Wardana's House
Anika POV
Mobil Devan memasuki kawasan perumahan elite daerah Jakarta Selatan. Aku mengedarkan pandangan ke daerah tersebut sambil melirik ketiga pemuda yang menjemputku dengan aneh. Mereka benar-benar diam sejak aku meminta ketenangan.
Namun, aku tak begitu memusingkan lagi apa yang terjadi denganku tadi atau kemarin. Yang paling penting adalah bagaimana aku menjalani hidup selanjutnya. Melangkah dengan kedua kaki yang sempat "lumpuh".
Mobil itu berhenti di depan rumah yang tak begitu kukenal . Perasaan aneh menyelinap ke hati, aku yakin pernah ke sini, tetapi entah kapan. Mungkin sudah begitu lama. Entahlah. Aku masih belum mampu memanggil kembali memori itu.
***
Setelah mesin mobil mati, Anika segera turun dari mobil. Di depan pintu terlihat Sultan yang langsung tersenyum lebar sambil merentangkan lengannya lebar-lebar.
"Welcome home, Anika," ucap Sultan nyaring.
Anika berjalan perlahan, kemudian memeluk Sultan. "Thanks, Om." Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, ia melepas pelukan.
Sultan mengangguk. Senyumnya masih penuh. Ia melihat puas pada Devan, Lukas, dan Rangga yang mengangkat koper besar Anika. "Bagaimana? Kalian tidak macam-macam dengannya kan?" komentar Sultan ringan, yang justru membuat ketiga pemuda itu berhenti seketika. Napas mereka terasa tercekat mendengar komentar tersebut.
What?
Mereka membelalak. Bagaimana mungkin Sultan menganggap mereka akan menggoda anak sahabatnya yang menurut mereka sedikit aneh itu?! Sepertinya Sultan perlu memeriksakan keadaannya ke dokter jiwa.
Devan menatap Sultan dengan malas. Setelah memastikan Anika sudah berjalan ke dalam rumah, pemuda itu buru-buru menghampirinya dan berbisik, "Om…."
Sultan menoleh.
"…yakin dia tidak weird?!" ucap Devan lancang.
Sultan menatap Devan tidak percaya. "Jaga ucapanmu!"
Devan menghela napas, lalu menceritakan apa yang terjadi kepada mereka beberapa jam terakhir, termasuk tentang keanehan Anika yang terus-terusan menatap kosong ke arah jalanan.
Sultan hanya tersenyum tipis dan menepuk punggung Devan perlahan. Pria itu masuk ke rumah tanpa menjelaskan apa-apa, membuat Devan semakin yakin bahwa memang ada sesuatu yang terjadi pada gadis cantik itu.
Apa? Cantik? Sepertinya bukan Sultan saja yang harus memeriksakan kondisi kejiwaannya. Devan pun begitu.
***
Anika POV
Aku menatap foto keluarga ini lekat-lekat. Foto itu dipajang di ruang tamu dengan bingkai besar. Di samping foto keluarga tersebut ada beberapa foto Om Sultan dan Papa.
Aku menatap sendu ke arah kedua orangtua yang terlihat bahagia di salah satu kumpulan foto itu. Ia tahu, latar belakang foto itu adalah Nami Island. Kata Om Sultan, di sanalah kencan pertama orangtua Lukas dan Rangga dimulai. Mengingat semua itu, hatiku seperti dihantam keras. Sesak. Tak ada yang mampu menjelaskan perasaanku. Aku begitu merindukan keluargaku. Semuanya.
"Anika, you've to be strong." Suara Om Sultan terdengar.
Aku menghela napas berat. Ini memang saat untuk menunjukkan kekuatanku. Menjawab ucapan Om Sultan tersebut, aku hanya mengangguk kecil, lalu memutuskan menuju kamar, di lantai dua rumah berasitektur minimalis itu.
Namun, tiba-tiba aku menghentikan langkah, teringat sesuatu.
Matanya menangkap tiga pemuda yang menjemputnya tadi berjalan tergopoh-gopoh membawa dua koper besar. Aku berbalik, meraih kedua koper itu dengan sigap, membuat Rangga dan Lukas terkejut.
Om Sultan berjalan mendekati mereka. "Kalian sudah berkenalan? Mereka juga akan menjadi temanmu di kampus."
Aku menatap Om Sultan tak percaya. Aku mengangguk. Tak berapa lama kemudian aku membalikkan badan dan kerepotan membawa koper ke kamar.
"Om?" ucapku saat berada di loteng
Om Sultan menghentikan pembicaraannya dengan Devan, Lukas, dan Rangga, menengadah, dan memandangku. "Ada apa?"
Aku menggigit bibir. "Apa aku... di sini akan benar-benar tinggal bersama kalian semua?" ucapku ragu.
Om Sultan tersenyum, menggeleng. "Tidak juga, Devan tidak tinggal bersama kita, dia hanya sahabat kecil keponakan paman ini, sementara orangtua keponakan paman ini sedang melakukan perjalanan bisnis, mereka semua sibuk dan jarang pulang ke rumah. Jadi tidak akan terlalu ramai, seperti bayanganmu kan?"
Aku tersenyum lega, mengangguk tanda paham, kemudian hilang dari pandangan Om Sultan. Langsung ke kamar.
Aku mengamati aktivitas keempat pria itu dari balkon. Dari kamarku bisa terlihat jelas teras maupun halaman rumah. Aku menghela napas. Besok dia mulai belajar di kampus baru.
To Be Continued
Have some idea about my story? Comment it and let me know.