sore ini kubuatkan semangkuk bubur untuk ibuku, seperti hari hari biasanya meskipun ku tau dia hanya akan memakan satu atau dua sendok bubur lalu memuntahkannya.
hari ini terhitung tepat setahun sudah ibu sakit, aku masih melihat orang yang ku sayangi itu terbaring lemah di tempat tidurnya dengan badan yang semakin kurus, sangat jarang sudah terdengar suara keluar dari mulutnya, tidak banyak yang bisa ku lakukan demi kesembuhannya selain dukungan secara emosional. bahkan merawat ibu setiap hari dalam masa kesakitannya ini pun tidak akan membalas jasa jasanya kepadaku selama ini, susah payahnya melahirkanku, mengajariku dan membesarkanku, itu takkan tergantikan. tinggallah doa yang bisa kupanjatkan kepada Sang Pencipta meminta kesembuhan kepadaNYA.
dari sudut kamar entah mengapa seketika mataku menuju ke satu lemari kaca milik ibu, disana terdapat banyak piala dan piagam penghargaan atas lukisan lukisannya, namun ada satu yang menarik perhatianku yaitu album foto berwarna merah tua, aku baru menyadari keberadaan album usang itu, membuatku sedikit penasaran akan isi buku album itu, coba kubuka album yang berisi foto foto lama itu, membuka sampul dari album itu seakan membawaku masuk ke dalam sebuah mesin waktu.
aku masuk dan terhanyut disana, aku terdiam melihat pemandangan di sekelilingku, aku berada di sebuah kota tua, aku tak melihat warna lain selain warna hitam dan putih, berjalan melintasi taman taman diselingi suara kicau burung, menuju satu rumah yang disinari cahaya dari atas, halamannya terdapat berbagai macam bunga yang indah, membawaku ingin masuk kesana.
kulihat seorang wanita muda disana dengan paras yang sangat cantik yang duduk disebelah seorang anak laki laki, mereka tertawa lebar sambil sesekali merangkul, betapa bahagia anak itu, tak ada sedikitpun gunda atau gelisah terlihat dari raut wajahnya dengan senyuman begitu lepas. namun tidak dengan wanita itu, terlihat seperti menyembunyikan sesuatu di balik senyumannya ke anak kecil itu, ada kepiluan yang tersirat dari senyum itu seolah kepiluan itu melekat selamanya.
dari rumah itu aku seperti dibawa ke tempat lain, aku masuk kedalam masa demi masa dan cerita demi cerita, menyelami kisah dan peristiwa disana, hingga aku tiba di satu rumah yang besar yang di atasnya dikelilingi oleh awan hitam mirip seperti mendung, kulihat juga seorang lelaki tua yang membelakangi wanita itu, wanita dengan wajah merah dan mata lembab yang membawa tas besar terlihat meniggalkan lelaki tua itu dengan berlari tak tau kemana tujuannya, tak terlihat ekspresi lelaki tua itu namun tampak dari belakang ia mengepalkan tangannya begitu kuat seperti menahan satu perasaan yang tak bisa dia keluarkan.
dari tempat itu lagi - lagi aku seakan dibawa pindah ke tempat lain, kali ini pemandangan reruntuhan ratusan rumah seperti baru saja terjadi peperangan, atau bencana yang menimpa tempat ini, dari ujung sana terlihat wanita tadi membawa kantong besar dan menggandeng anak kecil di sebelah kanannya, wanita itu berjalan dengan lambat dan tampak dahinya mengkerut dan sedikit menggigit rahangnya, terlihat seperti sebuah ekspresi kekesalan atau kekecewaan. disisi lain tatapan kosong dari anak kecil itu tampak tidak mengerti tentang apa yang sedang terjadi, dan apa yang sedang dirasakan oleh wanita muda yang sedang menggandengnya itu.
belum sempat aku bertanya pada wanita itu tentang apa yang sudah terjadi disini, tiba tiba aku seperti terjatuh lagi terhanyut semakin jauh, sampai pada satu ruangan putih dan aku melihat pemandangan yang sama dengan lukisan ibu, namun kali ini bukan di atas kanfas melainkan kulihat secara langsung, yaitu seorang anak kecil yang memegang ukulele dan baru bisa berjalan, di belakangya tampak wanita muda yang tersenyum dan bahagia karena melihat anak kecil itu telah pandai berjalan, namun dari gerak tubuh wanita itu terlihat sikap siaga seperti ingin segera menangkap anak itu jika anak itu sewaktu waktu terjatuh.
