Wardana's House
Anika POV
Aku memainkan rambut pelan. Sudah tiga hari aku tidak kuliah. Pikiranku melayang pada hari itu. Sepertinya Satya merasa bersalah padaku hingga bisa-bisanya memutuskan tidak kuliah demi mengurusku.
Aku tersenyum simpul. Ada beberapa kejadian lucu yang tak bisa dilupakannya. Seperti saat Satya menyuapiku, padahal, ya… yang terluka kan tangan kiriku.
Aku tertegun. Seharusnya aku tak merusak karikaturnya dengan tisu basah. Aku juga merasa bersalah. Sungguh. Namun ia tak berniat membahasnya. Aku tak peduli karikatur itu untuk siapa dan kenapa Satya bisa sebegitu marah padaku.
Ponselku berbunyi. Aku menatap layar ponsel. Terlihat jelas nama Satya di sana. Aku tersenyum lagi. "Iya," jawabku dingin.
"Sudah makan?"
Aku mengangguk. "Mmm…"
"Besok kamu mau kuliah?"
"Mmm…"
"Aku sedang di jalan pulang, kamu mau nitip apa?"
"Mmm…"
"Kenapa dari tadi mmm terus?"
"Satya?"
"Ya?"
"Aku mau ke perusahaan Om Sultan. Kamu mau antar aku?"
"Oke."
Tuuuttt…
Sambungan telepon terputus.
Aku beranjak dari tempat tidur, memperhatikan penampilanku.
Setelah memastikan penampilanku tak terlalu buruk, aku mengambil tas tangan kecil, kemudian meninggalkan kamar.
Pergelangan tanganku masih sakit, sungguh. Dan entah kenapa, aku menyesali perbuatanku.
***
Satya datang tak lama kemudian.
Anika yang menunggunya di ruang tamu langsung berdiri, siap berjalan ke arahnya.
"Aku tidak diambilkan minum dulu?" sungut Satya, kesal karena Anika terlihat menjadikannya sopir pribadi saat mendapati gadis itu langsung berdiri dan bersiap meninggalkan rumah.
"Kamu bisa ambil sendiri, kan?" jawab Anika singkat, melewati lelaki itu, kemudian berdiri di depan mobil Satya.
Satya mendelik. Dia memang kehausan. Dengan langkah cepat ia pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Dia bertemu pelayan yang sedang menyetrika. Satya tersenyum kecil pada pelayan. Beres minum ia keluar, menghampiri Anika.
Anika diam saja sambil memandangi Satya. Saat pemuda itu mengangguk, dia bergegas membuka pintu dan duduk di bangku sebelah kemudi. Dia menikmati perjalanannya. Lagu Bloody Mary dari Lady Gaga mengalun indah di mobil
I won't cry for you
I won't crucify the things you do
I won't cry for you
See, when you're gone, I'll still be bloddy mary
Tak ada yang berniat membuka percakapan. Keduanya memilih larut dalam pikiran masing-masing.
Mobil Satya memasuki parkiran gedung pencakar langit di kawasan Sudirman. Anika turun dengan cepat saat mesin mobil dimatikan.
Satya hanya menggeleng pelan, gadis itu masih saja terburu-buru.
"Jangan buru-buru juga. Om Sultan juga sedang meeting sama klien," ucap Satya menerangkan, ingat pesan singkat yang dikirim Om Sultan untuknya semalam.
Anika menghentikan langkah lalu membalikkan badan. "Apa?"
"Om Sultan meeting sampai sore. Yah, paling kamu bisa ketemu dia saat istirahat atau dua jam lagi. Memangnya ada urusan penting?"
Anika memutar bola mata. Kekesalan terlihat jelas dari binar matanya. Kenapa Satya tidak memberitahunya sejak awal dan malah membuatnya menunggu?
"Ada urusan apa sampai kamu buru-buru begitu?"
Anika menaikkan alis. "Bukan urusanmu!" jawabnya lantang.
Satya terkekeh pelan, menghampiri Anika. Dia mengacak rambutnya, kemudian tersenyum manis. "Kamu itu, dikasih perhatian malah balasnya seperti ini."
Anika menepis kasar tangan Satya yang memainkan rambutnya.
"Kenapa dari kemarin kamu acak-acak rambutku terus?" Dia menatap Satya dengan tidak suka.
Satya tertawa. Baru kali itu dia merasa Anika begitu lucu. "Kamu juga kenapa sejak awal datang ke sini marah-marah terus?" balasnya.
Anika melipat tangan di depan dada. "Bukan urusanmu!"
Satya menyandar di badan mobil. "Memang bukan urusanku."
