Seseorang datang ke Gunung Peteng. Dan hingga kini tak kunjung kembali. Dia bernama Sanem. Sanem lah yang hingga kini di katakan menjadi penunggu Gunung Peteng.
Banyak orang percaya bahwa Sanem kemungkinan masih hidup. Namun berada di dunia lain. Sehingga Sanem bisa melihat kita namun kita tak bisa melihatnya. Raganya lenyap namun jiwanya kembalu. Sehingga tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya.
Yang paling lucu adalah. Kebiasaan masyarakat kampung yang mengatakan jika terdapat barang-barang yang hilang maka hal itu di lakukan oleh Sanem. Padahal tidak ada yang tahu kebenarannya.
Meski mengetahui cerita orang-orang kampung itu. Ayah tak merasa gentar. Ia mendatangi gunung dengan niat yang baik. Tidak ada secuil pun niat jahat untuk mencuri atau merusak. Sehingga dalam gelapnya pagi buta Ia menelusuri setapak demi setapak jalan yang di penuhi oleh ilalang dan berusaha mencari gubug milik kakek pemburu binatang buas itu.
Ayah tak sempat menanyakan siapa nama kakek itu. Karena kemarin perasaannya sedang kesal. Dan sekarang Ia menyesal.
Langkah demi langkah Ia susuri. Hari pun ternyata cepat sekali berjalan. Seperti tiba-tiba saja matahari seolah mengejar untuk berada di atasnya.
Namun perjalanan hingga hampir setengah hari itu tak juga mempertemukan ayah dengan gubuk kevil yang di maksud Simbah.
Ayah melemparkan tubuhnya di sebuah rerumputan. Rasanya lelah sekali. Menapaki jalanan menanjak terjal dan juga licin. Untung sejak tadi Ia tak sekali pun bertemu dengan yang namanya binatang buas.
Ia mendengus kesal. Angin berhembus kencang dari atas membawa sedikit kesejukan di hari yang begitu panas ini.
Meski berada di gunung. Cuaca hari ini memang begitu panas.
Tiba-tiba Ia mendengar suara anak-anak kecil tertawa riang. Ia terkejut. Di gunung seperti ini tidak mungkin Ia ada anak kecil.
Ia lalu meletakkan kembali Ubi yang hendak ia makan ke dalam tas nya. Ia lalu bergegas ke sumber suara.
Ah ternyata memang benar anak-anak kecil yang sedang bermain air. Ia tidak mengetahui kalau sedikit lebih jauh melangkah lagi Ia akan menemukan sungai.
Sungai yang begitu bening dan lebar namun tidak terlalu dalam membuat bocah-bocah kecil itu bebas bermain di dalamnya.
Ayah yang merasa menemukan surga pun lalu bergegas menyeburkan diri kedalamnya. Hingga terasa sekujur tubuhnya segar kembali.
Bocah-bocah itu lalu menghentikan kegiatannya. Dan menoleh ke arah ayah. Ayah yang sudah menjeburkan kedua kakinya lalu menyingkap tasnya. Dan segera membasuh wajahnya.
Ia tidak peduli. Tiba-tiba salah satu dari mereka menghampiri ayah. Ia memberikan sebuah buah mengkudu. Ayah yang masih membungkukan badannya segera tegap berdiri dan menerima buah itu.
Tiba-tiba anak-anak itu tertawa melengking dan berlari. Diikuti semua teman-temannya. Lalu menghilang tertutup oleh daun-daun semak belukar.
Ayah yang merasa aneh lalu melihat dalam genggamannya. Buah berwarna hijau dan bertotol-totol itu kini berada pada genggamannya. Ia bingung harus diapakan buah ini. Mau dimakan rasanya pahit. Mau di buang sudah di kasih sama bocah tadi.
Lalu ayah pun memutuskan untuk membawanya dan memasukkan ke dalam tasnya.
Ia pun lalu melanjutkan perjalanan.
Perjalanan tanpa peta yang ayah mulai tadi pagi dan kini pun hari sudah siang. Belum menghasilkan apa pun. Bahkan satu tanda pun tak Ia temukan di selama perjalanan tadi.
Satu-satunya penunjuk jalan yang ayah tahu adalah gubuk yang berada di pinggir jalan setapak.
