang itu membantunya berdiri kemudian memapahnya.
"Lepasin! Gue nggak apa-apa kok," katanya. Bibirnya terasa perih setelah mengatakan itu. Ia ingat tujuannya tadi ingin bicara pada Hazel, dan orang itu jelas ada di hadapannya sekarang—menjadi pahlawan kesiangan.
Alih-alih membahas diskusi tertunda mereka, Julian justru melesat ke gedung kelas. Mood-nya menjadi sangat buruk setelah kejadian barusan. Tanpa melihat ekspresi Hazel, Julian meniti tangga ke kelasnya, bel masuk sebentar lagi berbunyi. Begitu hampir sampai di kelasnya, ia menoleh dan sadar bahwa Hazel mengikutinya dari belakang.
"Kenapa lo ngikutin gue?!"
Hazel mengeluarkan plester luka dari kantungnya. "Buat nambal bibir lo."
"Ini bibir lo, sialan!"
Hazel membalasnya dengan senyum yang sangat manis. Julian tidak tahu sejak kapan senyum itu terlihat menjijikkan di matanya. Oke, Julian mengakui senyum sok polos yang ditunjukkan wajahnya itu memang memuakkan.
"Hazel," tiba-tiba Aneshka datang dengan wajah cemas. Ia berlari dari ujung tangga menuju ke arahnya, dan di situ Hazel merasa waktu bergerak melambat. Diam-diam ia menikmati wangi shampoo pacarnya yang dirindukannya. "Ya ampun, sayang, jadi bener kamu dipukulin anak SMK itu?"
Julian mengangguk. Kini ia harus bersandiwara lagi menjadi Hazel. Bahkan tak menolak ketika Hazel yang asli menarik tangannya dan menaruh plester itu di tangannya. Aneshka menatap Hazel bingung. Julian hanya bisa meremas plester itu.
"Hai, Kak Neshka, hari ini cantik banget, wangi lagi," kata Hazel, Julian mengedip-ngedipkan matanya tidak percaya. Sementara Aneshka menahan senyumnya agar tak terlihat geer.
"Thanks ... Err ..."
"Julian Marvel dari kelas XI IPS 1. Anak klub KIR," jawab Hazel lengkap, dengan senyum yang terlampau manis bagi Aneshka.
"Oh, iya, Julian."
Julian menggeram karena Hazel menjadikan tubuhnya sebagai ajang genit-genitan dengan kakak kelas. Cowok itu pasti sangat sengaja untuk membuatnya kesal setengah mati. Oke, Julian pusing. Julian benar-benar pusing sekarang.
Tbc ....