Anika melihat Satya dengan ekor mata. Sudahlah, dia tak ingin melanjutkan perdebatan itu. Ia memandang ke depan, melihat bangunan kokoh yang menjadi sandaran keluarganya sejak dulu.
Papa. Mina. Mama.
Anika merasakan rindu yang luar biasa pada keluarganya. Tertegun, benar-benar tertegun sampai akhirnya dia sadar akan satu hal.
Satya memperhatikan Anika yang menjauh darinya. Gadis itu tampak menghubungi seseorang lewat ponsel. Penasaran, Satya mendekati Anika, berdiri beberapa langkah di belakang.
"Ma, aku kangen."
Satya terdiam saat mendengar suara lirih Anika yang menyiratkan kerinduan tertahan. Ia urung menegur Anika, memilih kembali bersandar di badan mobil. Anika sedang menelepon ibunya kah?
Lalu, kenapa Anika menjadi begitu rapuh saat Satya menyebut orangtuanya?
Satya mengacak rambut, bingung. Dia memang tak tahu apa-apa tentang gadis ini. Namun, entah kenapa, timbul keinginan untuk menjaga Anika. Menjaga gadis yang begitu rapuh itu.
Anika menghampiri Satya dan seketika lamunan pemuda itu buyar. Ia hanya memandangi Anika yang matanya sedikit sayu dan merah.
Ah, dia menahan tangisan?
"Telepon siapa? ibumu?" tanya Satya penasaran.
Anika berdiri di samping Satya, mengangguk.
"Terus ibumu bilang apa? Dia tidak ke sini?"
Anika tersenyum sedih. "Ibuku.... koma."
Satya terdiam saat mendengar informasi itu. Ia menatap wajah Anika yang ekspresinya datar. Satu kenyataan terbuka. Ia menilik, memperhatikan wajahnya. Gadis itu....
"Anika! Satya!"
Anika melambai ke arah Sultan yang menghampiri mereka. Satya memilih menunggu Anika di mobil. Tak lama kemudian dia menerima pesan dari Anika
From : Anika
Bisa tunggu aku sebentar?
Satya mengangguk, tak membalas pesan singkat itu. Dia tertidur di mobil selagi gadis itu membicarakan urusannya dengan Sultan. Dia mulai menuruti permintaan Anika, tanpa dia sadari.
***
Anika POV
Aku terdiam saat membaca laporan perusahaan Wardana's Crop yang diberikan Om Sultan. Aku bisa membaca laporan semacam itu sejak dua tahun lalu. Tapi ini? Apa-apaan?
"Aku tidak menyangka, banyak orang seperti itu di dunia," ucap Om Sultan menggeleng-geleng.
Om Sultan beranjak dari sofa di hadapanku, menuju meja kerja. Setelah mengambil map ia kembali mendekatiku.
"Ini…?" Aku mencoba menebak-nebak saat menerima map tersebut.
"Yang diberikan rumah sakit mengenai visum Mina, serta foto memar biru di sekujur tubuhnya," Om Sultan menyodorkan laporan lain, "ini laporan yang harus kamu baca."
Aku mengambil laporan itu, kemudian membacanya dengan teliti. Ia terbelalak seketika. Laporan itu… tidak mungkin! Benarkah keluarganya seperti itu selama dia di Hamburg?
Aku tersenyum sinis. Terdiam cukup lama. "Sebenarnya aku sudah duga. Bahkan sebelum aku dipindahkan ke Hamburg."
Om Sultan mengernyitkan dahi. "Kita belum punya bukti, Anika. Dan soal ayahmu, aku belum bisa menemukan video itu. Tapi kemungkinan besar disimpan sekertarisnya."
Aku membisikkan sesuatu kepada Om Sultan. Mata besar lelaki itu langsung membulat, seolah menemukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya.
"Apa itu yang akan kamu lakukan, Anika?"
Aku menatap Om Sultan lamat-lamat. Meyakinkan diri bahwa itu keputusan terbaik. Aku menghela napas. Dia mendengarkan dengan saksama. Dia tak bisa membantah: Aku memang mewarisi seluruh sifat ayahku. Tentu saja aku bangga, karena gadis sepertiku bisa melakukan hal yang sangat bijak, sekalipun usiaku belum terlalu dewasa.
Anika masih menatap Om Sultan. "Mereka harus tahu… rasanya kehilangan." Ada kebencian mendalam di sorot mataku. Aku tampak seperti harimau kehausan yang akan melakukan apa saja demi memperoleh air.
Om Sultan terkesiap, sadar ada yang harus diketahui Anika. "Anika, ini tentang Elisa."
Mataku membulat seketika. Darahku mulai mendidih.
To Be Continued
Creation is hard, cheer me up!