Velove menerima dengan mata berbinar. “Lu ngasih ke gue?”
“Iya. Gue pikir mending kasih itu dulu. Kalo untuk soal anjing, nanti aja dulu ya.”
Lyn memang pernah menjanjikan salah satu anjingnya pada Papanya Love. Seekor anjing dalmatian yang tinggi besar.
“Jangan salah sangka ya. Gue suka sih, tapi sebetulnya buat apa juga sih gue pake beginian? Kalo elo kan perlu dipake saat kencan karena ada Fathur. Nah gue? Buat siapa gue pake daleman begini?”
“Lu mau gak gue kenalin?”
“Teman sekolah?”
“Mmmm…. Rahasia dulu. Yang penting lunya mau gak?”
“B-boleh. Terus, apa ini ada kaitannya dengan daleman seksi itu?”
“Yang penting punya aja dulu. Kalo pas mendadak mau pake, elo udah punya.”
Penjelasan itu dinilai masuk akal oleh Love.
“Gue langsung cobain ya,” kata Love dengan binar bahagia.
“Cobalah. Biar aku bantu.”
Love tidak menyangka bahwa bantuan yang dimaksud Lyn ternyata ‘lebay.’ Betapa tidak, dalam ia melepas pakaian yang dikenakan dan mengenkan outfit baru tadi, Lyn beberapa kali menyentuh tubuh. Bahu, dada, bokong, payudara.
Karena terjadi berkali-kali ia jadi berpikir. Sengajakah?
*
Clara tidak bodoh dan menjadi tidak tahu apa-apa soal ponsel Cahyo yang telah ‘dikacaukan’. Sikap itu malah membuat bertekad untuk mengetahui. Itu sebabnya berkali-kali ia mencari kesempatan untuk mencari tahu password.
Kemarin itu usahanya berhasil ketika diam-diam mengintip gerak-gerik suaminya. Dari gestur gerak jari yang ia pernah lihat, suaminya membentuk gerak sekali ke bawah dan sekali ke samping kanan. Itu adalah formasi huruf L ketika ia membuka ponsel tadi pagi. Jadi, ketika Cahyo mulai mandi – dimana ia melakukan tidak pernah kurang dari 10 menit – ia lantas membuka ponsel itu. Dengan membayangkan huruf L tadi bisa mepet di kiri, kanan, atas, bawah dan bisa juga huruf L kecil, dan besar, maka Clara hanya membutuhkan 4 kali percobaan sebelum bisa sukses membuka ponsel.
Dari histori panggilan dan chat yang belum sempat dihapus, ia menemukan kenyataan pahit. Kecurigaannya beralasan. Ia makin menemukan bukti ketidaksetiaan suaminya. Dengan telapak tangan kanan memegangi ponsel dan telapak kiri memegangi mulut karena terkejut, ia mendapati kenyataan bahwa suaminya memang berselingkuh. Matanya buram, jarinya gemetar ketika menggeser-geser layar. Melihat bukti chat dan bahkan gambar serta lebih gila lagi video persetubuhan Cahyo dengan Latifa. Ia sakit hati dan ingin mendamprat. Ia ingin menampar, menendang, melempar piring atau apapun pada pria itu.
Tapi ia selalu belajar untuk bersikap tenang dalam segala kondisi. Dan kali ini pun ia mau mencoba bersikap seperti itu sekalipun ia tahu akan sangat sulit. Clara sudah keluar dari menu ponsel dan mengembalikan gadget ke tempat semula tadi ia diletakkan Cahyo. Pikirannya menerawang. Lama ia termenung sampai kemudian ia memutuskan tekad bahwa ia akan pura-pura tidak tahu akan perselingkuhan suaminya. Nanti saja, di waktu yang tepat yang entah kapan, baru ia akan membuka semuanya. Ia tidak mau berpikir untuk cerai. Tidak. Sebagai orang yang sejak kecil selalu teguh berpegang pada sumpah, maka sumpah pernikahannya ‘till death do us apart’ di sebuah gereja Mormon akan tetap ia lakukan. Lagipula – alasan lainnya – toh ia pun terkadang tidak setia. Atau malah sering?
Ia terkadang merasa diri munafik luar biasa. Ia berharap Cahyo tetap bersamanya namun di saat yang sama ia tidak bisa tegas melepas kebiasaannya flirting, yang berpotensi menjadi jalan untuk sebuah ketidaksetiaan.