"Afdhan" suara ibu yang lemah seketika menyadarkanku dan membawaku keluar dari mesin waktu itu.
aku segera menghampiri ibu dan memeluknya yang sedang berbaring. di umur yang baru menginjak 42 tahun ini Ibu adalah sosok yang sangat tangguh yang masih bisa bertahan sejauh ini dengan segala penderitaan dan kesakitan yang di alaminya, padahal ku tahu begitu sakit menahan penyakitnya, namun masih saja dia ingin terlihat kuat didepanku.
"ibu tidak apa apa" ucapnya lemah ke telingaku sambil mengusap - usap kepalaku.
"ibu mau lihat kau wisuda Afdhan" lanjutnya.
seketika aku terdiam, membatin karena mengingat kuliahku tak akan mungkin selesai dalam waktu yang dekat.
"iya bu, secepatnya" ucapku menenangkannya.
~~~~~
keesokan harinya penyakit ibu yang kian parah ditandai dengan batuk yang semakin sering, ditambah kini dengan sesak nafas yang terlihat sangat menyiksanya, aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit karena melihat kondisinya seperti itu, meskipun keuanganku tidak mencukupi, satu satunya yang ku punya sekarang tinggal gitar, mungkin dengan menjual ketiga gitarku bisa menutupi biaya rumah sakit ibu.
setelah membawa ibu ke rumah sakit, tak berpikir lama aku langsung membawa semua gitarku itu ke toko musik milik temanku, hendak menjualnya. aku punya tiga gitar, dua gitar elektrik yang ku beli dari hasilku bermain musik, dan satu gitar akustik kesayanganku, yang dulu dibelikan oleh ibu saat hari ulang tahunku, meski kini aku sudah berhenti bermain musik namun gitar gitar itu sangatlah berarti, apalagi gitar pemberian ibu kala itu, banyak kenangan indah yang kulewati bersama barang berhargaku itu, namun disisi lain ada yang lebih berharga dari itu semua, ya kesehatan Ibu.
tak pernah terbayangkan jika ia meninggalkan aku saat ini, banyak hal yang belum sempat ku lakukan untuknya, selama ini aku hanya menyusahkannya, berbuat dosa padanya dengan tidak mendengarkan perkataannya, bahkan membuatnya sedikit bahagia pun rasanya jarang sekali atau bahkan tidak pernah.
selama ini aku hanya sibuk dengan urusan duniaku sendiri, asik bermain dengan teman teman,
sehingga aku lupa ada seorang Ibu yang rela tidak tidur demi menungguku pulang ke rumah walau waktu sudah hampir pagi, namun dia tak pernah menyerah padaku. aku hanya bisa berdoa kepada Sang Pencipta agar diberi kesempatan untuk membahagiakannya, membalas semua budi baiknya, menuruti semua permintaannya, dan diberi kesempatan merawat dia di masa tuanya yang akan menjadi ladang pahala untukku, sebelum semuanya terlambat. setelah Ikhtiar sekarang aku hanya bisa berdoa dan menyerahkan semua kepada yang Maha kuasa, pemilik segala penyakit dan kesembuhannya, maha pengasih lagi maha penyayang.
