Download App
4.77% Pengawal Nona CEO yang Paling Setia / Chapter 20: Pekerjaan Baru Anak Walikota

Chapter 20: Pekerjaan Baru Anak Walikota

"Aku mau ke toilet dulu," kata Sanca seraya berdiri. Sejujurnya saat ini, Sanca sedikit pusing. Bagaimana tidak? Dia harus mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta dalam semalam. Setelah berada di toilet, Sanca mulai menelepon kemana-mana untuk meminjam uang karena dia tidak punya cukup uang. Meski dia adalah anak walikota, tapi dia sama sekali tidak mungkin untuk memesan semua menu premium.

Di sisi lain Lana bertanya, "Erza, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Apakah kita harus melakukan ini?"

"Apa yang berlebihan? Dia awalnya berniat buruk padamu, jadi kita harus memberinya sedikit pelajaran sekarang," kata Erza sambil mulai makan.

"Sial! Ke mana semua teman-teman brengsek ini? Mereka biasanya menggunakan segala macam alasan untuk meminjam uang dariku, tapi saat aku meminjamnya mereka malah tidak menggubris sama sekali," gertak Sanca. Di toilet, setelah lama menelpon, Sanca tidak tahu berapa orang yang sudah dia hubungi. Untungnya, dia akhirnya mendapatkan pinjaman uang. Diam-diam Sanca merasa lega.

"Tuan Sanca, kamu sudah kembali? Kita semua sudah selesai makan. Kamu sudah terlalu lama di toilet," kata Erza.

Ketika Sanca kembali, dia menemukan bahwa semua makanan di atas meja sudah habis tak bersisa yang membuat Sanca sedikit tertekan. Tapi kemudian, dia memperhatikan sebotol anggur merah di atas meja. Masih ada lebih dari setengah botol anggur merah. Jika dia tidak bisa makan menu premium, setidaknya dia harus mencicipi anggur itu.

"Masih banyak anggur merah yang tersisa. Saya akan membantu Anda untuk menghabiskannya. Lagipula, Anda bisa beli lagi, bukan? Tidak apa-apa?" tanya Erza dengan senyum lebar. Sebelum Sanca mengulurkan tangan, Erza sepertinya telah melihat pikiran Sanca dan mengambil anggur merah itu.

Sanca hanya bisa menatap kosong ke botol anggur merah. Kemarahan di sekujur tubuhnya terus meningkat, tetapi melihat Lana dengan senyuman di wajahnya, Sanca masih menahan amarah di hatinya.

"Tidak masalah, tidak masalah," jawab Sanca.

"Terima kasih. Mari kita makan bersama lagi ketika kita punya waktu." Setelah mengatakan itu, Erza tidak terlalu peduli. Dia membawa sebotol anggur merah itu, lalu mengajak Lana pergi. Sanca duduk di sana, tercengang. Dia tidak mengerti mengapa hal-hal seperti ini bisa terjadi. Setelah sekian lama, raungan Sanca terdengar.

Di dalam mobil, Erza juga senang memegang sebotol anggur merah.

"Kamu pikir apa yang akan dilakukan Sanca untuk membalasmu nanti?" celetuk Lana.

"Apakah kamu mengkhawatirkanku?" tanya Erza.

"Siapa yang mengkhawatirkanmu? Aku hanya berpikir." Saat matanya bertemu dengan mata Erza, Lana langsung menghindarinya. Erza menggelengkan kepalanya dan tidak berkata apa-apa.

Setelah tiba di rumah, Wina berlari dengan gembira ke arah Erza.

"Aku membawakanmu makanan lezat. Ayo makan." Erza memberikan Wina makanan yang dia bawa dari restoran tadi. Melihat makanan di tangan Erza, Lana merasa sedikit kasihan pada Sanca.

"Makanan apa ini?" Setelah membuka makanan, Wina melihat hal-hal di depannya. Sepertinya dia belum pernah melihat semua itu.

"Nona, Erza, mengapa kalian membeli barang-barang semahal itu?" Ketika Bu Siska melihat makanan ini, wajahnya juga terkejut.

"Bu Siska, ini diberi oleh orang lain. Bu Siska bisa memakannya juga." Erza tersenyum tipis.

"Aku capek. Aku akan istirahat dulu." Lana sepertinya sedang dalam suasana hati yang baik hari ini. Dia bahkan menyapa Erza sebelum naik ke atas.

"Erza, nona sepertinya sedang dalam suasana hati yang baik hari ini." Ketika mengetahui Lana dalam suasana hati yang baik, suasana hati Bu Siska menjadi lebih baik. Meskipun dia tidak tahu situasi hubungan Erza dan Lana, Bu Siska berharap Erza dan Lana memiliki hubungan yang lebih baik ke depannya.

"Bu Siska telah bekerja keras selama ini," kata Erza.

"Tidak ada. Aku akan selalu senang selama kamu dan nona baik-baik saja," kata Bu Siska menanggapi.

"Wina, bagaimana? Apakah ini enak?" Erza datang ke sisi Wina, memandang Wina dan bertanya. Dia tiba-tiba berpikir tentang apa yang sedang dilakukan Wika sekarang.

"Enak, kak." Wina mengangguk dengan cepat.

Sejujurnya, hati Erza masih sedikit tidak tenang sekarang. Jika dia ingin menyembuhkan lukanya, dia membutuhkan tubuh yang murni seperti milik Wina, tapi Wina baru berusia enam belas tahun. Selain itu, Erza sudah menikah. Erza tidak tahu harus berbuat apa. Ketika dia memikirkan hal ini, dia merasakan sakit kepala. Erza merasa bahwa dia bisa membicarakannya nanti saja karena sekarang tidak memungkinkan. Erza pun kembali ke kamarnya.