Tanpa basa basi ayah menuju jalan setapak yang tadi Ia lewati. Meski jalan itu sudah tidak begitu nampak namun cukup dipastikan jalan ini adalah satu-satunya akses ke dalam hutan. Tak ada cabang atau pun jalan lain lagi.
Puncak yang semakin tinggi, udara yang semakin dingin dan angin yang semakin kencang. Membuat perjalanan semakin berat.
Tiba-tiba angin kencang berhembus. Di sertai suara deru yang begitu kencang. Baju ayah yang tidak terlalu tebal tak cukup mampu melindunginya dari terpaan badai yang tiba-tiba muncul itu.
Ayah dengan sekuat tenaga melawan arus angin tersebut. Meski akhirnya kekuatannya kalah juga. Akhirnya Ia pun duduk dan berbaring. Supaya tak terombang ambing oleh angin tadi. Sambil menahan dingin yang luar biasa. Ia menunggu badai agar seggera reda.
Ia menggigil, sepertinya tubuhnya juga sudah mencapai batasnya dalam menahan dingin. Jemarinya telah menjadi keriput dan bibirnya kini mulai membiru.
Dalam tubuhnya yang mulai kaku. Ia mulai terlelap, lalu matanya terpejam seluruhnya. Dan dunia pun menggelap.
"Hai nak. Hai nak. Apa kau sudah sadar?" Seseorang dengan suara yang sudah parau karena usia itu terlihat menggoyang-goyang kan pundaknya.
Ia belum sadar sepenuhnya. Sampai matanya terbuka sempurna Ia pun baru menyadari. Kini Ia berada pada sebuah gubug.
Yang ayah lihat hanya punggungnya saja. dengan tubuh yang hampir mungil dan berjalan bungkuk. suaranya khas suara orang yang telah lanjut usia. Ah iya, rambutnya tetcetak jelas berwarna putih.
Ayah terbaring di sebuah ranjang kecil terbuat dari bambu. tubuhnya terlentang dengan selembar kain menutupi hampir seluruh badannya.
Sinar lampu minyak yang temaram membuatnya sulit mendeskripsikan keadaan di sekitar. yang Ia tahu Ia sekarang berada di sebuah gubuk kecil bersama seorang kakek.
Tenggorokkan Ayah terasa kering. Rupanya kulit bibirnya hampir mengelupas. Ia mencoba untuk menelan ludahnya sendiri namun berakhir malah kesakitan.
"Kamu mengalami hipotermia tadi Le..." Ucap kakek itu. Lalu membantu ayah duduk dan memberinya sebuah minuman.
Ayah berusaha menggeser tubuhnya. bermaksud untuk waspada.
"Tidak usah takut Le, ini bukan racun. Ini hanya wedang uwuh." Ucap kakek itu.
Lalu dengan wajah penuh waspada ayahpun mendekatkan hidungnya pada cangkir di tangan kakek itu.
ternyata memang hanya sebuah wedang. Ia pun segera meminumnya agar rasa hausnya segera reda.
Kakek itu pun tersenyum.
"Ngomong-ngomong saya di mana sekarang kek?" Tanya ayah.
"Kok malah bertanya to Le... kan kamu yang datang ke sini." Ucap kakek itu malah membuat bingung.
"Ya tadi kan saya pingsan." Ucap ayah mengingat kejadian saat badai menerpa seluruh tubuhnya dan berhasil menumbangkannya.
"Kamu ada di gubug saya. Saya Karsin pemilik hutan ini. Kamu bertemu dengan orang yang tepat." Dengan percaya diri kakek itu lalh tertawa setelah mengatakan hal konyol. Bagaimana mungkin sebuah hutan bisa di miliki oleh seseorang. sementara hutan adalah milik seluruh kehidupan di dalamnya.
"Maksud kakek hutan milik kakek itu apa?" Tanya ayah.
"Maksud saya adalah sayalah satu-satunya orang yang mampu menaklukkan hutan dan seisinya di dalam sini. tak ada seorang pun yang berani. Dan aku lah satu-satunya yang akhirnya berada di sini."
Ucap kakek Karsin yang membuat ayah mengangguk-angguk.