Pluk!
Zesa menjatuhkan buku di tangannya. Sepuluh menit saja sudah cukup membuat rasa kantuknya hilang. Ia pergi membasuh wajahnya di kamar mandi, lalu melanjutkan bacaannya.
Zesa duduk di balkon tanpa alas. Kedua kakinya bersila dan punggungnya bersandar ke tiang pintu balkon yang terbuat dari bahan aluminium. Secangkir air putih tergeletak di sampingnya.
"Oke, kita lanjut baca," gumam Zesa sambil mengikat rambut panjangnya.
"Aron Dwiyan Wicaksana, putra kedua. Usia 27 tahun. Makanan favorit, omelet telur yang dicampur sosis dan sayuran. Hm, lebih simpel dari kakaknya. Untungnya, aku sudah terbiasa memasak sejak masih sekolah SMP. Memasak mah urusan kecil," kata Zesa dengan percaya diri.
"Minuman favorit, teh manis, soda, jus lemon dan madu. Pecinta manis. Next … hobinya nge-gym, main gitar dan bernyanyi. Jadi penasaran, seperti apa suaranya ya?" Zesa membayangkan wajah Aron, tapi ia gagal. Percuma ia mencoba membayangkan suaranya, bahkan wajahnya saja belum pernah melihat.
"Ah, itu tidak akan berhasil. Warna favoritnya abu-abu dan putih. Pekerjaan wakil CEO. Perayu dan suka bermain wanita. Iyuh … mengerikan sekali." Zesa membalik lembaran buku setelah selesai membaca bagian tentang anak kedua.
"Anak ketiga, Kay Hansen Wicaksana. Usia 26 tahun. Makanan favorit, salad buah dan sayuran, makanan khusus untuk diet." Zesa sedikit mengernyit. Kenapa seorang pria harus memakan makanan yang rendah kalori? Biasanya laki-laki membutuhkan lebih banyak kalori untuk kegiatan mereka yang berat. Namun, Kay justru memakan sayuran dan buah seperti wanita yang takut berat badannya naik.
"Aneh, sih, tapi bukan urusanku juga. Minuman favorit, air putih, air jeruk lemon. Pekerjaan aktor. Warna favorit, putih. Hobi travelling dan hiking. Sifatnya tidak menentu. Terkadang marah tanpa sebab, tapi kembali baik dalam waktu cepat."
'Kenapa aku merasa para tuan muda ini akan sedikit sulit ditangani?' Zesa menggumam dalam hati. Ia menyesap air di gelasnya sampai habis sebelum melanjutkan membaca. Wajahnya tersapu angin yang berembus pelan, tapi sangat sejuk. Masih ada dua anak angkat yang belum diketahui nama dan karakternya. Zesa menarik napas, lalu membuka lembaran berikutnya.
"Ian Arya Wicaksana, 25 tahun. Makanan favorit, bakso. Wah! Akhirnya ada yang makanan favoritnya sama denganku. Minuman favorit, es buah. Pekerjaan, fotografer. Warna favorit, hitam. Tidak punya hobi. Mana ada, orang yang tidak memiliki hobi? Suka memotret sunset di gunung, pantai, dan gedung-gedung tinggi. Ini apa namanya? Memangnya itu bukan hobi ya? Bu Sumirah pasti sengaja mencatat seperti ini," gerutu Zesa sambil membalik lembaran terakhir.
"Zoe Navis Wicaksana. Bungsu berusia 24 tahun yang suka makan mie ayam dan mie instan. Minuman favoritnya, es jeruk. Hobi menonton film romantis. Suka semua warna. Pekerjaan chef. Usia 24 tahun."
Pluk!
Zesa menutup buku yang baru selesai dibaca. Akhirnya ia selesai membaca buku itu. Namun, ia hanya mengerti hal-hal mendasar saja.
Bagaimana mereka? Seperti apa wajahnya? Watak yang sebenarnya? Semua hal itu tidak bisa dipastikan hanya dari catatan di buku itu.
"Sudah selesai dibaca?"
"Akh!" teriak Zesa yang seketika bangkit dari duduknya.
Buku di tangannya terlempar dan mengenai wajah laki-laki yang sejak tadi memperhatikannya dari pintu kamar. Laki-laki itu memegangi hidungnya yang berdarah karena tertimpa buku. Ia lalu menengadah supaya darahnya tidak lagi mengalir.
"Apa yang kau lakukan, hah?!"
Zesa berjingkat kaget mendengar teriakan Zayden. Mata elang itu memelototinya, membuat gadis itu gemetar ketakutan. Hingga laki-laki itu kembali berbicara padanya.
"Kau mau membiarkan aku seperti ini sampai kapan?" tanya Zayden dengan gigi mengerat.
"Hah? A-apa maksudnya, Tuan?"