Keesokan harinya, Erza datang ke kantor pagi-pagi sekali. Tetapi begitu sampai di depan pintu kantor, Erza melihat Sanca berdiri di depan pintu lagi.

"Tuan Sanca, apakah Anda mau mengundang Bu Lana makan malam lagi?" Erza berkata sambil tersenyum dan menatap Sanca ketika dia berjalan. Setelah melihat Erza di depannya, Sanca menggertakkan giginya dengan keras.

"Aku datang ke sini untuk bekerja." Sanca berusaha dengan keras untuk menjaga dirinya tetap tenang dan tidak marah.

"Apakah Anda benar-benar datang ke sini untuk bekerja?" Erza tidak menyangka Sanca begitu licik.

"Selama aku bisa bekerja dengan Lana, aku bersedia bahkan untuk posisi rendahan." Sanca berkata cepat. Namun, dia lebih percaya diri di dalam hatinya karena ayahnya telah menghubungi ayah Lana kemarin. Seharusnya Lana akan memberikan dirinya posisi yang tinggi.

"Kamu sudah datang?" Pada saat ini, Lana juga keluar untuk melihat Sanca.

"Lana, aku memutuskan untuk bekerja untukmu," jelas Sanca.

"Aku tahu, ayahku sudah memberitahuku." Lana mengangguk. Kali ini, Sanca memandang Erza dengan agak bangga.

"Namun, tidak peduli siapa dirimu, kamu tetap harus memulai dari awal. Kamu bisa masuk ke Departemen Perencanaan di bawah pimpinan dari Erza," kata Lana menjelaskan. Apa yang dikatakan Lana ini membuat Sanca ingin menangis. Mengapa dia harus berada di bawah Erza? Sanca tidak menyangka bahwa Erza bukan hanya pengawal pribadi, tapi juga wakil manajer di departemen itu.

"Tidak masalah, aku bersedia." Sanca mengangguk dan berkata dengan getir.

"Erza, bawa dia ke Departemen Perencanaan." Setelah itu, Lana berbalik dan pergi.

"Tuan Sanca, saya tidak pernah menyangka akan menjadi kolega Anda. Anda adalah orang yang sangat berbakat. Saya merasa sedikit malu menjadi atasan Anda." Erza tersenyum tipis.

"Bukankah kamu pengawal Lana?" Sanca juga bereaksi kali ini. Dia menatap Erza dan bertanya.

"Pengawal paruh waktu. Silakan masuk, Tuan Sanca. Mulai sekarang aku akan memanggil namamu saja, ya. Agar terdengar akrab," kata Erza dengan senyum lebar. Sanca dengan enggan masuk ke kantor bersama Erza, tetapi ketika dia berpikir, dia hanya perlu menikahi Lana dan mendapatkan Lana. Jika itu terwujud, seluruh perusahaan ini akan menjadi miliknya. Setelah memikirkan hal ini, suasana hati Sanca tiba-tiba menjadi sangat baik.

Di sisi lain, Erza memanggil Alina, "Alina."

"Ada apa?" tanya Alina ketus. Mungkin karena kejadian kemarin, Alina masih sedikit marah pada Erza.

"Ini Sanca, putra walikota. Bu Lana berkata bahwa dia akan menempatkannya di departemen ini." Setelah melihat ekspresi Alina, Erza juga tersenyum tak berdaya.

"Oh? Tapi tidak ada ruangan lagi di departemen ini." Alina masih kesal, jadi dia tidak peduli walaupun Sanca anak walikota.

"Namaku Sanca. Senang bertemu denganmu, Alina," ucap Sanca. Melihat tubuh Alina yang begitu sempurna, dan wajahnya yang begitu rupawan, Sanca terpesona. Dia bahkan berinisiatif untuk berjalan mendekat dan bersiap untuk berjabat tangan dengan Alina. Erza menggelengkan kepalanya keheranan.

"Ya, kebetulan ada lowongan sebagai copywriter di sini, tapi aku harus berbicara dengan Erza dulu." Alina tampak melihat sorot mata Sanca, dan langsung merasa bahwa Sanca semakin menyebalkan. Sanca tampak sedikit malu saat ini, dan tidak mengatakan apa-apa. Dia langsung keluar dari ruangan. Dia tidak bisa memahami kenapa Alina sepertinya akrab dengan Erza. Sanca merasa Erza sangat beruntung karena dikelilingi wanita cantik.

"Apa yang kamu lakukan tadi malam?" Alina bertanya dengan rasa ingin tahu setelah Sanca keluar.

"Aku pergi makan malam dengan istriku." Erza mengatakan yang sebenarnya.

"Bisakah kamu mengatakan alasan yang dapat dipercaya?" Alina tidak akan mempercayai kata-kata Erza.

"Itu benar," sahut Erza.

"Datanglah ke rumahku untuk makan malam nanti," kata Alina tidak peduli.

"Tunggu, aku akan menerima telepon." Erza segera menjawab telepon.

"Hei, Erza, ini Farina. Bisakah kamu datang ke sini sekarang juga?" Suara Farina terdengar di telepon.

"Aku sedang bekerja." Erza sedikit tidak bisa berkata-kata. Farina benar-benar merepotkan.

"Ini tentang orang tuamu. Apakah kamu tetap tidak akan datang?" tanya Farina.

"Tunggu, aku akan segera pergi ke sana." Erza tercengang sejenak, dan tanpa ragu-ragu, dia lari keluar kantor.

"Brengsek!" Melihat punggung Erza, Alina menjadi gila.


next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C20
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login