~~~~~~
Ya Allah, Rabb manusia,
hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan
Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan
Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu
kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain
Ya Allah jika penyakit dapat menggugurkan dosa
gugurkanlah segala dosa dosanya
angkatlah penyakitnya apabila itu baik baginya
dan Matikanlah dia apabila kematian itu lebih baik baginya"
Afdhan Danadyaksa
ku yang sedang memegang tangan ibuku yang sudah hampir sehari tidak sadarkan diri, hanya di temani suara alat pendeteksi detak jantung di samping ranjang ibu, suara alat itu yang stabil seolah menjadi pengantarku untuk tertidur, aku memandangi wajahnya seperti tak lagi kuat menahan penderitaannya lebih dari 14 bulan ini, seketika suara alat pendeteksi detak jantung itu melambat tak seperti biasanya, membuatku kaget dan segera berlari keluar kamar untuk meminta pertolongan petugas rumah sakit,
"dokterrrrr.... susterrr, tolong" teriakku dari depan pintu begitu panik
"iya iya ada apa?" seorang perawat datang dengan setengah berlari
"tolong periksa ibu sy"
"iya anda tunggu diluar dulu ya"
aku menunggu diluar dengan penuh perasaan cemas serta khawatir menunggu kabar dari ibu sambil memegang kalung emas berbentuk hati yang ia berikan kepadaku kemarin dan berkata bahwa ia menyayangiku, di dalam mata kalung bebentuk hati itu tertulis "Tenri Viany" namanya beserta tanda tangannya. ibu juga mengatakan suatu pesan tentang Ayahku, orang yang paling ku tuntut atas semua kejadian pilu hidup kita, orang yak tak bertanggung jawab.
"Afdhan, jangan membenci ayahmu, aku tau ia tidak bersalah, hanya aku yang kecewa terhadap keadaan dan keputusan orang tuanya yang tak menganggap aku ada" kata ibuku sambil memegang tanganku.
meskipun begitu dia harus tetap mempertanggung jawabkan apa yang sudah ia lakukan kepada ibu dan juga kepadaku, bahkan berusaha untuk mencari atau menghubungi kami pun tidak, membiarkan ibu menanggung penderitaannya seorang diri, aku bahkan tak mengingat wajahnya, orang yang paling berpengaruh atas kepedihan yang ibu rasakan sekarang.
tak lama kemudian datang seorang dokter paruh baya beserta dua asistennya yang lalu masuk ke kamar ibuku dan wajahnya yang terlihat panik,melihat hal itu semakin membuatku takut akan sesuatu terjadi pada orang yang paling ku sayangi itu, di samping itu aku yang sudah tidak tega lagi melihat penderitaan yang di rasakan oleh ibu, berdoa kepada sang Pencipta agar mengakhiri penderitaan ibu, jika tidak dengan kesembuhan yang diberikan, biarlah ia pergi ke hadapan Tuhan daripada terus menahan rasa sakit yang begitu menyiksanya.
sampai akhirnya ia tak lagi kuat menahan rasa sakit itu dan harus menyerah terhadap penyakitnya, saat mendengar kabar dari luar kamar bahwa ia telah tiada, seolah berguncang dunia, sesak nafasku, hilang semua pikiran di kepala, hanya terbayang sosok orang yang sembilan bulan mengandungku, rintihan tangisnya saat melahirkanku, bertahun-tahun membesarkanku dengan kasih sayang mendidik dan mengajariku, saya bayangkan jerih payahnya darah tangisannya menghadapiku, membimbingku orang yang keras kepala, nakal, tak suka di atur nan egois. hilanglah ladang pahala buatku untuk membahagiakannya di dunia.
bercucur air mata ini, belum siap menerima bahwa akan ku lewati hari hari tanpa seorang yang tidak pernah menyerah menghadapiku, tempatku mengadu mengutarakan resah dan ragu, tiada lagi yang mengusap kepalaku dikala aku hampir tertidur, tiada lagi yang memakaikanku selimut di kala aku tertidur di depan televisi karena capek bermain, tiada lagi kasih sayang terbesar yang dianugerahkan tuhan untukku.
aku terlahir bukan dari orang yang berada namun dia selalu berusaha agar aku mendapatkan apa yang aku inginkan. pundaknya dia berikan untuk menjadi tempatku berpijak perlahan menggapai mimpi. tangannya terbuka memohon doa pada yang kuasa agar aku dapat menggapai apa yang selalu ku impikan. hingga dia pasti lupa dengan kesehatannya karena memikirkan kesehatanku, dia pasti lupa mendoakan dirinya karena sibuk mendoakanku, dia pasti lupa dengan kebahagiaannya karena sibuk membahagiakanku.