Situasi ini berat. Tapi dalam waktu singkat sepertinya ia harus menyiapkan hati dan mental jika mendengar kabar kedekatan Cahyo dengan Latifa atau wanita lain. Pun ia harus tegar jika mendapat kabar lebih baik bahwa ia akhirnya menikahi wanita itu. Sebuah pembalasan, tentu harus Clara siapkan. Tapi itu nanti dan akan dipikirkan pun nanti. Saat ini ia hanya perlu sedikit drama untuk bersikap wajar di depan Cahyo.
Sebuah pil penenang segera saja ia minum untuk menenangkan pikirannya. Saat itulah ia mengecek ponselnya dan melihat ada sebuah chat masuk dari Gilang.
Pesan itu masuk sejak sejam lalu dan isinya benar-benar membuat Clara gundah. Pria itu mengajaknya makan siang bersama di sebuah restoran yang tidak jauh dari hotel tempatnya menginap dan tak jauh pula dari kantor tempatnya berada.
‘Kenapa ini jadi seperti sebuah takdir?’ ia membatin.
Di saat ia melihat bukti kelakuan bejat Cahyo, mengapa di saat yang sama ia seperti ‘diberikan’ jalan untuk membalas kelakuan tadi? Ada seorang pria bernama Gilang yang jelas menunjukkan ketertarikan padanya walau Clara merasa tubuhnya tidaklah sangat istimewa. Dan takdir itu berlanjut ketika ponselnya bergetar dalam mode senyap saat menerima panggilan dari nomor Gilang.
‘Perlukah ia angkat?’
Ia menoleh ke arah kamar mandi dimana Cahyo ada di sana. Dari suara debur dan guyuran air, sepertinya masih ada sekitar 2-3 menit lagi sebelum ia keluar dari sana. Keraguannya sirna dan ia mengangkat panggilan telpon.
Ini bukan pertama kali Gilang menelpon karena ia memang sudah beberapa kali melakukannya dan ia sebelumnya hanya sekedar menanyakan hal kecil dan biasa. Gilang adalah pebisnis dari luar kota yang selalu bolak-balik dari Bandung ke Jakarta. Jadi ketika di Jakarta, ia akan selalu menginap di hotel yang sama. Rupanya karena Clara tak juga segera menjawab chatnya orang itu lantas menelpon langsung dan menanyakan hal yang sama.
Saat itu Clara menjadi bingung, tidak tahu harus berkata apa, sampai akhirnya ia berkata, "Aku harus bertemu seseorang."
Gilang dengan tenang berkata "oke, apakah kamu ada janji dengan seseorang sehabis itu?”
“I-iya juga. Anu, aku ada janji dan bukan hanya hari ini.” Saat mengucapkan hal itu Clara merasa bersalah. Antara bersalah karena berbohong, dan juga bersalah karena ia seperti melewatkan sebuah kesempatan.
"Bagaimana kalau Kamis," Gilang mengejar. “Kamu bisa minta Aida, Andy atau salah satu anak buah kamu untuk nolong.”
Clara memang pernah bercerita dia punya beberapa anak buah yang begitu tunduk padanya seolah ia seperti setengah dewa yang tak bisa salah. Dan dikejar seperti itu, Clara makin bingung. Apa yang bisa ia katakan? Kalau ia memberi alasan penolakan lain akan terlihat bahwa ia seorang pembohong. Di lain pihak ia mendengar keheningan dari arah kamar mandi yang menunjukkan bahwa Cahyo sudah akan keluar beberapa detik lagi.
Dan ketika ia menyadari bahwa ia mulai terlihat bodoh dengan tidak menjawab, ia akhirnya berkata ragu-ragu.
“Anu...”
Pintu kamar mandi terbuka.
Dalam keadaan panik, ia lantas asal saja menjawab. “Mmm… oke kalau begitu. Kamis. Tapi nggak bisa lama-lama j-juga sih, okey?”
Clara menutup telpon dengan hati berdebar. Ia sadar ia sedang membuka diri lebih besar ke arah perselingkuhan.
*
Lyn itu paling suka kalau mendengar Velove cerita soal pengalamannya dulu saat masih jalan dengan pacarnya. Walau hanya sekali punya pacar – dan itupun banyak dirahasiakan - dalam bayangannya ia suka membayangkan Love bercinta denga pacarnya, tapi yang jadi pacarnya adalah Lyn yang dengan gemas bermain di area keintiman Love. Bayangan ini sering sekali membuat ia bermasturbasi sendiri.