"Setidaknya kamu mengambilkan tisu atau apa pun itu, untuk menyeka darahku," jawabnya sambil menahan amarah yang semakin naik hingga ke kepala.
"Iya, Tuan!" Zesa segera berlari ke tempat tidur, mengambil tisu yang tergeletak di atas nakas. "Ini, Tuan. Maafkan saya. Saya tidak sengaja melakukannya," ucap Zesa dengan takut-takut.
"Ch! Baru hari pertama sudah membuatku berdarah. Jika lebih dari setahun, mungkin aku bisa mati di tanganmu," cibir Zayden sambil membersihkan darah di tangan dan hidungnya.
"Saya sudah meminta maaf. Lagi pula, itu salah Anda sendiri. Kenapa Anda masuk ke kamarku tanpa izin dan mengagetkanku?" tanya Zesa yang tak terima dengan kata-kata menusuk dari laki-laki itu.
"Jadi … kau sedang mengajariku di rumahku sendiri? Ini rumahku dan aku bebas pergi ke mana pun, termasuk ke kamarmu," jawab Zayden dengan senyum sinis.
Zesa menganga tak percaya. Yang benar saja? Kalau aturannya seperti itu, artinya Zesa tidak aman tinggal di sana. Bagaimana jika laki-laki di hadapannya ini tiba-tiba masuk ke kamarnya di tengah malam?
"Enggak!" Zesa tiba-tiba berteriak membayangkan hal yang mengerikan itu.
"Ssst! Berisik! Buatkan kopi untukku dan bawa ke kamar!"
Zayden meninggalkan kamar Zesa, meninggalkan gadis yang masih terkejut dengan aturan laki-laki itu. 'Tidak bisa! Aku harus selalu mengunci kamar jika aku ingin aman. Sekarang, lebih baik membuat secangkir kopi.' Zesa pergi ke dapur dan membuat kopi pahit sesuai apa yang tertulis di buku.
Namun, sampai dua kali ia mengantarkan kopi ke kamar Zayden, laki-laki itu tidak menyukai rasa kopinya. Zesa hendak mengantar gelas kopi yang ketiga. "Kalau sampai masih tidak sesuai dengan seleranya, aku akan menambahkan cuka saja sekalian," gerutu Zesa yang sudah berdiri di depan kamar Zayden.
"Kopi Anda, Tuan," ucap Zesa sebelum membuka pintu.
"Bawa masuk!"
Ceklek!
Zesa membuka pintu. Sudah tiga kali ia masuk ke kamar Zayden, tapi ia masih merasa malu untuk bertatap muka dengan laki-laki itu. Pose duduk santai dengan tubuh hanya dibalut jubah mandi, membuat wajah gadis itu bersemu merah. Zesa dapat melihat dada laki-laki itu dengan leluasa, hingga sekujur tubuhnya terasa panas.
"Ini masih kurang pas. Buatkan lagi!"
"Hei! Aku sudah tiga kali bolak-balik naik turun tangga, cuma buat bikin kopi. Kenapa tidak membuatnya sendiri saja?" tanya Zesa yang terlanjur kesal.
"Pembantu memerintah majikan. Hebat sekali," ejek Zayden sambil menaruh cangkir ke meja.
"Maaf, bukan maksud saya seperti itu, Tuan. Saya tidak tahu seperti apa selera Anda, jadi~"
"Dua sendok kopi, tidak kurang tidak lebih," potong Zayden memberitahu selera kopi yang biasa diminumnya.
"Hah! Oh, oke. Kenapa Anda tidak mengatakannya sejak awal?" tanya Zesa dengan bibir mengerucut.
"Kamu pikir mudah mendapat gaji besar," seloroh Zayden sambil tersenyum tipis.
'Eh! Ternyata dia cukup manis saat tersenyum. Saat berusaha membayangkan laki-laki ini tersenyum, rasanya sangat aneh. Tapi, ternyata dia memiliki senyum yang cukup manis.'
"Melamun? Tergoda dengan ketampananku?" tanya Zayden dengan tatapan dingin.
"Tidak, Tuan. Saya sudah memiliki calon suami," jawab Zesa sambil menunjukkan cincin pernikahan milik ibunya. Sang ibu menitipkan cincin itu di jari manis Zesa karena ukurannya pas di jari gadis itu. Namun, ternyata cincin itu bisa menjadi pengalamannya sekarang.
"Ch! Cincin jelek saja bangga," cibir Zayden sambil mendecih kesal. "Sudah sana! Buatkan kopi yang pas. Jika salah lagi, aku akan memberimu hukuman!"
Zesa berlari cepat. Zayden bahkan belum menyelesaikan ucapannya ketika gadis itu berlari dan menutup pintu kamar dengan terburu-buru. Zayden tertawa terpingkal-pingkal. Ia seolah mendapatkan mainan baru yang sangat menarik.
*BERSAMBUNG*