"maafkan aku Ibu kadang tak sengaja melukai hatimu.
kebaikan dan pengorbananmu takkan bisa tergantikan dengan apapun yang ku lakukan didunia,
engkaulah satu satunya manusia yang menyayangi tanpa ada batasnya.
ya Tuhan terima kasih engkau Telah mengakhiri penderitaan ibu
dan tempatkanlah ia sebaik baiknya tempat di sisimu.
~~~~~~
seminggu setelah Ibu berpulang ke hadapan tuhan, aku yang kini menghabiskan hari - hariku di kota ini sendirian akhirnya merasakan juga ternyata inilah kesendirian yang ibu rasakan selama ini. aku tau ia pasti sudah bahagia disana, karena Tuhan telah menyudahi penderitaannya di dunia, aku tau semua yang hidup di dunia adalah kepunyaan Tuhan, Dia berhak mengambil apa yang menjadi kepunyaanNYA kapanpun Dia mau, dan sesungguhnya kita hanyalah pemegang amanah.
meskipun begitu tak bisa ku tutupi di hati ini masih tersisa penyesalan terhadap diriku sendiri bahwa aku belum sempat membahagiakannya selama ia masih hidup, atau sekedar tertunduk mendengarkan nasihat - nasihatnya, belum sempat melihatku wisuda, yang menjadi impiannya, belum sempat memperkenalkan wanita yang nantinya menjadi pengganti sosoknya di hidupku.
ku duduk di kursi di ruang tengah tempat ibu biasa bersantai, tempat biasa ia menasehati aku, jangan lakukan ini, jangan lakukan itu, sambil mengingat ingat semua tuturnya, mengingat semua perkataan dan perintahnya padaku yang sempat aku abaikan. hingga kini ia telah tiada barulah aku sadar betapa berharganya nasihat - nasihat ibu, begitu berharga kehadirannya dalam hidupku.
menyadari bahwa setiap manusia akan berpulang dan menghadap Ilahi, dan kematian akan datang kapan saja tanpa menunggu kau sakit atau menunggu kau siap terlebih dahulu. kita semua akan mengalami ini, karena ini adalah takdir yang sudah ditentukan, seperti semua hal yang diciptakan berpasang - pasangan kehidupan juga berpasangan dengan kematian, kehilangan orang yang kita cintai, satu persatu orang terdekat dan terkasih akan meninggalkan kita, tidak menutup kemungkinan besok adalah giliran kita untuk menghadap sang Pencipta.
yang tersisa kini hanyalah keikhlasan menyadari tentang kepergian, bahwa ia bukan semata mata menghilang dan meninggalkanmu namun telah mendahului kita ke negeri yang abadi, dan beristirahat disana dari segala kelelahan di dunia, tempat tujuan semua mahluk bernyawa. cara membalasnya sekarang ialah terus mendoakannya, meneruskan harapan harapannya padaku meskipun ku tau semua itu takkan membayar atas semua yang pernah ia lakukan.
Negeri abadi
senyum menawan menghampiri pelupuk mata
suara indahnya menghampiri telinga
dekapan hangat tak lagi kurasa kini
di ruangan ini rinduku pecah membasahi pipi
membuat debaran di dalam dada yang menyesakkanku
membuat getaran di kaki yang melemahkan langkahku
beristirhat tentramlah di negeri abadi
tempatmu yang layak adalah doaku
impianmu adalah jalan yang ku tuju
Afdhan Danadyaksa
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT