Download App
70.25% Rumah Tanpa Cinta / Chapter 137: Jangan Pamit (END)

Chapter 137: Jangan Pamit (END)

Bandung

Mika POV

Sepatah ini aku.

Kupikir, semua akan baik-baik saja. Kupikir, hati ini bisa menerima. Kupikir, semua tentang kehilangan akan pudar begitu saja bersama langkahmu yang sudah menjauh dari hati yang ditinggalkan.

Aku tak pernah siap, tak pernah benar-benar siap. Mencoba untuk tidak terluka tapi hatiku sudah hampa, kucoba untuk baik-baik saja tapi hariku sudah kosong di depan mata.

***

Anika POV

Aku memeluk bantal guling. Bunda tadi akhirnya pulang ke rumah bersama Nenek dan Mika, tapi aku belum berniat melihatnya. Aku masih emosi karena kejadian tadi.

Aku tahu tadi keterlaluan saat memaki Mika tadi. Namun mau apa lagi? Aku terlalu membenci gadis itu hingga mampu berbuat kasar.

Dan aku juga tak bisa menahan cemburu saat melihat Bunda lebih membela Mika daripada diriku. Aku cemburu, merasa dibuang. Bunda membagi cinta secara tak adil sejak dulu.

Aku berdiri, yakin Mika berada di rumah. Entah di mana. Aku belum keluar kamar sejak pulang dari rumah sakit.

Diam-diam aku menuruni tangga, sebisa mungkin tak menimbulkan suara. Saat membuka kamar Bunda, aku tak menemukan bunda.

Langkahku seakan ditarik menuju dapur. Lapar juga kalau terus-terusan marah seperti itu. Aku membuka kulkas dan mengambil camilan sehat. Saat mau memasukkan camilan itu ke mulut, sayup-sayup aku mendengar suara dari taman belakang.

Aku memasang telinga, tak bermaksud mencuri dengar, hanya penasaran.

"Seharusnya kamu lebih memperhatikan Anika." Itu suara Nenek. Aku bisa mendengar jelas.

Aku berjalan ke halaman belakang. Nenek dan Bunda duduk di gazebo kecil. Aku berada tak jauh di belakang mereka.

"Kamu lihat Nana sekarang? Apa dia benar-benar putrimu? Anika berubah menjadi gadis dingin yang tak berperasaan di depan orang. Tapi apa kamu tahu Anika sebenarnya rapuh?" Nenek menghentikan ucapannya. "Ibu melihat Anika menangis, bangkit, dan melakukan semua itu karena ingin membela keluarga. Ibu tak bilang kamu salah mendidik atau memanjakan Anika. Tapi apa kamu tahu, Hara, Anika benar-benar seperti mayat hidup saat tahu kamu koma dan Adena meninggal karena depresi disiksa 

keluarga Mika?"

"Kamu terlalu memperhatikan Mika dan segala kelemahannya, tanpa sadar ada satu anak lagi yang harus kamu perhatikan."

Aku tetap diam, kini mendengar isak tangis. Oh? Bunda menangis?

"Anika anakmu. Ibu menyadari saat kamu menikah dengan Arya, perhatianmu teralihkan kepada Mika dan Adena. Ibu sering melihat Anika memperhatikan mereka dengan cemburu. Anika juga butuh perhatianmu, sejak dulu.

"Sekarang kamu lihat, Anika benar-benar berubah. Kamu tak boleh lagi lebih memperhatikan anak orang lain saat tahu anakmu butuh perhatianmu. Kamu melewatkan proses transisi Anika menjadi remaja, Hara. Jangan lewatkan lagi proses transisi dia menjadi dewasa."

Bunda masih menangis.

"Dia tak merasakan kasih sayangmu lagi saat berada di Hamburg. Anika pernah cerita itu kepada Ibu, Hara. Jangan membuat Anika merasa seperti itu lagi. Sekarang tanggung jawabmu untuk membentuk Anika menjadi pribadi dewasa yang mantap."

Aku melangkah mundur. Sudah cukup aku mendengar semua itu. Nenek sudah mengatakan semuanya kepada Bunda, tak perlu lagi penjelasan dari mulutku.

Aku menatap nanar punggung bunda yang tengah menangis itu. Bunda menangis karena diriku? Sungguh jika boleh menghilang, aku ingin menghilang sekarang karena sudah membuat bunda menangis.

***

Sekarang Selasa, berarti besok hari terakhir ujian semester. Aku menggeliat pelan. Saat aku menoleh ke samping terlihat Bunda tersenyum kepadaku.

Aku berpikir semalaman, menjernihkan batin. Juga menganalisis tentang dendam dan pembalasan. Tentang kesalahan dan maaf. Aku sudah memikirkannya, sekaligus menemukan 

jawabannya.

Aku ingin menjalani hari seperti biasa, sebagai gadis biasa tanpa beban. Aku ingin menjadi orang luar biasa, yang bisa memaafkan musuh terbesarnya. Namun sayangnya, aku masih bingung bagaimana merealisasikannya.

Aku menatap Bunda datar. Namun begitu Bunda menangis dan mengucapkan maaf dengan terbata, aku langsung menghambur ke pelukannya.

"Aku juga kangen Bunda. Bahkan lebih kangen daripada siapa pun," ucapku lirih. Air mataku mengalir.

Bunda mengusap punggungku lembut. Air mata penyesalan kembali keluar, seperti tadi malam.

Aku melepas pelukan Bunda, tersenyum. "Bun, maafin aku udah bikin Bunda nangis. Kemarin aku emosi dan kehilangan akal sehat." 

Bunda mengangguk, kemudian mengusap jejak air mataku yang sekarang sudah berhenti mengalir.

***

Besoknya aku terus berpikir. Aku menangkap bayangan Mika dari balik kamar. Dengan cepat aku keluar, mengikuti gadis itu.

Mika terdiam saat aku berada di dekatnya.

"Kamu tidur di mana?" tanyaku.

"Di kamar tamu."

"Kamu tidur di kamarku aja," ucapku dingin. 

Aku mengembuskan napas, tahu itu akan berat, menerima Mika kembali sebagai saudaranya. Tapi aku akan berusaha. Tadi malam aku sudah berjanji pada Bunda. Aku akan berubah.

Hanya keluarga kecil itu yang aku punya. Keluarga kecil yang tak bisa tergantikan.

Mika memang keluarga Hilmar, tapi ia telah menjadi bagian keluargaku. Keluarga kecilku bersama Bunda.

THE END

SEASON 2? COMING SOON


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C137
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login